Oleh
: Moch. Rochmat Hidayatullah
I.
DEFINISI
a. Secara Bahasa : Dari sisi bahasa kata sutrah adalah bentuk
jama’ (plural) dari kata sa-ta-ra berarti menutupi. Maka sutrah berarti
sesuatu yang menutupi.[1]
b. Secara Istilah : Menurut syara’ sutrah adalah sesuatu yang
dijadikan sebagai pembatas seseorang yang mendirikan shalat dengan orang yang
berjalan di depannya.[2]
II.
DALIL YANG MENSYARIATKAN
Dari Ibnu 'Umar -radhiyallahu 'anhuma-, dia berkata: Rasulullah n bersabda:
لاَ
تُصَلِّي إِلاَّ إِلَى
سُتْرَةٍ، وَلاَ تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ، فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ،
فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِيْن
"Janganlah kalian
shalat, kecuali menghadap sutrah dan janganlah kalian membiarkan seorangpun
lewat di hadapanmu, jika dia menolak hendaklah kamu bunuh dia, karena
sesungguhnya ada syetan yang bersamanya."(HR.
Muslim di dalam ash-Shahih.)
Dari Abu Sa'id al-Khudri a dia
berkata: Rasulullah n bersabda:
إِذَا
صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ، وَلْيَدْنُ مِنْهَا، وَلاَ يَدَعْ أَحَدًا
يَمُرُّ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا، فَإِنْ جَاءَ أَحَدٌ يَمُرُّ فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنَّهُ
شَيْطَانٌ
"Jika salah seorang
dari kalian shalat hendaklah menghadap kepada sutrah dan hendaklah dia mendekat
ke sutrah. Janganlah engkau membiarkan seorangpun lewat di antara engkau dengan
sutrah. apabila ia enggan maka perangilah karena sesungguhnya dia itu adalah
syetan." (HR. Telah dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam
al-Mushannaf (1/279), Abu Dawud di dalam as-Sunan no. (297), Ibnu Majah di dalam
as-Sunan no. (954), Ibnu Hibban di dalam ash-Shahih (4/ 48-49 al-Ihsan),
al-Baihaqi di dalam as-Sunanul-Kubra (2/ 267). Dan sanadnya hasan.)
Hadits riwayat Sahl bin Abi Hutsamah, dari Nabi n beliau
bersabda:
إِذَا
صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى سُتْرَةٍ، فَلْيَدْنُ مِنْهَا، لاَيَقْطَعُ الشَّيْطَانُ عَلَيْهِ
صَلاَتَهُ
“Jika salah seorang di
antara kalian shalat menghadap sutrah, maka hendaklah ia mendekat sehingga
syaithan tidak dapat memutus shalatnya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, An Nasa’i dan
lainnya. di dalam al-Musnad (4/ 2), ath-Thayalisi di dalam al-Musnad no. (379),
al-Humaidi di dalam al-Musnad (1/ 196), Abu Dawud di dalam as-Sunan no. (695),
an-Nasa`i di dalam al-Mujtaba (2/ 62), Ibnu Khuzaimah di dalam ash-Shahih no.
(803), Ibnu Hibban di dalam ash-Shahih (4/ 49), ath-Thahawi dalam
Syarhul-Ma'ani al-Atsar (1/ 458), ath-Thabrani di dalam al-Mu'jamul-Kabir (6/
119), al-Hakim di dalam al-Mustadrak (1/ 251), al-Baihaqi di dalam as-Sunanul
Kubra (2/ 272) dan hadits tersebut shahih.)
III.
HUKUM
SUTRAH
Maryolitas ulama’ berpendapat disukainya sutrah sebagai pembatas
antara seseorang yang sedang mendirikan shalat dengan kiblat, hanya mereka
berbeda pendapat dalam hal apakah hukumnya wajib atau tidak? Dan apakah sutrah
dengan menggunakan garis telah mencukupi?
Berkaitan dengan permasalahan ini, para ulama’ berbeda pendapat.
Sebagaian di antara mereka mengatakan hukum sutrah adalah wajib dan sebagaian
yang lainnya mengatakan sunnah.
1. Wajib.
Hukumnya wajib shalat menghadap sutrah, dan tiada bedanya baik di
masjid maupun selain masjid, di masjid yang besar atau yang kecil, berdasarkan
kepada keumuman sabda Nabi n.
