Di antara makhluk Allah lainnya, manusia merupakan makhluk yang paling
istimewa. Kelebihan manusia terletak pada akalnya. Dengan akal, manusia
menjadi makhluk yang brilian, mampu mengungguli hewan, tumbuhan dan benda-benda
lainnya. Namun demikian, akal terkadang membawa bencana bagi manusia akibat
tidak digunakan pada tempatnya. Akal yang keluar dari tugasnya laksana
kereta yang keluar dari rel, menjerumuskan manusia ke jurang kesengsaraan.
Tulisan ini akan mengungkap secara singkat rel akal tersebut.
SEKILAS TENTANG AKAL
Secara bahasa : Kata akal berasal dari bahasa arab ‘aqala-ya’qilu-aqlun
yang bermakna menahan atau mencegah (al man’u). Dikatakan ‘aqala
dawaun bathnahu maknanya obat menahan (mengobati) perutnya. Selanjutnya
kata aqal dipakai untuk beberapa arti lain, seperti batu (al hajaru),
melarang (an nahyu), diyat (denda) karenaseorang pembunuhaa enggiing unta
ke rumah kelurga yang dibunuhnya lalu mengikatnya (ya’qil) disana.
Aqal juga dipakai untuk makna hati dan benteng. Namun semua makna ini
tak begitu jauh dari makna mencegah. [Lisanul Arab 11/458 dan Al Muhith
4/18].
Secara istilah, kata akal dapat dipakai untuk empat makna :
1. Gharizah (instink) yang ada dalam diri manusia. Dengan
adanya instink ini, ia bisa memahami dan memikirkan hal-hal disekitarnya.
2. Ilmu-ilmu dharuri, seperti ilmu tentang hal-hal yang
mesti ada dan mesti mustahil. Seperti alam mesti ada penciptanya, dst.
3. Ilmu-ilmu ayang didapat dengan penelitian dan berfikir.
Seperti dua kali dua sama dengan empat, untuk mengetahui kebenarannya
mesti dihitung lebih dulu.
4. Pebuatan sebagai onsekuensi dari ilmu. Karea itu al
Ashma’I berkata,” Akal adalah menahan diri dari melakukan hal
yang burukdan membatasi jiwa untuk melakukan yang abaikaa saja.”
Imam Ashfahani menulis ada seorang yang mensifati seorang Kristen sebagai
orang yang berakal, maka pernyataan orang itu dibantah,” Hush, orang
yang berakal itu hanya orang yang brtauhid daaaan taat kepada-Nya saja.”
[Majmu’ Fatawa 9/287, Al Faqih wal Mutafaqih 2/20, Manhajul Istidalal
‘ala Masailil I’tiqad 1/158-159, Utsman Ali Hasan, Maktabatu
ar Rusyd, Riyadh, cet. 2, 1413 H/1993 M ].
TEMPAT AKAL
para ulama berbeda pendapat mengenai letak akal dalam diri manusia. Ulama
Hanafiyah, Hanabilah dan Mu’tazilah berpendapat akal terletak dalam
otak, artaianya di kepala. Dasarnya, apabila seseorang mengalami benturan
keras di daerah kepala dan ia mengalami gegar otak, akalnya akan holang.
Jugakebiasaan orang arab yang mengatakan oranga yang beraal itu sempurna
otaknya, sedang orang ayang lemah akalnya sebagai orang yang rianagn /
lemah otaknya. [Syarhu al Kaukab al Munir hal.24-25, Al Qurthubi 1/370].
Para ulama Malikiah dan Syafi’iyah berpendapat akal berada dalam
hati manusia. Ini juga menjadi pendapat para dokter tempo dulu, sbagian
Hanabilah dan imam Abu alid al Baji. Dalil mereka adalaha firman Allah
:”Maka mereka mempunyai hati yang dengannya mereka berakal atau telinga
yangb dengannya mereaka mendegar. [Al Hajj :46].
Juga perkataan Umar tentang sifat Ibnu Abbas: “Dzaakuam fatal kahul,
inna lahu lisanan saulan wa qalaban aqulan.” [ Anak ini cerdas, ia
mempunyai lisan yang banyak bertanya dan hati yang berakal. ]
Pendapat yang benar adalah akal itu mempunyai hubungan dengan otak dan
hati. Berfikir itu berasal dari otak, sedang keinginan berasal dari hati.
Orang yang berkeinginan tak mungkin mempuyai keinginan kecuali setelah
memahami apa yang ia inginkan, sedang pemahaman berasal dari otak. [Majmu’
Fatawa 9/304, Manhajul Istidlal 1/162-163]
Islam Menghargai Akal
Islam adalah agama wahyu dan akal. Wahyu mempunyai kedudukan tersendiri,
begitu juga akal. Islam menghargai akal dan menempatkannya pada tempat
yang layak, sesuai fitrah manusia dan fungsi akal itu sendiri. Bila kita
membuka Al Qur’an dan As Sunah, kita akan menemukan betapa tingginya
penghargaan Islam terhadap akal. Ini bisa kita runut dari ayat-ayat dan
hadits yang menyebutkan :
1. Allah tidak mengajak berbicara kecuali dengan orang-orang yang berakal
yang memahami syariat dan dien Allah. Allah berfirman,” Dan sebagai
peringatan bagi orang-orang yang berakal.” ( 12 : 111, 29 : 35, 2
: 269 ).
2. Beban agama hanya mengenai orang yang mukalaf, yaitu dewasa dan berakal.
Rasulullah bersabda,” Pena diangkat atas tiga golongan : orang yang
tidur sampai ia bangun, orang gila sampai ia berakal, anak kecil sampai
ia baligh.).”
