“Mas... kok belum berkemas-kemas... kemah itu nggak
berat lho. Selain menyehatkan jasad, yang lebih penting, ia bagian dari i'dad, persiapan dan latihan berjihad. Mas kebanggaan
kami, si kecil kelak akan mencontoh Mas,” kata seorang akhwat sambil
mengelus-elus pundak suaminya.
“Adik bantu mengemasi ya...” belum keluar jawaban dari
bibir suaminya, akhwat itu telah mengeluarkan tas ransel dari lemari.
Sang suami yang tadinya ogah-ogahan mulai berdiri. Bangkit
mengambil hp.
“Ustadz, saya besuk ikut berangkat kemah,” kata ikhwan itu, kini tanpa ragu-ragu.
“Lho, kemarin katanya kesulitan cuti?,” terdengar jawaban dari balik hp
“Ustadz, saya besuk ikut berangkat kemah,” kata ikhwan itu, kini tanpa ragu-ragu.
“Lho, kemarin katanya kesulitan cuti?,” terdengar jawaban dari balik hp
“Kalau masalah kerja insya Allah bisa diatur, Ustadz,” Balasnya sembari tersenyum.
***
Begitulah inti dialog suami-istri yang sama-sama aktifis dakwah. Saya yakin, dialog yang kurang lebih sama tidak hanya terjadi di hari itu, di keluarga itu. Ada banyak dialog yang berisi penguatan, motivasi, dan peneguhan dari akhwat kepada suaminya. Mungkin dialog yang lain bukan hanya menyemangati sang suami untuk berangkat mukhayam. Dan mungkin saja dialog itu pernah terjadi di keluarga kita.
Begitulah inti dialog suami-istri yang sama-sama aktifis dakwah. Saya yakin, dialog yang kurang lebih sama tidak hanya terjadi di hari itu, di keluarga itu. Ada banyak dialog yang berisi penguatan, motivasi, dan peneguhan dari akhwat kepada suaminya. Mungkin dialog yang lain bukan hanya menyemangati sang suami untuk berangkat mukhayam. Dan mungkin saja dialog itu pernah terjadi di keluarga kita.
Lalu apa yang saya maksudkan dengan akhwat? Wanita shalihah
secara umumkah? Tidak, saya benar-benar bermaksud menggunakan istilah akhwat
dalam arti yang sempit. Yakni muslimah yang tertarbiyah Islamiyah sehingga ia
tidak saja menjadi wanita shalihah tetapi juga muslihah. Baik secara pribadi
sekaligus terlibat dalam dakwah untuk memperbaiki orang lain. Maka akhwat yang
saya maksudkan adalah mereka yang tersibghah dengan tarbiyah Islamiyah hingga
mencapai muwashafat; tumbuh menjadi pribadi yang memiliki kepribadian Islam
(syakhsiyah Islamiyah) sekaligus kepribadian dai (syakhsiyah Da'iyah).
Tentu saja yang saya maksudkan dengan “harus” itu bukan wajib
dalam terminologi Hukum Taklifi bahasan Fiqih. Bukankah menikah dengan akhwat
tertarbiyah itu tidak termasuk syarat atau rukun Nikah? Dan yang saya tuju
untuk renungan ini adalah para ikhwan. Mengapa harus menikah dengan akhwat?
Alasannya? Yang pertama sudah kita bahas beberapa waktu yang
lalu; kesetiaan. Akhwat yang telah tertarbiyah, ia setia kepada Allah dan
Rasul-Nya. Sebagai buah kesetiaan kepada Allah dan Rasul-Nya ia juga sangat
setia kepada suaminya. Kesetiaan yang hakiki dan terpancar kuat dalam sikap dan
ucapan ini berdampak besar bagi suami. Sang suami bisa lebih tenang, lebih
damai, lebih khusyu' dalam beribadah, fokus dalam bekerja, concern dalam meniti karir atau mengembangkan
bisnis, dan serius dalam berdakwah.