Kewajiban ini dikuatkan oleh alasan syar'i dengan tidak batalnya
shalat seseorang karena dilewati oleh perempuan baligh, keledai atau anjing
hitam dan dilarangnya seseorang lewat didepan. Hukum wajibnya membuat sutrah
ini dipilih asy Syaukani dalam Nailul Authar (III/2) dan as Sail al Jarrar
(I/176). Imilah yang diutarakan Ibnu Hazm alam al Muhalla (Iv/8-15) [3]
Asy-Syaukani mengomentari hadits
Abu Sa'id a di atas : "Dalam hadits tersebut mengandung dalil, bahwa
membuat sutrah dalam shalat adalah wajib." [4]
Dia juga berkata dalam As-Sailul
Jarraar (1/ 176) : "Kebanyakan hadits yang mencakup perintah membuat
sutrah, dan dhahir dari perintah itu menunjukkan wajib. Jika didapati dalil
yang memalingkan perintah wajib ini kepada sunnah, maka hukumnya menjadi
sunnah. Tidaklah benar untuk dijadikan sebagai dalil yang memalingkan, yaitu sabda
beliau n:
"Sesungguhnya sesuatu
yang lewat di hadapannya tidak membahayakan." Karena seseorang yang shalat
itu wajib menjauhi sesuatu yang membahayakannya dalam shalat atau menghilangkan
sebagian pahalanya.
Diantara yang menguatkan
wajibnya sutrah: "Sesungguhnya sutrah itu sebab syar'i, dengannya shalat
seseorang tidak batal, dengan sebab lewatnya seorang wanita baligh, keledai
atau anjing hitam, terdapat dalam hadits yang shahih. Dan untuk mencegah orang
yang lewat dihadapannya serta hukum-hukum selain yang berkaitan dengan sutrah.[5]
Salafus shalih sangat gigih dalam membuat sutrah untuk shalat. Datang
perkataan dan perbuatan mereka yang menunjukkan bahwa mereka sangat gigih dalam
menegakkan, memerintahkan sutrah dan mengingkari orang yang shalat tidak
menghadap kepada sutrah.
Qurrah bin 'Iyas berkata:
"Umar a telah melihat saya ketika saya sedang shalat di antara dua tiang,
maka dia memegangi tengkuk saya, lalu mendekatkan saya kepada sutrah. Maka dia
berkata: "Shalatlah engkau dengan menghadap kepadanya."
Al-Hafidz Ibnu Hajar
berkata: "Dengan itu Umar a menginginkan agar dia shalat menghadap sutrah."
Ibnu Umar berkata: "Jika
seorang dari kalian shalat, hendaklah dia menghadap sutrah dan mendekatinya,
agar syetan tidak lewat di depannya."
Ibnu Mas'ud berkata: "Empat
perkara dari perkara yang sia-sia: "Seseorang shalat tidak menghadap sutrah...
atau mendengar orang yang adzan, tetapi dia tidak memberikan jawaban."[6]
Ibnu at Tirkamani berkata:
"Saya katakan bahwa: "Tidak adanya dinding tidak mengharuskan
meniadakan sutrah. Sementara saya tidak tahu apa sisi pendalilan dari riwayat
Malik tersebut yang menunjukkan bahwa beliau shalat tidak menghadap sutrah."
Dari uraian di atas maka penulis buku al Qaulul Mubin fi akhthail
mushallin berkata : Nyatalah bagi kami dengan jelas, kesalahan orang yang shalat
tidak meletakkan di hadapannya atau menghadap ke sutrah, walaupun dia aman dari
lalu lalangnya manusia, atau dia berada di tanah lapang. Tidak ada bedanya
antara di kota
Makkah atau tempat lainnya dalam hukum sutrah ini secara mutlak.[7]
2. Sunah Mu'akkad.
Dalam Fiqhul Islam, DR. Wahbah Zuhaili menyebutkan : Hukum sutrah
sunnah yang disyare'atkan, Dari Abu Sa'id al-Khudri a dia berkata:
Rasulullah n bersabda:
إِذَا
صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ، وَلْيَدْنُ مِنْهَا، وَلاَ يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ
بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا، فَإِنْ جَاءَ أَحَدٌ يَمُرُّ فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنَّهُ
شَيْطَانٌ
"Jika salah seorang
dari kalian shalat hendaklah menghadap kepada sutrah dan hendaklah dia mendekat
ke sutrah. Janganlah engkau membiarkan seorangpun lewat di antara engkau dengan
sutrah. apabila ia enggan maka perangilah karena sesungguhnya dia itu adalah
syetan." (HR. Telah dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam
al-Mushannaf (1/279), Abu Dawud di dalam as-Sunan no. (297), Ibnu Majah di
dalam as-Sunan no. (954), Ibnu Hibban di dalam ash-Shahih (4/ 48-49 al-Ihsan),
al-Baihaqi di dalam as-Sunanul-Kubra (2/ 267). Dan sanadnya hasan.)
