Langsung ke konten utama

Menyoal Dalil Dzikir Berjama'ah

Dzikir berjama'ah merupakan amalan yang tidak pernah ada pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, shahabat dan juga masa tabi'in. Namun hal itu telah diklaim oleh sebagian kaum Muslimin sebagai amalan sunnah, dengan membawa berbagai dalil yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah dan fatwa-fatwa ulama yang dipahami oleh mereka secara tidak benar.

Berikut beberapa kesalahan metode dalam pengambilan dalil (istidlal) yang dilakukan oleh mereka yang menganggap bahwa dzikir berjama'ah adalah sunnah:

1. Jama'ah Dzikir dan Dzikir Berjama'ah Dipahami Semakna.

Secara sepintas orang yang tidak paham, akan menganggap kedua istilah tersebut semakna (sama), padahal sebenarnya berbeda. Perbedaannya: Kalau jama'ah dzikir adalah sekelompok orang yang melakukan amalan yang masuk kategori dzikir seperti belajar, membaca al-Qur'an, melantunkan wirid dan lain sebagainya. Sedangkan dzikir berjama'ah adalah melakukan atau melantunkan dzikir dengan cara berjama'ah atau satu suara baik dengan komando atau tidak.

Kalau kita meneliti hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan fatwa para ulama yang berkenaan dengan dzikir, maka tidak kita dapati satu pun kalimat yang mengindikasikan pada makna dzikir berjama'ah. Semuanya menunjukkan pada makna jama'ah dzikir, baik kalimat jama'ah dzikir, halaqah dzikir maupun dengan majlis dzikir, dan semuanya memiliki makna yang sama.

Beranggapan bahwa jama'ah dzikir dan dzikir berjama'ah memiliki makna yang sama merupakan sebuah kekeliruan. Jama'ah dzikir merupakan sekelompok orang yang melakukan berbagai amal ketaatan yang masuk pada kategori dzikir, tanpa harus dipahami bahwa mereka melakukan itu dengan cara bersama-sama, satu suara dan serempak.

Yang masuk kategori dzikrullah (dzikr kepada Allah subhanahu wata’ala) menurut para ulama di antaranya adalah majlis-majlis ilmu, halaqah al-Qur'an, bacaan tasbih, tahmid, tahlil, takbir dan semisalnya.

Maka dapat disimpulkan bahwa jama'ah dzikir adalah sunnah dan warid (berasal) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan dzikir berjama'ah dengan satu suara adalah sesuatu yang masih dipertanyakan, kalau tidak dibilang sama sekali tidak memiliki dasar.

2. Memahami Sighat (Konteks) Jama’ sebagai Anjuran untuk Melakukannya secara Berjama'ah

Di antara ayat yang dipahami sebagai anjuran dzikir berjama'ah adalah sebagai berikut, artinya;
"(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (QS. 3:191)

Ayat di atas, dianggap sebagai dalil yang membolehkan dzikir berjama'ah karena menggunakan sighat (konteks) jama' (plural) yaitu yadzkuruna. Menurut mereka jama’ berarti banyak dan banyak artinya bersama-sama.

Pengambilan dalil semacam ini adalah tidak benar, karena tidak setiap kalimat yang disampaikan dalam bentuk jama’ harus dipahami bahwa itu dilakukan dengan bersama-sama.

Syaikh Dr. Muhammad bin Abdur Rahman al-Khumayyis, penulis makalah “Adz-Dzikr al-Jama’i baina al-Ittiba’ wal ibtida’ (telah dibukukan dengan judul yang sama), menjelaskan bahwa sighat (konteks) jama’ dalam ayat di atas adalah sebagai anjuran yang bersifat umum dan menyeluruh kepada semua umat Islam untuk berdzikir kepada Allah subhanahu wata’ala tanpa kecuali, bukan anjuran untuk melakukan dzikir berjama'ah.

Selain itu jika sighat (konteks) jama’ dalam ayat tersebut dipahami sebagai anjuran untuk melakukan dzikir secara berjama'ah atau bersama-sama maka kita akan kebingungan dalam memahami kelanjutan ayat tersebut. Disebutkan bahwa dzikir itu dilakukan dengan cara berdiri (qiyaman), duduk (qu'udan) dan berbaring ('ala junubihim). Nah bagaimanakah praktek dzikir bersama-sama dengan cara berdiri, duduk dan berbaring itu? Apakah ada dzikir berjama'ah dengan cara seperti ini?

Permasalahan lainnya adalah bahwa ayat ini turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat berada di samping beliau. Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat memahami ayat tersebut sebagai perintah untuk dzikir bersama-sama satu suara?

3. Memahami Dalil Umum dengan Pemahaman Khusus

Di antara dalil umum yang menyebutkan tentang keutamaan dzikir yaitu sebagaimana yang diriwayatkan dari Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bergabung dalam salah satu jama'ah dzikir.