3. Allah mencela orang-orang yang tidak memanfaaatkan akalnya, sebagaimana
penyesalan penduduk neraka,” Dan mereka berkata,” Seandainya
kami dulu mendengar atau berakal ( memikirkan ) tentulah kami tidak menjadi
penduduk neraka Sa’ir ( yang menyala-nyala ).” [ Al-Mulk :10].
4. Allah memuji pekerjaan-pekerjaan akal, yaitu tadabur, tafakur dan
lain sebagainya. Allah berfirman,” Apakah mereka tidak mentadaburi
Al Qur’an.” [ An-Nisa’ :82]. Juga firman-Nya,” Supaya
kalian berfikir.” Juga firman-Nya,” Maka apakah kalian tidak
berakal (berfikir)?”.
5. Al Qur’an memuat banyak ayat yang berbicara kepada manusia sesuai
akal penalaran dan logika. Allah berfirman,” Kalaulah Al Qur’an
itu berasal dari selain Allah tentulah mereka akan mendapati banyak perselisihan
dalam Al Qur’an.” [ An- Nisa’ :82]. Juga firman-Nya,”
Kalau di langit dan bumi itu ada banyak tuhan tentulah keduanya telah
rusak.” Juga firman-Nya,” Apakah mereka diciptakan dari barang
yang tidak ada ataukah mereka menciptakan diri mereka sendiri?”
6. Allah mencela taklid buta yang merupakan penghalang bekerjanya akal.
Allah berfirman,“ Dan jika dikatakan kepada mereka ikutilah apa yang
diturunkan Allah mereka mengatakan,”Kami akan mengikuti apa yang
kami dapatkan dari orang-orang tua kami . (apakah mereka akan mengikuti
bapak-bapak mereka) sekalipun mereka tidak berakal sedikitpun dan tidak
mendapat petunjuk?” [QS. Al Baqarah :170].
7. Allah memuji hamba-Nya yang menggunakan akalnya untuk ecarai dan mengikuti
kebenaran. “ Maka berilah kabar gembira hamba-hamba-Ku. Yaitu orang-orang
yang mendengarkan perkataan dan mengikuti yang paling baik. Mereka itulah
orang-orang yang diberi hidayah Allah dan mereka itulah orang-orang yang
berakal.”
8. Allah menunjukkan hal-hal yang menjadi bidang garap pekerjaan akal.
Seperti disebutkan dalam ayat,” Apakah mereka tidak melihat langit
yang berada di atas mereka, bagaimana Kami membangunnya dan menghiasinya
tanpa ada …”[ Qaaf:].
9. Allah menunjukkan hal-hal yang berada diluar jangkauan akal manusia
dan akal tidak boleh ikut bermain di dalamnya. Seperti firman Allah,”Mereka
bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah,” Ruh itu termasuk urusan
Allah saja dan kalian tidak diberi ilmu kecuali sedikit.”
10. Anjuran untuk menggunakan qiyas yang benar. Seperti firman Allah,”Maka
ambilah pelajaran wahai orang-orang yang mempunyai bashirah.” [Al
Madkhal Li Dirasati al Aqidah al Islamiyah hal. 40-42, Manhaju al Istidlal
‘Ala Masaili al I’tiqad ‘Inda Ahli Sunah wal Jama’ah
1/168-173].
KARATERISTIK AKALA SEORANG MUSLIM
Akal adalah potensi. Ia bersifat netral, tergantung kepada siapa yang
menggunakannya. Manakala digunakan oleh orang beriman, ia akan menuntunnya
kepada keagungan Allah Ta’ala dan kesejahteraan manusia. Namun manakala
ia dimanfaatkan oleh orang kafir yang jauh dan lepas dari bimbingan wahyu,
akal justru akan menyeret manusia kepada kerusakan dan kesengsaraan. Karena
itu Islam menggariskan beberapa karakteristik yang mesti ada agar potensi
akal bisa dimanfaatkan untuk kebaikan manusia.
Dr. Abdus Salam Al Basyuni menyebutkan beberapa karakteristik yang tersebut
adalah :
Pertama. Akal muslim. Maknanya akal yang benar-benar tunduk
kepada ketentuan Allah Ta’ala. Ia mengerti betul medan mana saja
yang harus digeluti dan medan mana yang ia tidak boleh turut campur di
dalamnya. Akal muslim berarti akal yang beragama bukan akal seorang atheis.
Dalam medan yang dilarang bergerak, ia berhenti dan menyerahkan diri sepenuhnya
kepada nash secara sempurna karena ia menyadari memang ada medan yang
di luar kemampuan dan jangkauannya. Setelah meneliti, akal menyadari bahwa
syar’I tak mungkin memerintahkan hal yang membawa kemudharatan bagi
manusia. Akal menyadari antara hati dan akal beredar di orbit yang sama,
tak mungkin keduanya bertabrakan atau saling menghancurkan. Akal dan hati
laksana bulan dan planet. Akal mengikuti hati yang dibimbing wahyu, sebagaimana
bulan beredar mengelilingi planet.
Dalam medan yang diperbolehkan, akal bekerja mengerahkan segenap kemampuannya
untuk berdaya upaya bagi kesejahteraan manusia, dengan satu syarat tidak
keluar atau menentang wahyu. Dalam medan ayang dibolehkan bergerak inilah,
akal benar-benar bermanfaaat melahirkan berbagai kemajuan fisik yang memabawa
kesejahteraan hiduap manusia. Akal menjadi awal dari perbagai penemuan
dan kemajiuan di bidang industri, iptek, kesehatan dan bidang kehidupan
lainanya.