Kesepakatan Fuqoha, hukum sutrah bukan wajib, karena perkara ini
dijadikan sebagai sunnah, tidak ditetapkan dari tiadanya batallah shalat. Bukan
syarat dalam shalat. Para salaf tidak
mewajibkannya, walaupun wajib mereka tidak melazimkannya, karena mendapat dosa
orang yang lewat didepannya. Jika wajib maka orang yang shalatpun menjadi
berdosa pula, dan karena "Nabi shalat di tanah lapang yang tidak ada
sesuatu didepannya" HR. Bukhari.[8]
Syaikh Utsaimin mengatakan : "Sutrah dalam shalat adalah sunnah
muakkad kecuali bagi makmum, maka ia tidak disunnahkan mengambil sutrah. Sudah cukup
dengan sutrahnya imam."[9]
Shalat menghadap kepada sutrah sunnah hukumnya baik mukim maupun
safar, fadhu atau sunnah, di masjid maupun ditempat lain; karena keumuman
hadits :
إِذَا
صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى سُتْرَةٍ، فَلْيَدْنُ مِنْهَا
"Jika salah seorang
dari kalian shalat menghadap sutrah, hendaklah ia mendekatinya.."
Dan apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abi Juhaifah
bahwa Nabi menancapkan tongkat dan mendekat padanya serta shalat dzuhur dua
rakaat, lewat didepannya khimar dan anjing sedangkan ia tidak ditahan.
Karena perintah sutrah adalah disunnahkan bukan diwajibkan berdasar
hadits bahwa Nabi shalat bersama manusia di Mina kepada selain tembok. Dan
tidak disebutkan dalam hadits untuk mengambil sutrah.[10]
Hadits dari Thalhah bin 'Ubaidillah : Rasulullah n bersabda :
إِذَا
وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُؤَخِّرَةِ الرَّحْلِ، فَلْيُصَلِّ، وَلاَ
يُبَالِي مَنْ مَرَّ وَرَاءَ ذَلِكَ
"Jika seorang
diantara kamu meletakkan di hadapannya sesuatu setinggi ekor pelana (sebagai
pembatas) maka shalatlah (menghadapnya), dan jangan ia pedulikan orang yang
lewat di balik pembatas". HR. Muslim.
Pendapat para Fuqoha :
Ulama Malikiyah dan Hanafiyah berkata : Sutrah dalam shalat fardlu maupun
nafilah disunahkan bagi imam dan orang yang shalat sendirian jika khawatir seseorang
melewati di depan tempat sujudnya saja, sedang sutrah imam adalah sutrahnya
makmum, karena Nabi n di Bathha' Makkah shalat menghadap ke tongkat kecil sedangkan
kaumnya tidak mengadakannya.
Tidak mengapa meninggalkan sutrah jika seseorang yang sholat merasa
aman dari orang yang lewat dan tidak menghadap jalan.
Ulama Syafi'iyah dan Hanabilah berpendapat : Disunahkan bagi Orang
yang shalat untuk menghadap sutrah, baik di masjid maupun di rumah, untuk
shalat menghadap dinding atau tiang. Jika di tanah lapang, menurut ulama
Hanabilah, hendaknya ia shalat menghadap tongkat, gundukan tanah, penghalang
berupa unta atau hewan tunggangannya. Jika tidak mendapatkan maka hendaklah ia
membuat garis didepannya atau membentangkan tempat sholat seperti sajadah
sebagaimana disebutkan oleh ulama Syafi'iyah.
Dalil mereka adalah hadits Thalhah bin Ubaidillah :
إِذَا
وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُؤَخِّرَةِ الرَّحْلِ، فَلْيُصَلِّ، وَلاَ
يُبَالِي مَنْ مَرَّ وَرَاءَ ذَلِكَ
"Jika seorang
diantara kamu meletakkan di hadapannya sesuatu setinggi ekor pelana (sebagai
pembatas) maka shalatlah (menghadapnya), dan jangan ia pedulikan orang yang
lewat di balik pembatas". HR. Muslim dalam Shahih-nya no. (499).