Kedua, seperti dialog di atas, akhwat menjadi sahabat dakwah. Ia mampu menjadi motivator di saat kita lemah. Ia mampu menguatkan kembali komitmen dakwah kita di saat kita malas. Ia mampu menjadi peneguh saat kita mulai goyah.
Kedua, seperti dialog di atas, akhwat menjadi sahabat dakwah. Ia mampu menjadi motivator di saat kita lemah. Ia mampu menguatkan kembali komitmen dakwah kita di saat kita malas. Ia mampu menjadi peneguh saat kita mulai goyah.
“Untuk membangun keluarga muslim yang dilandasi taqwa,” tulis
Syaikh Musthafa Masyhur dalam Fiqhud Dakwah, pertama kali seorang Muslim harus mencari
pasangan yang baik keislamannya dan yang memahami tugas risalah hidupnya.
Menjadikan pasangan hidupnya sebagai sahabat dakwah yang baik, yang selalu
dapat mengingatkannya jika ia lupa, memberi motivasi berdakwah dan tidak
menghalanginya.”
Istri itu memiliki pengaruh besar dalam kehidupan suami. Ada
banyak contoh suami yang sebenarnya biasa-biasa saja, tetapi setelah sekian
tahun menikah ia menjadi luar biasa karena motivasi istrinya. Bukan hanya dalam
dakwah, tetapi juga dalam ibadah. Ada suami yang beberapa tahun silam
tilawahnya terbata-bata, tetapi kini ia yang biasa membetulkan tilawah
teman-temannya. Ia serius mengikuti tahsin karena dorongan istrinya.
Ada pula orang yang jarang qiyamullail, tiba-tiba menjadi
rajin setelah menikah karena istrinya yang dengan cara “penuh cinta”
membangunkannya. Ia mengingatkan kita pada sabda Rasulullah SAW:
Allah merahmati wanita yang bangun di tengah malam, ia shalat
dan membangunkan suaminya. Jika suaminya enggan bangun, ia meneteskan air ke
wajahnya. (HR. Abu Daud, shahih)
Sebaliknya, tidak sedikit lelaki yang terjungkal karena istrinya. Bahkan tidak terkecuali ikhwan, para aktifis dakwah. Bayangkan jika istri pada cerita di atas mengubah dialognya: “Iya Mas, lebih baik Mas di rumah saja. Ngapain juga capek-capek di hutan, di gunung. Kalau ada apa-apa bagaimana coba. Mana Mas gak punya asuransi lagi. Kalau sampai lebih dari itu? Mas rela saya jadi janda dan si kecil jadi yatim? Mas rela kalau nanti ada orang lain yang nikahi saya?” Bisa dipastikan ikhwan itu semakin “teguh pendirian” untuk tidak berangkat. Dan... banyak alasan yang bisa dipakai.
Sebaliknya, tidak sedikit lelaki yang terjungkal karena istrinya. Bahkan tidak terkecuali ikhwan, para aktifis dakwah. Bayangkan jika istri pada cerita di atas mengubah dialognya: “Iya Mas, lebih baik Mas di rumah saja. Ngapain juga capek-capek di hutan, di gunung. Kalau ada apa-apa bagaimana coba. Mana Mas gak punya asuransi lagi. Kalau sampai lebih dari itu? Mas rela saya jadi janda dan si kecil jadi yatim? Mas rela kalau nanti ada orang lain yang nikahi saya?” Bisa dipastikan ikhwan itu semakin “teguh pendirian” untuk tidak berangkat. Dan... banyak alasan yang bisa dipakai.
Sebagaimana mampu memotivasi mad'u dan mutarabbinya, akhwat
juga memiliki kekuatan yang sama -bahkan lebih besar- untuk memotivasi
suaminya. Karena itulah mengapa kita perlu -bahkan harus- menikah dengan
akhwat. Bagaimana pendapat antum? [Muchlisin]
Komentar
Posting Komentar