Ustadz Muhammad Qutb menjelaskan hubungan akal dengan wahyu dengan jelas.
Kata beliau,” Jadi wahyu dan akal bukanlah dua hal yang seimbang
(serupa dan sama). Tapi yang pertama (wahyu) lebih besar dan lebih sempurna
dari yang kedua. Yang pertama datang untuk menjadi pokok bagi yang kedua
dan mizan (neraca timbangan) untuk menguji konsep dan pemahaman yang kedua
(akal) dan membenarkan kekurangan dan penyelewengan yang kedua. Antara
keduanaya ---tak diragukan lagi --- memang ada kesesuaian namun atas dasar
ini (sama-sama bekeraja demi kemaslahatan manusia namun wahyu mengendalikan
dan mengawasi akal---pent), bukan atas dasar menganggap keduanya sebagai
dua hal sebanding.” [Khashoishu al Tashawur al Islamy hal. 20, dari
Basyuni hal. 27].
Dari sini akal seorang muslim adalah akal ghoibi, dalam artian kata mengimani
hal-hal yang ghoib dan mu’jizat-mu’jizat yang telah ditetapkan
Alalh sekalipun tak bisa dicerna akal sehat. Hal-hal yang ghaib dan mu’jizat
para nabi memang seratus persen dari Allah, karena itu para nabi sendiri
mendatangkan mu’jizat itu bukan atas kemauan mereka sendiri, namun
sekali lagi atas kehedak Allah sebagaimana disebutkan dalam ayat,”
Katakanlah Maha Suci Rabbku. Bukankah aku tak lain hanyalah seorang manusia
biasa dan seorang rasul.” [ Al Isra’ :93].
Ini tentu berbeda dengan akal para “ pakar dan cendekiawan muslim
” hari ini yang banyak meragukan wahtu, hal-hal yang ghoib dan mu’jizat
para Nabi dengan alasan tak masuk akal. Akal yang demikian ini tentu bukan
akal yang sehat, namun akal yang sakit dan teracuni oleh virus-virus pemikiran
barat dan kufur.
Kedua. Akal Ushuli Salafy. Artinya akal yang benar-benar
mengakui dasar-dasar dan pokok-pokok sumber ajaran Islam :
a) Mengakui dan menagimani Al Qur’an Al Karim, berikut muhkam dan
mutasyabihnya, qath’i dilalah dan dhoni’ dialahnya.
b) Menghormati dan berkhidmat kepada sunah nabawiayah, menerima yang
sunah yang shahih yang diterima oleh umat setelah diperiksa oleh para
pakar hadits melalui qaidah-qaidah musthalah hadits. Akal seorang muslim
selalu menerima setiap hadits yang shahih, tanpa membuat dikotomi hadits
ahad-hadits mutawatir, hadits masalah hukum-hadits masalah aqidah dst
seperti dilakukan oleh kaum Mu’tazilah, yang ditiru para “cendekaiawan
gerakan pembaharuan keagamaan” dewasa ini.
c) Mengakui ijma’ dan mencari hal-hal yang telah menjadi ijma’
para ulama. Manakala suatu masalah telah menjadi ijma’, akal tak
boleh mencari-cari celah untuk menemukan pendapat yang lain.
d) Mengakui qiyas shahih sebagai dasar keempat bagi ijtihad. Qiyas yang
shahih akan membimbing akal menuju kesesuaian ajaran Islam dengan berbagai
perkembangan zaman.
Karena itu akal seorang muslim menolak berbagai pemikiran yang merusak
keempat dasar Islam ini. Akal menolak :
a) Orang-orang yang meragukan Al Qur’an baik seluruhnya, sebagiannya
atau meski satu huruf sekalipun. Karena itu kita menolak anggapan dan
tuduhan bohong yang mengatakan ada mushaf lain selain Al Qur’an yang
lebh lengkap seperti pendapat Rafidzah, atau yang mengatakan Al Qur’an
adalah kisah fiktif biasa layaknya novel picisan seperti yang dikatakan
Thoha Husain dalam buku Al Syi’ru al Jahili’nya atau yang meragukan
adanya Ibrahim seperti dikatakan oleh Muhammad Ahmad Khalfullah dalam
disertasinya, Al Qashash al Fanni fi al Qur’anil Karim. Sebagaimana
kita juga menolak orang-orang yang memasukkan teori-teori impor dari orang
kafir untuk memahamai Al Qur’an seperti teori materialistik, sosialisme
dst.
b) Kita juga menolak orang-orang yang mengingkari as sunah, yang menyerang
dan menghujat manhaj penulisan hadits, para perawi-nya, mukharijnya, kaedah
mustholah hadits dst.
c) Kita Juga menolak orang-orang yang hanya menerima sunah bila sesuai
dengan kepentinagan mereka, namun menolaknya manakala tidak memberi keuntungan
kepada mereka, sebagaimana disebutkan Allah dalam QS. An Nur : 47-50.
d) Kita juga menolak orang-orang yang mengingkari ijma’ secara terus
terang atau menolaknya dengan alasan tak mungkin terjadi.
e) Kita Menolak orang-orang yang menolak dan mengingkari qiyas, karena
qiyas seperti disebut oleh Imam Al Asnawi adalah dan qoidatu al ijtihad
wa al mushil ila al ahkam allati laa hasro laha / kaedah ijtihad dan hal
yang menyampaikan kepada hukum yang jauh tak terbatas.