Ulama Al Hambali menyebutkan : "Sesungguhnya tidak mengapa
sholat di Makkah tanpa menghadap ke sutrah, sebagaimana telah diriwayatkan oleh
Ahmad "bahwasanya beliau sholat ketika itu tidak terdapat sutrah antara
beliau dengan orang yang thawaf" menunjukkan seakan dikhususkan bagi
Makkah."[11]
IV.
HIKMAHNYA
Menahan orang yang lewat di depan orang yang sholat, akan memutus
kekhusyukannya, menempatkan orang yang shalat pada pembatasan pikirannya dalam
shalat, tidak melayangkan pandangan kepada sesuatu dan mencukupkan pandangannya
dibelakang sutrah agar tidak menghilangkan kekhusyukan.[13]
Imam Nawawi mengatakan bahwa diantara hikmah disyari’atkan sutrah : dapat
menjaga pandangan dari sesuatu yang ada di belakang sutrah, melindungi dari
orang yang berusaha melewatinya.
Dikatakan oleh al-Qadhi bin ‘Iyad sutrah dapat menghalau setan lewat
dan menghindar dari perkara yang dapat merusak shalat.[14]
V.
SIFAT
SUTRAH DAN UKURAN SERTA BENTUKNYA
Sebagaimana termaktub dalam hadits sebelumnya bahwa pada asalnya
segala sesuatu setinggi mu’aharah ar-Rahl (pelana onta) dapat dijadikan sutrah.
Terdapat banyak riwayat, diantara bentuk sutrah yang pernah digunakan Nabi n
adalah sebagai berikut :
- Shalat menghadap dinding, Nabi n pernah shalat menghadap dinding masjid dan Ka’bah. HR. Bukhari, 2/212.
- Shalat menghadap ‘Anajah (sejenis tombak atau tongkat), riwayat dari Ibnu Umar, termaktub di dalamnya lafadz ‘Anajah. HR. Muslim, 4/218.
- Shalat menghadap Hirbah (sejenis alat yang terbuat dari besi setinggi kepala), riwayat dari Ibnu Umar h. HR. Muslim, 4/218.
- Shalat menghadap tongkat, riwayat dari Anas bin Malik HR. Bukhari, 1/575.
- · Shalat menghadap kendaraan (onta), riwayat dari Ibnu Umar h menerangkan bahwa Rasulullah n shalat menghadap hewan tunggangan (onta), terdapat riwayat menjelaskan selainnya HR. Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih, 1/383.
- Shalat menghadap pohon, riwayat dari Ali bin Abi Thalib a mengabarkan bahwa Rasulullah n shalat menghadap pohon. HR. an-Nasa’i dalam al-Kubra dengan sanad yang hasan; al-Fath, 1/580 dan Tuhfatul Asyraf, 7/357, 358.
- Shalat menghadap tempat tidur dan wanita sedang tidur, riwayat dari ‘Aisyah menjelaskan bahwa Nabi n shalat menghadap tempat tidur sedang dia dalam keadaan tidur berbaring. HR. al-Bukhari, 1/581; 3/201.[15]
Adapun batasannya, Nabi n ditanya tentang hal ini, beliau menjawab : "Setinggi
bagian belakang hewan tungangan." HR. Muslim.
Tapi ini bukan ukuran maksimal, kurang dari itupun sudah mencukupi. Dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan : "Apabila salah seorang diantara kalian
sedang shalat hendaklah mengadakan pembatas meskipun dengan anak panah." HR.
Ibnu Khuzaimah dan Ahmad.
Ukuran panjang pelana adalah sepanjang (satu) hasta. Sebagaimana
yang dijelaskan oleh 'Atha`, Qatadah, ats-Tsaury serta Nafi'. Sehasta adalah
ukuran di antara ujung siku sampai ke ujung jari tengah. Ukurannya kurang
lebih: 46,2 cm.
Telah tetap, bahwa Nabi n shalat menghadap ke tombak kecil dan
lembing. Sebagaimana diketahui keduanya adalah benda yang menunjukkan kecilnya
tempat dan ini menguatkan bahwa yang dimaksud menyamakan sutrah dengan hasta
adalah pada sisi panjangnya bukan lebarnya.