Di dalam hadits tersebut memang disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bergabung dalam jama'ah dzikir, tetapi riwayat ini masih bersifat umum, tidak menyentuh pada kaifiyat (tata cara) pelaksanaan dzikir. Tidak dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memimpin dzikir lalu ditirukan oleh para sahabat, atau mereka melakukannya bersama-sama dengan satu suara tanpa komando dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, atau bagaimana?

Ketidakjelasan tentang bagaimana pelaksanaan dzikir ini menunjukkan bahwa mereka melakukannya tidak dengan berjama'ah, namun masing-masing berdzikir atau berdo’a sendiri-sendiri. Sebab kalau itu dilakukan dengan berjama'ah apalagi jika dipimpin oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tentu amat banyak shahabat yang meriwayatkan, karena akan menjadi peristiwa penting, dan kemungkinan besar mereka mengadakan acara yang sama di waktu waktu yang lain. Hal ini juga dikuatkan dengan pengingkaran para sahabat terhadap dzikir berjama'ah seperti yang dilakukan Umar bin al-Khaththab , Ibnu Abbas, Khabbab bin Art radhiyallahu ‘anhum dan selain mereka

Maka memahami bergabungnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam jama'ah dzikir (yang sifatnya umum) dengan pemahaman yang lebih khusus yakni dzikir berjama'ah merupakan pemahaman yang salah, hanya sekedar persangkaan dan tidak memiliki dasar yang kuat.

4. Menganggap Cara Baru dalam Ibadah sebagai Bid'ah Hasanah

Terkadang di antara kaum muslimin yang melakukan dzikir berjama'ah sebenarnya mengetahui bahwa apa yang mereka lakukan tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya. Akan tetapi mereka beranggapan bahwa itu merupakan bid'ah hasanah (bid'ah yang baik), apalagi namanya tetap dzikir.

Menurut Syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimain, bahwa sesuatu yang dianggap sebagai bid'ah hasanah, maka ia memiliki dua kemungkinan, yang pertama adalah bahwa sebenarnya itu bukan bid'ah namun disangka bid'ah dan kemungkinan yang ke dua bahwa hal itu memang bid'ah namun yang bersangkutan tidak tahu keburukannya (sehingga dikira baik).

Memang ada sebagian ulama yang membagai bid'ah menjadi bid'ah hasanah (baik) dan bid'ah dhalalah (sesat), atau membagi bid'ah menjadi wajibah (wajib), mandubah (disukai), mubahah (boleh), makruhah (dibenci) dan muharramah (terlarang). Hanya saja yang perlu kita cermati adalah bahwa yang mereka maksudkan dengan bid’ah yang baik (hasanah) adalah masalah baru yang sama sekali tidak terkait langsung dengan ibadah. Hal ini terbukti dari contoh bid'ah hasanah yang mereka kemukakan, seperti mengarang kitab, membantah kesesatan, membuat sekolah, pesantren, memilih jenis makanan yang baik, membuat harakat dalam al-Qur'an atau membukukannya dan lain sebagainya. Dan contoh-contoh di atas sama sekali tidak ada unsur ibadah yang ditambah dan dikurangi, bahkan yang demikian merupakan sarana untuk kebaikan atau penunjang ibadah.

Sedangkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi, ”kullu bid'atin dhalalah,” maka yang dimaksudkan adalah hal baru dalam ibadah atau syari'at. Maka seluruh hal yang baru dalam urusan ibadah adalah sesat, karena tidak ada seorang pun yang berhak membuat tata cara atau bentuk peribadatan di dalam Islam, siapa pun orangnya. Termasuk di dalamnya menentukan tata cara berdzikir kepada Allah subhanahu wata’ala, menentukan jenis bacaan, bilangan bacaan dan waktu pelaksanaannya.

Dzikir bersama yang berkembang akhir-akhir ini, kalau kita cermati ternyata merupakan perkara baru dalam Islam, baik dari sisi cara pelaksanaannya yang dilakukan secara bersama-sama dengan dipimpin seorang pemandu, atau dari sisi bilangannya yakni membaca kalimat ini sekian puluh, atau ratus, atau ribu kali dan juga terkadang dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu seperti malam Tahun Baru Hijriyah dan lain sebagainya. Sedangkan ibadah dikatakan benar dan memenuhi kriteria ittiba' (meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) apabila sesuai dengan petunjuk beliau dari sisi sebab, tata cara, waktu, bilangan, jenis dan tempatnya. Dan segala sesuatu yang tidak pernah dikhususkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maka kita pun tidak boleh mengkhususkannya juga.

Sumber: Al ibda’ fi kamalisysyar’i wa khathar al ibtida’ edisi terjemah (Syaikh Ibn Utsaimin), Adz-Dzikr al Jama’i Bainal Ittiba’ wal Ibtida’ (Dr. Muhammad bin Abdur Rahman al Khumayyis).

Komentar

  1. Alhamdulillaah..

    Semoga Allah memberikan pemahaman kpd kita bahwa uraian ini adalah benar.