Selain empat dasar ini, akal seorang muslim juga menerapkan kaedah-kaedah
yang telah disepakati untuk melakukan ijtihad seperti ushul fiqh, ilmu
tentang waqi’, ilmu tentang bahasa arab [Nahwu, Sharaf, Balaghah
dll], ilmu tentang asbabun nuzul, nasikh dan mansukh dll. Sebaliknya,
kita menolak orang-orang yang memaksakan akal mereka untuk ikut nimbrung
– bila tanpa dasar ilmu-ilmu dan syarat ijtihad --- dalam arena ijtihad
dengan alasan kajian ulang dan ijtihad serta pembaharuan.
Seperti kita ketahui bersama, memang banyak yang mengkritik sikap berpegang
teguh dengan dasar-dasar ajaran Islam ini sebagai sikap jumud, statis,
kuno, ketinggalan zaman dan tak mampu menyesuaikan diri dengaperkemabangan
zaman. Tuduhan ini selain salah juga mengada-ada. Betapa tidak, tak ada
pihak manapun yang tidak memeganag teguh alandasa berpikirnya, sampai
orang-orang kafir sekalipun. Lihat saja Eropa. Mereka betul-betul memegangi
pendapat dan teori tokoh-tokoh filsafat kuno mereka seperti Plato dan
Aristoteles, demikian juga dengan sastrawan seperti skahespear dan tokoh-tokoh
lain. Bahkan orang Islam yang kebarat-baratan yang meneriakkan tuduhan
tadi ternyata juga bangga dengan budaya kuno Yunani, Romawi, Babilonia,
Asyuriah, Qibthiyah dst.
Ketiga. Akal Mubdi’ Mutathowir. Artinya akal yang
senantiasa bekerja, menolak kejumudan dan statis, menolak sikap taklid.
[QS. Zukhruf :22-24]. Islam memberi kekebasan akal untuk bekerja ---selama
bukan dalam masalah mutasyabihat, qath’iyah dam hal-hal ghoib—dengan
menggariskan beberapa rambu-rambu utama, sebagaimana disebut oleh Dr.Mahmud
Hamdi Zaqzuq dalam bukunya Daurul Islam fi Tathowuri al Fikr al Falsafi:
a) Menolak taqlid buta, tapi harus mempunyai tujuan dan manhaj yang jelas.
b) Memberantas pemikiran khurafat, perdukunan dan sihir yang dibangun
di atas dasar dugaan belaka dan kebohongan.
c) Menekankan bahwa masing-masing individu mempunyai tanggung jawab di
hadapan Allah, sehingga manusia tak boleh asal ikut-ikutan dengan orang.
Di lain pihak, Islam menjadikan hifdhu akal (memelihara akal) termasuk
salah satu maqashidu syari’ah, dengan jalan mengharamkan segala hal
yang merusak, mengancam, dan mengekang akal sekalipun pelakunya manusia
itu sendiri.
d) Dengan aqidah tauhid, Islam membebaskan manusia dari ketakutan kepada
kekuasaan atas nama agama menuju keberanian menyuarakan kebenaran sekalipun
berisiko. Karena itu Rasulullah menyatakan, termasuk jihad yang paling
agung adalah menyuarakan kalimat kebenaran di hadapan penguasa yang dzalim.
e) Dr. Abdu Salam Basyuni menambahkan satu hal lagi, yaitu Islam tidak
menyamakan antara seorang mujtahid dengan seorang muqalid, aantara seorang
‘akil (berakal) dengan seorang ghafil (lalai). Islam meninggikan
orang-orang yang beriman dan aberamal beberapa derajat di atas orang mukmin
biasa. Islam mengharagai ilmu dan menyatakan keutamaannya, seperti selluruh
makhluk di alam sampai ikan di lautan ikut memintakan ampun bagi pengajar
kebaikan dan keutamaan-keutamaan lain. [Al Aqlaniyah Hidayah am Ghiwayah
hal. 38].
Keempat. Akal Bahatsah. Artinya Akal yang mencari dalil
dan hujah. Karena itu Islam menantang orang yang selalu berbicara tapi
tak pernah berdalil untuk mendatangkan dalil [QS. 2:111, 21:24,27:64].
Inilah manhaj ilmi yang benar, bukan layaknya para paranormal dan “orang
pintar” yang membangun persepsi dan mengeluaran penyataan-pernyataan
atas dasar dugaan dan bisikan setan, bukan pula atas dasar penindasan
dengan menamakan diri wakil Tuhan seperti para pendeta gereja, bukan pula
atas dasar teror istilah sebagaimana ditempuh para rasionalist dan orientalis
barat hari ini. Akala juga mengakui, dalil yang dipakai harus dalil yang
shahih.
Kelima. Akal Hiyadi ( netral ). Artinya menerima kebenaran
darimanapun datangnya, karena kebenaran adalah hikmah yang hialang, di
manapun kaum muslimin mendapatkannya mereka lebih berahak menerimanya.
Tetapi tentunya dengan benteng aqidah shahihah terlebih dahulu. Selain
itu, sifat ini juga berarti mengakui kesalahan. Bila pendapatnya salah,
ia akan menarik pendapat itu tanpa ada sikap arogansi sedikitpun. Begitu
juga bila tidak mengetahui tentang suatu masalah, ia akan jujur mengatakan
Laa Adri (tidak tahu), sebagaimana selalu dicontohkan para ulama salaf.