Ibnu Khuzaimah berkata: "Dalil dari pengabaran Nabi n bahwa
sesungguhnya yang beliau inginkan dengan sutrah seperti pelana adalah
panjangnya bukan lebarnya, yang tegak lagi kokoh. Diantaranya riwayat dari Nabi
n
bahwa beliau menancapkan tombak kecil lalu shalat menghadap kepadanya. Padahal
lebarnya tombak itu kecil tidak seperti lebarnya pelana."
Dia berkata juga : "Perintah Nabi n membuat sutrah dengan
anak panah di dalam shalat. Hal itu sesuatu yang nyata dan tetap, bahwa beliau n menginginkan
dalam perintah tersebut adalah sesuatu yang ukuran panjangnya sama seperti pelana.
Bukan panjang dan lebarnya secara keseluruhan."
Berdasarkan uraian di atas, maka: Tidak boleh membuat sutrah dengan
garis dalam keadaan dia mampu membuat dengan lainnya, meskipun sutrah itu
berupa: tongkat, barang, kayu, atau tanah. Walaupun dia harus mengumpulkan
batu-batuan, lalu menyusunnya, sebagaimana yang dilakukan oleh Salamah bin
al-Akwa`. Yang sangat pantas disebutkan adalah : Hadits tentang menjadikan
garis sebagai sutrah adalah dha'if. Telah didha'ifkan oleh Sufyan bin Uyainah,
asy-Syafi'i, al-Baghawy dan lainnya. Ad-Daruquthni berkata: "Tidak sah dan
tidak tetap." Asy-Syafi'i berkata dalam Sunan Harmalah: "Seorang yang
shalat tidak boleh membuat garis di depannya, kecuali ada hadits yang tetap
tentang hal itu, maka hadits itu diikuti."
Malik telah berkata dalam al-Mudawanah: "Garis itu
bathil." Dan hadits itu telah dilemahkan oleh ulama yang datang di masa
akhir, seperti Ibnu Shalah, an-Nawawi, al-Iraqi serta yang lainnya.[16]
Al Utsaimin mengatakan : Dalam hadits lain riwayat Abu Dawud dengan
sanad hasan : "Barangsiapa yang tidak mendapatkannya maka hendaklah dia
membuat satu garis." Al Hafidz Ibnu Hajar menyebutkannya dalam Bulughul
Maram. Tidak benar bahwa hadits ini riwayatnya goncang (mudhtharib). Tidak ada
cacatnya yang harus ditolak. Kami katakan minimal garis maksimal setinggi
punggung hewan tunggangan.[17]
VI.
JARAK
DAN POSISI ORANG YANG SHALAT DENGAN SUTRAH
Jumhur ulama mensunnahkan untuk mendekat kepada sutrahnya paling
sedikit 3 hasta dari tempat berdirinya, dengan dalil hadits Bilal : "Bahwa
Nabi n masuk Ka'bah, maka beliau shalat. Jarak antara beliau dan dinding
tiga hasta"[18]
Al Baghawi berkata : Para ahli ilmu
menganggap sunnah mendekat ke sutrah itu, kira-kira antara dia dengan sutrah bisa
dipergunakan untuk sujud. Begitu juga halnya antara shaf-shaf sholat.[19]
وعن
سهل بن سعد قال : كان بين مصلى رسول الله صلى الله عليه وسلم وبين الجدار ممر شاة.
متفق عليه.
Dari Sahl bin Sa'ad ia
berkata : Adalah jarak antara tempat sholat Rasulullah dengan dinding,
kira-kira cukup berlalunya domba. HR. Ahmad, Bukhari, dan Muslim.[20]
Rasulullah n apabila melaksanakan shalat menghadap tembok, maka ia jadikan
antara dirinya dengan tembok sekitar tempat jalannya seekor kambing, beliau
tidak pernah menjauh darinya, bahkan memerintahkan untuk mendekat kepada
sutrah.[21]
POSISI
Sebagian ulama mensunnahkan orang yang shalat untuk meletakkan
sutrah agak ke kanan atau ke kiri sedikit dan tidak menghadapkan dengan tepat
ke arah kiblat. Demikian ini tidak ada dalilnya yang shahih, namun kesemuanya
itu boleh.
Apabila makmum masbuk berdiri untuk menyelesaikan raka'at yang
tertinggal bersama Imam, sehingga dia keluar dari status sebagai makmum, maka
apa yang dia lakukan?
