Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2011

Pernahkah Kamu Berkorban Untuk Islam?

Saya membuka artikel ini dengan sebuah pertanyaan, pernahkah kita berkorban untuk Islam. Berkorban memberi apa yang kita suka. Memberi apa yang kita sayang. Memberi apa yang kita miliki. Memberi sesuatu yang kita simpan dan jaga, untuk kepentingan Islam sebagai agama kita. Baiklah, mungkin dengan bahasa sederhana saja. Pernahkah kita mengeluarkan uang kita dalam jumlah yang relative tidak sedikit untuk kepentingan agama kita? Ketika shalat jumat misalnya. Ada sebuah kotak yang disodorkan kepada kita, apa yang akan kita lakukan. Berapakah uang yang akan kita masukkan ke dalam kotak itu? Seratus ribukah? Lima puluh ribu, dua puluh ribu atau malah hanya seribu? Ada banyak hal yang terlewat. Hidup kita yang masih muda sering kali merasa tidak perlu berkorban untuk agama kita. Malahan, kita lebih sering berkorban untuk hal hal di luar agama. Misalnya berkorban untuk persahabatan, untuk geng, untuk teman, untuk pacar dan bahkan untuk sesuatu yang sangat konyol sekalipun. S

HUKUM MENGEMBALIKAN HUTANG SESUAI DENGAN PERUBAHAN NILAI MATA UANG

Akhir-akhir ini banyak kalangan yang menyatakan bahwa mengembalikan hutang tidak harus sama dengan jumlah nominal ketika meminjam. Umpamanya seseorang meminjamkan kepada temannya uang sejumlah Rp. 5.000.000,- , maka menurut kalangan ini, dia boleh mensyaratkan kepadanya agar setahun kemudian dia harus membayar  Rp. 6.000.000,-  Menurut mereka hal seperti adalah bentuk dari keadilan dan bukan termasuk katagori riba, karena nilai uang akan terus berubah-rubah setiap saat.      Pernyataan di atas secara sekilas memang masuk akal, tetapi kalau diteliti lebih mendalam ternyata sangat lemah dan menyisakan banyak problematika di masyarakat. Oleh karenanya, penulis perlu menjelaskan hukum mengembalikan hutang sesuai dengan perubahan nilai. Perlu kita ketahui bahwa pada awal Islam, uang yang dipakai masyarakat pada waktu itu adalah Dinar dan Dirham (emas dan {jcomments on}perak). Kemudian setelah beberapa saat lamanya, akhirnya muncul ide penggunaan uang kertas sebagai alat tuk

Peneduh Jiwaku Adalah Suamiku

Surga atau neraka dunia ternyata dapat dicipta dan dipilih dalam sebuah rumah tangga. Semua tergantung cantiknya kerjasama antara sang pimpinan yaitu suami dengan para "rakyat"nya. Kelihaian suami dalam menyikapi serta menanggapi emosi permaisurinya yang kadang naik turun tergantung selera dan keadaan perasaan, sudah barang tentu turut menentukan keberlangsungan rumah tangga itu. Disinilah sebenarnya kesempatan bagi para laki- laki yang ingin menguji kualitas diri dalam kepemimpinan, pengayoman serta penguasaan, khususnya terhadap para istri mereka. Ya, para istri yang sejatinya menjadi guru atas kesabaran suami, karena kemanjaan,serta kebandelan mereka. Jika para suami menyikapinya secara positif, maka bukan amarah yang akan mereka tampilkan melainkan perasaan kemakluman atas seorang wanita yang mereka cintai, yang menjadi ladang amal bagi mereka sebagai jembatan pengabdian kepada Allah. Bagaimana seorang istri tidak bahagia mempunyai seorang suami yang mempunyai penguasa

HUKUM MENGGUNAKAN UANG HARAM

   Beberapa saat yang lalu penulis diwawancari oleh salah satu radio dakwah di Solo seputar bantuan yang akan diberikan oleh bintang film untuk korban bencana gunung Merapi. Masyarakat Islam berselisih di dalam menanggapinya, sebagian ada yang mengatakan haram, dan sebagian yang lain mengatakan halal, mana yang benar ?      Jauh-jauh sebelumnya, juga pernah heboh berkenaan bantuan dari salah satu yayasan Amerika yang memberikan bantuan kepada salah satu pesantren yang ada di Sumatra. Untuk menjawab masalah tersebut perlu dikumpulkan dalil-dalil yang ada. Setelah diteleti ternyata ada dua kelompok dalil yang kelihatannya saling bertentangan. Sebagian dalil menjelaskan ketidak bolehan menggunakan harta haram secara mutlak, dan {jcomments on}sebagian yang lain menjelaskan kebolehannya. Oleh karena itu para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi dalil-dalil tersebut. Sebagian dari mereka membaginya dalam dua kaidah, sebagai berikut :   Kaidah Pertama :      Jika hart