Keenam. Akal Syumuli. Artinya memandang seluruh aspek kehidupan
dari kaca mata Islam Akal seorang muslim bukanlah akal yang menerima sebagian
wahyu yang sesuai dengan hawa nafsunya namun menolak sebagian wahyu yang
bertentangan dengan hawa nafsunya. Akal seorang selalu menerima wahyu
secara totalitas, baik sesuai dengan hawa nafsu maupun tidak. Akal seorang
muslim juga selalu menyeimabangkan anatara lmu dan amal, amalnya selalu
membenarkan ilmunya.
Akal seorang muslim menganggap Islam itu perpaduan ilmu dan amal. Menganggap
Islam sebagai ilmu belaka --- seperti misalnya tulisan Dr Suhair Luthfi
dalam bukunya Ru’yatul Islam fi Aal Fikri al Islamy al Mu’ashir
---, selain mengeraskan hati juga akan membawa kepada sekulerisme yang
memisahkan Islam sebagai dien dengan Islam sebagai peradaban, kebudayaan
dan manhaj hidup, tak ubahnya pahatan arca dan patung pada candi peninggalan
orang kuno..
Ketujuh. Akal Marinun, Artinya akal yang bergerak dengan
baik antara tsawatib (hal-hal yang baku / qath’i) dan mutaghayirat
(hal-hal yang dhani/nisbi/tidak baku). Ada ajaran Islam yang qath’I
yang tidak menerima perubahan yaitu pokok-pokok aqidah, ibadah dan akhlak
(juga disebut dengan istilah tauqifiyah), namun ada juga ajaran Islam
yang bisa berubah sesuai perubahan tempat dan waktu tanpa merubah esensinya,
yang disebut dengan istilah masalah mutaghayirat atau mutaghayirat.
Wujud dari sifat ini adalah :
a) Akal yang mengakui bahwa fatwa bisa berubah sesuai perubahan waktu,
ruang dan kondisi.
b) Akal yang bergerak antara dhahir nash dan qawaid syar’I yang
bersifat kuliyah.
c) Mengambil seluruh nash dalam seluruh masalah baru kemudian menarik
kesimpulan.
Keteguhannya nampak dalam sikap memegang tsawabit dan tauqifiyah, sementara
sikap keelastisannya dan kesesuaiannya dengan perkemabangan zaman nampak
dalam sikap memegang mutaghayirat dalam beberapa masalah yang berkembang
sesuai perkembangan zaman. Dr. Abdu Salam Basyuni menerangkan, hal. 43,
memegang teguh tasawabit sama sekali bukan langkah mundur, statis atauapun
kuno, namun berarti iqrar waqi’I biadamiyati adamy dan rububiyati
rabb (pengakuan realita kemanusiaan manusia dan ketuhanan Rabb (Allah),
dan ta’kid ‘ala mahdudiyati al thaqah al mudrikah fi bani Insan
(menguatkan/pengakuan atas keterbatasan kemampuan akal].
Karena itu akal seorang muslim mengakui rukun iman yang enam, mengakui
tujuan hidup manusia adalah beribadah kepada Allah semata, agama yang
benar hanya Islam, rukun iman adalah syarat diterimanya amal, dst. Semua
ini tsawabit yang tak boleh dirubah dan tak menerima pengembangan lagi.
Kedelapan. Akal Musta’lin. Artinya akal yang mempunyai kemulaiaan
dan harga diri. Akal seorang muslim menolak segala sistem dan ide asing
dari luar yang bertentangan dengan Islam. Ia melihat jahiliyah ayanga
hari ini mengauasai dunia --- yang memang bukan hikmah yang menjadi barang
hilang kaum muslimin -- namun tak terpengaruh dan tak terbuat terkagum-kagum
olehnya. Ia tak terkecoh oleh sistem kapitalisme, sosialisme, sekulerisme,
demokrasi, dan sistem-sistem jahiliyah lainnya. Setiap istilah yang merupakan
produk pemikiran mempunyai sejarah dan ideologi sendiri, seperti sosialisme,
materaialisme, kapitalisme, demokrasi, sekulerisasi dst. Akal seorang
muslim tidak memasukkan unsur-unsur asing ini untuk mencetak Islam lagi
dengan cetakan baru yang tak terdapat di dalamnya sama sekali ajaran Rasulullah.
Salafus Sholih telah mencontohkan hal ini, bagaimana Rib’i bin Amir
dengan keteguhan sikapnya membuat Rustum dan teatara Persia jatuh mental.
Lihat pula Imam Ibnu Tamiyah dan Al Ghazali yang menghantam filsafat Yunani
dan Persia yang hari ini menggejala di mana-mana.
Berapa banyak pakar muslim hari ini yang karena pergaulannya yang rapat
dengan ideologi-ideologi kafir ini akhirnya terpesona, tak mampu menolaknya,
lalu menerjemahkannya dengan ide-ide yang menghancurkan nash-nash qath’I
dan tsawabit, bahkan masih ada yang lebih parah lagi dengan menghantam
orang-orang yang berpegang teguh dengan nash-nash qath’I tadi dengan
tuduhan kuno, tradisionalis, ekstrim, ortodoks dst, Akhirnya mereka tak
memandang lagi Islam sebagai satu-satunya dien yang benar di sisi Allah
dan mencari petunjuk selain Islam sebagai sebuah kesesatan dan kekafiran,
malah bisa jadi menurut mereka Nasrani dan Yahudi masuk surga dan bahkan
surga Firdaus yang tertinggi seperti pendapat Dr. Muhammad Imarah, Fahmi
Huwaidi, Dr. Abdul Azizi Kamil dari satu pihak dan Dr. Mahmud Abu Rayah
serta Sa’id al Asymawi dari pihak lain. [Al Aqlaniyah Hidayah am
Ghiwayah hal. 46].