Al-Imam Malik berkata: "Seseorang yang menyelesaikan shalatnya
setelah imam salam tidak mengapa dia menuju ke salah satu tiang yang terdekat
dengannya, baik yang ada di depan, sebelah kanan, sebelah kiri ataupun di
belakangnya. Dengan mundur ke belakang sedikit, dia menjadikannya sebagai
pembatas (sutrah), jika tiang itu dekat. Jika jauh, maka dia tetap berdiri di
tempat semula, dan menolak orang yang lewat semampunya."
Ibnu Rusyd berkata: "Jika dia berdiri untuk menyelesaikan
raka'at shalatnya yang terputus, jika dia dekat dengan tiang, berjalanlah
menuju kepadanya dan itu menjadi sutrah baginya untuk raka'at yang tersisa.
Jika tidak ada tiang yang dekat, maka dia shalat sebagaimana keadaannya dan
berusaha menolak orang yang lewat di depannya semampunya dan barangsiapa yang
lewat di depannya, maka dia berdosa. Adapun orang yang lewat di antara shaf-shaf
kaum yang shalat bersama imam, maka tidak ada dosa baginya dalam hal ini,
karena imam adalah sutrah untuk mereka. Hanya pada Allahlah taufik
tersebut."
Inilah yang dikatakan oleh Imam Malik dan diikuti oleh Ibnu Rusyd,
yang tidak pantas untuk diselisihi. Sebab, seorang makmum masbuk yang memasuki
shalat sebagaimana yang diperintahkan dan pada saat itu tidak ada sutrah
baginya, maka keadaannya seperti orang yang menjadikan binatang ternaknya
sebagai sutrah, lalu binatang itu lepas. Keadaan dia yang demikian ini tidaklah
digolongkan sebagai orang yang meremehkan perintah menegakkan sutrah.
Akan tetapi, jika dia mempunyai kemudahan membuat sutrah, agar tidak
menjatuhkan orang yang lewat ke dalam dosa, maka dia wajib membuat sutrah. Jika
tidak mudah baginya untuk membuat sutrah, maka dia berusaha menolak orang yang
melewati depannya."[22]
Seorang makmum masbuq (tertinggal satu raka’at atau lebih dalam
shalat berjama'ah) maka baginya diperbolehkan mendekat ke tempat yang dapat
dijadikan sutrah setelah imam salam, baik ke depan, ke sisi kanan atau ke sisi
kiri, jika jaraknya dekat. Dan jika agak jauh maka baginya tetap berdiri dan
berusaha menghindar dari orang yang melewatinya. Hal ini dikarenakan pada
asalnya seorang makmum yang masbuq seharusnya tetap shalat sebagaimana yang
diperintahkan, dan dalam kondisi demikian tidak wajib baginya sutrah
sebagaimana seorang yang menjadikan tunggangannya sebagai sutrah lalu
tunggangannya menjauhinya, maka dalam kondisi demikian bukan kesalahannya.
Sebagaimana yang dinukil az-Zarqaani dari imam Malik. (Lihat, Syarah
aj-Jarqaani ‘ala Muhtashar Khalil, 1/208)[23]
VII.
BERJALAN
DIDEPAN ORANG SHALAT
Dari Abi Nadlar –bekas hamba sahaya Umar bin Ubaidillah- dari Basr bin
Sa'id dari Juhaim, Abdullah bin Al Harits bin Shimahm Al Anshari, ia berkata :
Telah bersabda Rasulullah n : "Seandainya orang yang berjalan di depan orang yang sholat
itu mengetahui akan yang akan menimpa dirinya, niscaya ia akan berhenti selama
40 itu lebih baik beginya daripada ia berjalan di depan orang yang sedang
sholat. Abu Nadlar berkata : "Aku tidak tahu ketika itu Nabi n berkata :
Empat puluh hari, empat puluh bulan atau empat puluh tahun. HR.Jama'ah
Lewat di depan orang yang sholat di tengah-tengah thawaf : Para
Fuqoha telah bersepakat bahwa sesungguhnya diperbolehkan lewat di depan orang
yang sholat bagi orang yang thawaf di baitullah, di dalam ka'bah atau di
belakang maqam Ibrahim q, walaupun terdapat sutrah. Ulama Hanabilah menyatakan bahwa tidak
diharamkan lewat di depan orang yang sholat di Makkah atau masjid Haramnya.[24]