    Izinkan utk menambahkan dan mudah2an menjadi dalil2 yg memperkuat uraian anda.

    Dalam surat yg lain, Allah memerintahkan kepada kita bahwa dalam berdzikir tidak perlu mengeraskan suara, cukup dalam hati :

    Dan sebutlah (nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. (QS 7:205)

    Berdzikir tdk mesti terpaku dengan jumlah hitung2an seberapa banyak bacaannya.

    Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman. (QS 33:41-43)

    Dzikir adalah perintah Allah. Sbg orang beriman tentu melaksanakan perintah itu (Sami'na wa Atho'na).
    Jika perintah itu kita laksanakan akan tetapi dalam pelaksanaannya tidak sesuai apa yg telah diperintahkan, Allah berfirman dalam QS 2:59 bahwa kita termasuk orang2 yg zalim dan fasik, Naudzubillah..

    Lalu orang-orang yang zalim mengganti perintah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka. Sebab itu Kami timpakan atas orang-orang yang zalim itu dari langit, karena mereka berbuat fasik. (QS 2:59)

    Demikian dulu saudaraku, mudah2an bermanfaat, Salaam..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hadis-Hadis Shahih Seputar Haji Dan Umrah

بسم الله الرحمن الرحيم HADITS-HADITS SHAHIH SEPUTAR HAJJI MABRUR & ‘UMRAH 1.        SEGERA HAJJI BILA ADA KEMAMPUAN عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَرَادَ الْحَجَّ فَلْيَتَعَجَّلْ Dari Ibnu Abbas, ia berkata; Rasulullah shallAllahu wa’alaihi wa sallam bersabda: "Barang siapa yang hendak berhajji, maka hendaknya ia bersegera." HR Abu Dawud 1472, shahih.                 Ibnu Majah menambahkan: فَإِنَّهُ قَدْ يَمْرَضُ الْمَرِيضُ وَتَضِلُّ الضَّالَّةُ وَتَعْرِضُ الْحَاجَةُ “Karena mungkin akan terserang penyakit, tersesat atau terku ng kung / terkurung kebutuhan." HR Ibnu Majah 2874, shahih.                 Riwayat Ahmad dengan redaksi lain yaitu: تَعَجَّلُوا إِلَى الْحَجِّ يَعْنِي الْفَرِيضَةَ فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَا يَدْرِي مَا يَعْرِضُ لَهُ "Segeralah kalian melaksanakan hajji yakni kewajiban hajji, karena salah seorang dari kalian tidak mengetahui apa yang akan terjadi

Akal Dalam Pandangan Islam

Di antara makhluk Allah lainnya, manusia merupakan makhluk yang paling istimewa. Kelebihan manusia terletak pada akalnya. Dengan akal, manusia menjadi makhluk yang brilian, mampu mengungguli hewan, tumbuhan dan benda-benda lainnya. Namun demikian, akal terkadang membawa bencana bagi manusia akibat tidak digunakan pada tempatnya. Akal yang keluar dari tugasnya laksana kereta yang keluar dari rel, menjerumuskan manusia ke jurang kesengsaraan. Tulisan ini akan mengungkap secara singkat rel akal tersebut. SEKILAS TENTANG AKAL Secara bahasa : Kata akal berasal dari bahasa arab ‘aqala-ya’qilu-aqlun yang bermakna menahan atau mencegah (al man’u). Dikatakan ‘aqala dawaun bathnahu maknanya obat menahan (mengobati) perutnya. Selanjutnya kata aqal dipakai untuk beberapa arti lain, seperti batu (al hajaru), melarang (an nahyu), diyat (denda) karenaseorang pembunuhaa enggiing unta ke rumah kel

Langkah Mudah Para Salaf Mentadaburi Alquran

Para salaf sangat memperhatikan Al-quran. Dimulai dari masa sahabat ketika mereka bersama nabi hingga berakhirnya sebaik-baik kurun. Salah satu perhatian mereka yaitu dengan mentadaburinya serta menghayati makna kandungan ayat. Sehingga ada diantara mereka menghayati dan mentadaburi satu surat membutuhkan waktu yang sangat panjang. Tidak ukup hanya sekilas dan sepintas bacaan  saja, bahkan sebagian mereka menghabiskan waktu hingga 12 tahun. Demikian dalamnya tadabbur mereka terhadap ayat-ayat Al-quran hingga menimbulkan  kesan  yang sangat dalam  dihati. Ketika membaa ayat Al-quran dan melewati ayat-ayat yang menggambarkan keindahan mereka gembira, mengharap untuk bias meraihnya. Sebaliknya jika melewati ayat-ayat yang meneritakan kesediahan, azab dan siksa, mereka bersedih menangis karena takut kepada Allah  akan azab itu. Allah menggambarkan para sahabat dalam sebuah ayat: وَإِذَا سَمِعُوا مَا أُنزِلَ إِلَى الرَّسُولِ تَرَىٰ أَعْيُنَهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ مِمَّا عَر