Mereka memperalat ayat tentang shabiah [[QS. Al Baqarah:62] sebagai bukti
orang-orang kafir itu masuk surga sekalipun setelah nabi Muhammad diutus
asal mereka mempunyai jasa besar bagi kehidupan manusia. Padahal menurut
kesepakatan muafasirin seperti Ibnu Jarir Ibnu Katsir, Asy Syaukani, As
Suyuthi, Al Qasimi dan Al Qurthubi, maknanya adalah orang Yahudi, Nasarani
dan Shabiah yang beriman kepada Nabi Muhammad dan Al Qur’an serta
beramal sholih, mereka akan masuk surga. Artinya, itu terjadi setelah
mereka masuk Islam lebih dulu.
Suatu saat terjadi dialog antara Mahmud Abu Rayah dengan para ulama Al
Azhar. Mahmud Abu Rayah bertanya,” Apa pendapat kalian tentang Thomas
Alfa Edison, si penemu lampu pijar ?” Mereka menjawab,” Akan
masuk neraka.” Maka Mahmud Abu Rayah menggugat,” Apakah setelah
ia menerangi dunia seluruhnya, sampai masjid dan rumah kalian, ia tetap
masuk neraka?” Para ulama menjawab,” Ya, sekalipun ia berjasa
seperti itu, karena ia tak mengucapkan syahadatain.” Mahmud Abu Rayah
menggugat lagi,” Kalau orang-orang dan tokoh-tokoh ternama dunia
yang telah mencurahkan hidupnya untuk kesejahteraan umat manusia menurut
kalian secara syar’I tak mungkin masuk surga, maka secara akal bukankah
mungkin mereka masuk surga dengan rahmat Allah dengan besarnya jasa mereka
itu?”
Mirip dengan ini adalah Fahmi Huwaidi yang menulis dalam majalah Al Araby
edisi Rabiul Awal 1401 H dengan judul Al muslimun wa al akhorun. Ia menggugat
seorang khathib Jum’at yang menyatakan umat Islam sebaik-baik umat
yang dikelurkan untuk umat manusia (dinyatakan Allah dalam QS. Ali Imran
:110]. dan khathib itu membaca doa yang mendoakan agar orang-orang kafir
dicerai beraikan oleh Allah dan dilaknat (doa qunut). Fahmi Huwaidi menulis,”
Saya duduk di shaf pertama, dalam masjid dengan karpet halus made in Jerman
Barat, dibawah AC made in Amerika, diterangi lampu-lampu made in Hongaria,
sementara suara khathib menggaung melalui pengeras suara made in Belanda.
Ketika syaikh itu turun dari mimbar, saya segera mendekatinya untuk memegang
tangannya yang dibalut kain dari Inggris dan sorban dari sutra Jepang
Tangannya dilingkari jam Zodiak made in Swis, sementara di samping mimbar
ada sepatu mengkilap hitam made in Italia.”
Menurut Mahmud Abu Rayah dan Fahmi Huwaidi, kemajuan industri dan teknologi
mereka sudah cukup untuk memberi syafa’at bagi orang-orang kafir
di hari kiamat nanti. Kalau cara berfikirnya demikian, tentunya istana
megah Kisra, filsafat orang-orang Yuani Kuno, tembok besar Cina, Borobudur
orang Budha Indonesia, piramide Mesir kuno dst cukup untuk menjamin tiket
ke surga, tak peduli mereka berbuat syirik dan kufur. Suatu pemikiran
---yang menurut mereka adil, moderat dan masuk akal --- namun secara aqidah
sangat rusak dan menyesatkan.
Mereka lupa Rasululah telah menerangi dunia. Bukan dengan lampu pijar
Edison atau filsafat Yunani, namun dengan tauhid, keadilan dan wahyu.
Mereka lupa, Yahudi dan Nasrani sendiri mengharamkan surga atas Muhamamd,
shahabat dan seluruh orang Islam. Orang Yahudi dan Nasrani sendiri menyatakan
surga itu hanya jatah mereka. [lihat QS. Al Baqarah :].
MEDAN-MEDAN YANG BUKAN MENJADI RUANG GARAP AKAL
Tidak semua hal bisa dikerajakan oleh akal. Ada beberapa hal yang sama
sekali bukan hak akal untuk mengurusinya. Hal-hal itu adalah :
1. Mughayabat (hal-hal yang ghaib).Hal-hal yang ghoib mutlak
berdasarkan wahyu, akal sama sekali atak mempunayai kemampuan untuk membicaraka
hal itu. Karena itu Rasulullah sendiri mengakui, ilmu tentang ahal-hal
ayang ghaib itu ilmu Allah semata, Kewajiban akal adalah mengimaninya.
2. Qath’iyah. Hal-hal yang telah disebutkan dasarnya
(nash secara tegas) di dalam Al Qur’an dan As Sunah juga bukan menjadi
ruang garap akal. Akal mempunyai kewajiban mengimaninya. Karena itu akal
seorang muslim tak akan membantah kenapa sholat Maghrib tiga raka’at,
sholat Isya’ empat raka’at sementara sholat shubuh hanya dua
aka’at. Ia tak akan membantah kenapa bagian warisan bagi anak laki-laki
dua kali lipat bagian anak perempauan, kenapa perempuan dilarang menjadi
kepala negara, kenapa jilbab diwajibkan, kenapa perempuan harus bersama
mahramnya ketika bepergian, kenapa Islam mensyariatkan jihad padahal jihad
membawa konsekuensi hilangnya nyawa dan rusaknya harta benda, dan kenapa-kenapa
lainnya dengan tujuan untuk membantah dan menolak direalisasikannya nash-nash
yang qath’i ini dalam realiata kehidupan. Betapa banyak para tokohcendekiawan
gerakan pembaharuan yang menghujat nash-nash ini dengan alasan yang mereka
buat, tak sesuai dengan kondisi umat abad 21, kuno, kejam dan melanggar
HAM dan alasan lain yang didiktekan oleh guru-guru besar mereka para profesor
di Barat.