Syekh al 'Utsaimin berkata : "Jika orang yang sedang shalat itu
sebagai imam atau shalat sendirian maka tidak diperbolehkan lewat di depannya baik
di masjidil Haram maupun di tempat lain berdasarkan keumuman dalil. Tidak ada
dalil khusus yang menyebutkan bahwa lewat di depan orang yang shalat di Makkah
ataupun di Masjidil Haram tidak mengapa atau tidak berdosa."[25]
VIII. MENCEGAH ORANG YANG LEWAT
إِذَا
صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ، وَلْيَدْنُ مِنْهَا، وَلاَ يَدَعْ أَحَدًا
يَمُرُّ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا، فَإِنْ جَاءَ أَحَدٌ يَمُرُّ فَلْيُقَاتِلْهُ، فَإِنَّهُ
شَيْطَانٌ
"Jika salah seorang
dari kalian shalat hendaklah menghadap kepada sutrah dan hendaklah dia mendekat
ke sutrah. Janganlah engkau membiarkan seorangpun lewat di antara engkau dengan
sutrah. apabila ia enggan maka perangilah karena sesungguhnya dia itu adalah
syetan." (HR. Abu Daud, Nasa'i dan Ibnu Majah dari Abi Sa'id)
Al Hafidz Ibnu Hajar berkata : "Jumhur berpendapat bahwa
apabila ada seseorang lewat, kemudian orang yang sedang sholat itu tidak
menolaknya, dia tidak harus untuk menarik kembali orang yang lewat itu, karena
yang demikian itu berarti menyuruh mengulang berjalan di hadapan orang yang
sedang sholat."
Syarih berkata : "Abu Nu'aim meriwayatkan dari Umar, ia berkata
: "Kalau sekiranya orang yang sedang sholat itu mengetahui kekurangan
sholatnya lantaran dilalui oleh orang yang didepannya itu, niscaya ia tidak
akan sholat kecuali dengan menghadap ke
sesuatu yang dapat menutup (lintasan)orang."[26]
IX.
KHATIMAH
Demikianlah pembahasan yang dapat disampaikan tentang permasalahan Sutrah
(Pembatas) Dalam Shalat. Untuk lebih menegaskan permasalahan yang ada, berikut
kami sampaikan beberapa kesimpulan dari pembahasan di atas.
§
Sutrah
adalah sesuatu yang dijadikan sebagai pembatas seseorang yang mendirikan shalat
dengan orang yang berjalan di depannya.
§
Kesalahan
orang yang shalat yang tidak meletakkan di hadapannya atau menghadap ke sutrah,
walaupun dia aman dari lalu lalangnya manusia, atau dia berada di tanah lapang.
Tidak ada bedanya antara di kota
Makkah ataupun di tempat lainnya dalam hukum tentang sutrah ini secara mutlak
§
Ukuran
minimal sutrah adalah satu dzira’(sehasta) atau sekitar 45 cm dan dalam bentuk
apapun. Adapun sekiranya ada halangan untuk menggunakan yang demikian sesudah
berusaha semaksimal mungkin, maka diperbolehkan menggunakan sutrah dalam bentuk
apapun dan setinggi berapapun yang lebih rendah dari yang semestinya, meskipun
dalam bentuk garis. HR. Ahmad, dalam Fath ar-Rabbaniy: 3/127; Abu Dawud, 1/`27;
Ibnu Majah, 1/303
§
Jarak orang
yang shalat dengan sutrah adalah 3 dzira’ (tiga hasta).
§
Sutrah
hukumnya wajib bagi imam atau seorang shalat sendirian baik shalat fardhu atau
shalat sunnah, laki-laki atau wanita. Sedang makmum tidak diwajibkan karena
sutrah imam adalah sutrahnya makmum.
§
Diharamkan
melewati orang yang sedang shalat, baik dalam keadaan tertutup dengan sutrah
atau tidak. Jika dia tertutup dengan sutrah maka haram hukumnya melewati di
antara dia dan sutrah, kecuali dia seorang makmum.
§
Sebagian
ulama mensunahkan orang yang shalat untuk meletakkan sutrah agak ke kanan atau
ke kiri sedikit dan tidak menghadapkan dengan tepat ke arah kiblat. Demikian itu
tidak ada dalilnya yang shahih, namun kesemuanya itu boleh.
§
Hukum sutrah
berlaku baik di Makkah maupun di luar Makkah.