3. Arkan (rukun-rukun). Rukun iman yang enam, rukun Islam
yang lima tak bisa diutak-atik dengan akal. Semuanya sudah ditetapkan
Allah, harus diimani dan dilaksanakan dengan penuh kerelaan. Hari ini
banyak sekali para cendekiawan dengan mengatas namakan gerakan pembaharuan
merusak dan menghancurkan rukun-rukaun yang paten ini. Dr. Husain Ahmad
Amin --- diikuti Dr. Harun Nasution di Indonesia --- menulis dalam buku-bukunya
sikapanya yang menolak iman kepada takdir dengan alasan hal itu adalah
aqidah orang badui (suku terpencil/terasing/primitif). Ia menulis,”
Kehidupan orang-orang badui bersandar hampir secara totalitas kepada air
dan rumput Mereka mendapati hujan itu keselamatan sedang kekeringan itu
kehancuran.. keduanya sama sekali bukan dari usahanya, ia tak punya kemampuan
untuk itu (mendatangkan hujan dan rumput)…Inilah aqidah badui...yang
berpindah ke dalam Islam setelah ide tentang Allah menempati ide tentang
daharu (perjalanan waktu adalah pengatur segala yang ada di alam semesta).
{Asatirul Mu’ashirin hal. 144, dari Basyuni hal. 64]. Dengan nama
pembaruan yang sebenarnya atak lain adalah ide-ide kafir, kita dipaksa
untuk menghalalkan yang haram, mengharamkan yanga halal, membuang nash-nash
qath’I. [lihat QS.6;27-30].
Mutasyabihat. Mutasyabihat maknanya ayat-ayat yang hanya Allah saja
yang mengetahui maknanya, seperti rahasia alam ghaib, surga dan neraka,
waktu terjadinya kiamat dan lain sbagaianya. Termasuk ayat mutasyabihat
adalah ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan
arti mana yang dimaksud kecuali setelah diselidiki secara mendalam. [lihat
Mabahits fi Ulumil Qur’an, Manna’ Qathan hal…]. Dalam ayata-ayat
seperti ini, akal sama sekali tidak boleh berijtihad. Akal harus menerima
wahyu dengan sepenuh hati, tanpa membantah sedikitpun. Akal orang-orang
yang berilmu menalam akan menyatakan,”Kami mengimaninya, semuanya
itu dari sisi Rabb Kami.” [QS. Ali Imran :7].
4. Dzat Allah Ta’ala. Dzat Allah bukan termasuk ahal
yang menjadi bidang garap amal. Karena itu, Islam mengajarkan sikap yang
benar adalah menetapkan setiap nash yang menyatakan nama dan sifat Allah,
tanpa melakukan ta’wil (mencari makna selain makna yang dhahir dari
nash tersebut) , tasybih (penyerupaan) maupun ta’thil (meniadakan
dan tidak mengakui). Hal ini bukan untuk membatasi akal, namun sebagai
sikap mengakui ketidak sempurnaan akal.
Telah terbukti berbagai sikap mengutak-atik dzat, asma’ dan sifat
Allah inia, baik lewat ta’thil, ta’wil maupun tasybih, banyak
sekali mengambil sumbernya dari dunia barat. kita lihat misalnya Julian
Kekseley dalam Man in The Modern Word yang berkata,” Manusia telah
tunduk kepada tuhan karena kelemahan dan kebodohannya, sekarang manusia
telah belajar dan menguasai lingkungan maka telah tiba waktunya baginya
untuk melemparkan tanggung jawab di pundaknya yang dulu ia terima saat
ia masih bodoh dan lemah ke pundak Allah. Dengan demikian dia menjadi
tuhan.” [Madzahib Fikriyah Mu’ashirah hal.631]..Terbukti sikap
Mu’tazilah, Mutasyabihah, sufi dan sekte-sekte sesat lain dalam masalah
ini banyak mengambil apemikairan Hindu, Budha, Kristen ataupun kepercayaan
Yunani kuno.
5. Hakimiyah. Hak membuat UU di tangan Allah merupakan
salah satu pokok aqidah yang tidak bisa ditawar lagi. Akal manusia tak
bisa membantahnya, karena Allah yang menciptakan alam semesta, Allah pula
yanga mampu menentukan aturan yang cocok sejak awal penciptaan sampai
hari kiamat nanti. Dengan demikian, tathbiaqus syariah merupakan pengakuan
akan keterbatasan akal manusia, sekaligus pengakuan rububiyah dan uluhiyah
Allah. Namun sebagian umat Islam yang terkontaminasi budaya dan peradaban
Barat mulai menggugat aqidah ini. Mereka mulai menjadikan demokrasi sebagai
alternatif tunggal kehidupan bernegara mereka. Lewat nabi baru, Montesquie
yang membawa “ wahyu “ Trias Politika dan John Jacques Rosseau
dengan “Teori Kontrak Sosial”nya, mereka merampas hak rububiyah
dan uluahiyah Allah dalam masalah tasyri’ ini dan mempersembahkannaya
kepada wakil rakyat. Jadilah DPR/MPR tuhan-tuahan baru yang disembah jutaan
umat manusia. Sebaliknya, ajakan menerapkan syariah Islam yang berarti
menemapatkan akal pada proporsi sebenarnya malah dikatakan sebagai sikap
primitif dan kemunduran. Tak heran bila slogan Faraj Faudah dalam pemilihan
Umum di Mesir adalah “Laa Li tathbiqi syari’ah Al Islamiyah.