§
Dalam
shalat berjama'ah, makmum tidak wajib membuat sutrah, sebab sutrah dalam shalat
berjama'ah terletak pada sutrahnya imam
§
Jika imam
tidak membuat sutrah, sesungguhnya dia telah memburukkan shalatnya dan sikap
meremehkan itu hanya dari dia. Sedang bagi makmum tidak wajib membuat sutrah dan
menahan orang yang melewatinya.[27]
Akhirnya, semoga pembahasan sederhana bermanfa’at bagi kita semua.
amin. Wallahu a'lamu bish shawab.
والله أعـــــــلم بالصـــــــــواب
REFERENSI :
1.
Mu'jamul Wasith.
3.
Tamamul Minnah (edisi Indonesia ),
Syikh Nashiuddin Al Albani.
4.
Nailul Authar (edisi Indonesia ),
Imam Asy Syaukani.
5.
Al Qoulul Mubin fii Akhtail
Mushallin, Abu Ubaidillah Masyhur bin Hasan.
6.
Fiqhul Islami wa adillatuhu, DR.
Wahbah Zuhaili.
7.
Majmu' Fatawa (edisi Indonesia ,
Syaikh 'Utsaimin.
8.
Fatawa Allajnah Ad Daimah lil buhuts.
9.
Zaadul Ma'ad, Ibnul Qayyim Al
Jauziyah.
[1] Mu'jamul Wasith, hlm. 416, Ar-Ra’id, Jubran Mas’ud.
[2] Dinukil dari http://www.alsofwah.or.id, FiqhulIslami,
DR. Wahbah Zuhaili, 2/939
[3] Tamamul Minnah (edisi Indonesia ), Syikh Nashiuddin Al
Albani, 2/35
[4] Nailul Authar (edisi Indonesia ),
Imam Asy Syaukani, 2/651
[5] Tamamul Minnah (edisi Indonesia ), Syikh Nashiuddin Al
Albani, 2/35
[6] Al Qoulul Mubin fii Akhtail Mushallin, Abu Ubaidillah Masyhur bin
Hasan, hlm 78-79
[7] Al Qoulul Mubin fii Akhtail Mushallin, Abu Ubaidillah Masyhur bin
Hasan, hlm 78-79
[8] Fiqhul Islami wa adillatuhu, DR. Wahbah Zuhaili, 2/939
[9] Majmu' Fatawa (edisi Indonesia ,
Syaikh 'Utsaimin, hlm.380
[10] Fatawa Allajnah Ad Daimah lil buhuts, 7/76-77
[11] Fiqhul Islam, 2/941
[12] Nailul Authar (edisi Indonesia ),
2/651
[13] Fiqih Islam
[14]
Dinukil dari http://www.alsofwah.or.id, Syarah Muslim,
4/216
[15]
Dinukil dari
http://www.alsofwah.or.id
[16] Lihat: Tamamul Minnah (edisi Indonesia ), Syikh Nashiuddin Al
Albani, 2/35, Ahkam as-Sutrah (hlm. 98-102), Syarah an-Nawawi atas Shahih
Muslim (4/ 216), Tahdzib at-Tahdzib (12/ 199), Tarjamah (Abi 'Amr bin Muhammad
bin Harits).
[17] Majmu' Fatawa (edisi Indonesia ),
Syaikh 'Utsaimin, hlm.380
[18] HR. Ahmad dan An Nasa' i. Maknanya bagi Bukhari dari hadits Ibnu
Umar.
[19] Nailul Authar, 2/651
[20] Mukhtashar Sahih Muslim, hlm. 75.
[21] Zaadul Ma'ad, Ibnul Qayyim Al Jauziyah, 2/295
[22] Al Qoulul Mubin fii Akhtail Mushallin, Abu Ubaidillah Masyhur bin
Hasan, hlm 78-79
[23] www.alsofwah.or.id
[24] Fiqhul Islami, DR. Wahbah Zuhaili, 2/948
[25] Majmu' Fatawa (edisi Indonesia ,
Syaikh 'Utsaimin, hlm.381
[26] Nailul Authar (edisi Indonesia ),
2/666
[27] Khatimah disadur secara ringkas dan bebas dari Ahkaam
as-Sutrah, karya Syaikh Muhammad bin Rijq bin Tharhuuniy oleh Ibnu ‘Arbai’in
Husnul Yaqin dan Al Qoulul Mubin fii Akhtail Mushallin, Abu Ubaidillah Masyhur
bin Hasan, hlm 78-79
Komentar
Posting Komentar