.” [tidak untuk penerapan syariah Islam].
JADI APA FUNGSI AKAL?
Ibnu Taimiyah berkata,” ..Aka ladalah syarat untuk mengetahui ilmu-ilmu
dan sempurna serta baiknya pekerjaan. Dengannya ilmu dan amalan menjadi
sempurna, namun ia tidak berdiri sendiri, ia hanyalah instink dalam jiwa
dan kekuatan (potensi) dalam jiwa. Kedudukannya bagaikan kekuatan memandang
dalam mata. Jika ia bertemu dengan cahaya iman dan Al qur’an maka
ia bagaikan cahaya mata jika bertemu dengan cahaya matahari dan api. Namun
kala akal sendirian, ia tak akan bisa melihat apa yang ia tak sanggup
meraihnya. Jika tak ada secara keseluruhan (iman,Al Qur’an dan akal),
seluruh perkataan dan perbuatan menjadi umuran hayawaniyah (nafsu kebinatangan
semata), kadang ada rasa cinta, perasaan dan rindu seperti dalam diri
binatang. Tanpa adanya akal, manusia kurang, sedang perkataan yang bertentangan
dengan akal adalah batil..” [Majmu’ Fatawa 3/338-39].
KERETA KELUAR DARI RELNYA
Seperti telah disebutkan di muka, kerusakan yang ditimbulkan oleh sikap
pemberontakan akal dari kudratnya sangatlah besar. Ibarat kereta, akal
telah kelauar dari relnya.
Dr. Abdullah Abdul Muhsin At Turki dan Syu’aib al Arnauth brakata,”
Akal adalah salah satu wasilah yang terbatas dari sekian wasilah untuk
mencapai pengetahuan. Akal tak bisa mengetahui selain hal-hal yang terindrai
secara yakin, dan bisa mengetahui hal-hal ghaib secara tashawur (pemahaman)
saja, bukan secara yakin. Ahlu sunah beriman dengan cara mengitsbatkan
apa yang dikhabarkan oleh nash tentang hal-hal ghaib dan membenarkannya,
tanpa membahas lagi kaifiyahnya karena hal itu bukan kemampauan akal.”
[Syarhu Aqidah Thahawiyah hal. 25, Dar Alamil Kutub cet. 3, 1418 /1997M].
Ibnu Khaldun dalam Muqadimahnya hal. 364-365 berkata,” Hanya saja
anda jangan berambisi menimbang dengan akal masalah tauhid, akhirat, hakekat
nubuwah, hakekat sifat-sifat Ilahiyah dan setiap hal yang diluar kemampuannya,
karena berarti ambisi yang mustahil. Permisalannya bagaikan seorang melihat
timbangan emas, lalu berambisi menimbang gunung-gunung dengan timbangan
itu. Bukannya timbangannya yang tak benar, namun akalnya yang tak mampu..”
[Syarhu Aqidah Thahawiyah hal. 26 ].
Imam as Sarhandi mengatakan,” Sesungguhnya hal nubuawah tu berada
di balik (kemampuan) akal dan pikiran. Hal-hal yang akal tak mampu memahaminya
/mengetahuinya, maka nubuawah datang untuk menetapkan dan menegaskannya.
Kalau dengan akal saja sudah cukup, tentulah tak diutus para nabi dan
tentulah adzab akhirat tak perlu dikaitkan dengan pengutusan mereka, (Padahal
Allah berfirman),“ Dan tidaklah Kami mengadzab sampai Kami mengutus
rasul.” Akal memang menjadi hujah, namun bukan hujah yang sempurna.
Hujah akal tidakalah sempurna, hujah yang sempurna hanya terealisasi dengan
diutusnya para nabi dan rasul yang memutuskan (membantah) lisan (alasan-alasan
yang dicari-cari oleh) para mukalaf dan membatalkan alasan-alasan mereka.
Allah berfirman,” Para rasul…4:1..]. Karena akal tak mampu menangani
beberapa masalah, maka tidak pada tempatnya bila seluruh hukum syar’I
dtimbang dengn timbangan akal. Sesungguhnya usaha menyesuaikan antara
akal dengan hukum-hukum syar’i secara terus menerus dan mewajibakan
hal itu dan mengikatkan diri dengan hal itu berarti menghukumi bahwa akal
saja sudah cukup dan sempurna dan mengingkari nubuwah. Naudzu Billahi
min dzalika.” [ibid, hal.26].
REFERENSI :
1. Al Madkhal Li Dirasati al Aqidah al Islamiyah hal. 40-42
2. Manhaju al Istidlal ‘Ala Masaili al I’tiqad ‘Inda Ahli
Sunah wal Jama’ah 1/…].
3. Syarhu Aqidah al Thahawiyah, Ibnu Abil Izz Al Hanafy, Dar Alamil Kutub
cet. 3, 1418 /1997M.
4. Al Ilmu Ushuluhu wa Mashadiruhu wa Manahijuhu hal. 29-31,Muhammad
Abdullah Ibrahim al Khur’an, Darul Wathan, Riyadh, cet. 1,1412 h.
5. Al Aqlaniyah Hidayah Am Ghiwayah
Komentar
Posting Komentar