“Seribu teman masih terlalu sedikit, sedangkan satu musuh sudah  terlalu banyak," demikian seharusnya perilaku sosial orang dalam  masyarat.
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup dengan  kesendiriannya. Mereka membutuhkan orang lain sebagai kawan, sahabat  untuk saling melengkapi, membantu antar satu sama lain yang bisa  menjalin persahatan hingga akhir. Istilahnya, teman bisa dicari dalam  sehari namun persahabatan tak cukup dibangun hanya  seribu  waktu dan  sejuta masa.
Ungkapan-ungkapan bijak ini bukanlah suatu yang  mengada-ngada. Tapi memang, itulah kenyataannya. Seseorang akan sangat  terbantu masalahnya, manakala ia memiliki banyak kawan. Misal, ketika ia  membutuhkan pekerjaan, maka, dengan mudahnya ia bisa meminta  pertolongan melalui teman-temannya untuk memberi informasi ketika  lowongan itu ada. Ketika satu tempat gagal, ia akan menghubungi  sahabatnya yang berada di lokasi lain. Begitu seterusnya, hingga ia  memperoleh apa yang ia butuhkan. Ini masih seputar permasalahan ekonomi,  belum merambat ke permasalah lain, seperti curhat, konsultasi, dan lain  sebagainya. Sahabat sangat berperan penting untuk mencairkan  permasalahan-permasalahan tersebut. 
Sebaliknya, ketika seseorang  memiliki musuh, dunia akan terasa sangat sempit, karena setiap kali  kita melangkahkan kaki ke luar rumah, kita selalu merasa dihantui oleh  rasa takut, khawatir akan bahaya ancaman musuh yang setiap saat bisa  menghampiri. Dunia seluas inipun akan terasa tak seubahnya daun kelor,  kecil lagi sempit. Itulah perbedaan antara memiliki teman dan musuh.
Sekalipun  demikian kian, kitapun harus selektif dalam memilih teman, sebab, bukan  mustahil sahabat yang kita anggap bisa membawa rahmat, justru  menimbulkan mafsadat. Karena pada realitasnya, banyak orang yang  'mencuri' perilaku buruk dari teman karibnya. Yang menjadi masalah,  kebanyakan mereka tidak menyadari sama sekali akan hal itu. Ingatlah  akan warning Rosulullah yang menyatakan bahwa dalam hal bergaul dengan  orang lain, kita tak ubahnya mendekati dua orang. Yang pertama, pandai  besi, dan yang kedua penjual minyak wangi.
Ketika kita  berakrab-akrab dengan pandai besi, sedikit demi sedikit kita akan  terkena panasnya percikan api yang keluar dari besi. Sebaliknya, ketika  kita berdekat-dekat dengan penjual wewangian, secara spontanitas,  kitapun akan mendapatkan aroma harumnya juga. Begitu pula perihalnya  dalam memilih sahabat. Karena itu, kita harus berhati-hati. 
Teman Baik 
Memiliki  teman baik adalah impian semua orang. Tak satupun manusia sudi memiliki  sahabat yang rela 'memakan' sahabatnya sendiri. Namun, kenyataannya  tidak jarang orang salah kaprah dalam memaknai teman baik.
Ada  sebagian mereka yang berpendapat bahwa teman baik itu adalah teman yang  seia-sekata. Artinya, siap membantu dan mendukung dalam segala hal.  Adalagi yang mendefinisikan, bahwa teman baik adalah teman yang setia  dalam suka maupun duka.
Apapun definisi yang digunakan dalam  memaknai teman baik, itu sah-sah saja, karena setiap orang pasti  memiliki alasan tertentu mengapa ia memiliki pemahaman yang demikian.  Namun, sebagai muslim, kita harus memiliki pemahaman yang pas, yang  sejalan dengan ajaran Islam, sebab,  tidak semua pengertian mengenai  teman baik, itu sebanding lurus dengan ajaran agama ini.
Islam  memiliki 'rambu-rambu' yang jelas dalam memaknai teman baik dan buruk.  Sebab itu, belum tentu teman yang katanya seia dan sekata itu teman yang  baik menurut pandangan Islam, karena, terlebih dahulu akan ditinjau,  dalam hal apa mereka menerapkan definisi ini. Ketika mereka  menegakkannya dalam hal amar ma'ruf nahi munkar, maka Islam  membenarkannya. Tetapi, ketika hal itu dalam masalah kekufuran dan  kejahatan, tentu hal ini tidak dibenarkan.
Firman Allah, “Dan saling membantulah kalian dalam hal kebaikkan, dan janganlah kalian saling membantu dalam hal keburukkan. “ (Al-Ma'idah: 2).
Karenanya,  jangan sampai kita terkecoh, dengan alasan teman akrab, kitapun rela  membantu teman kita, sekalipun dalam kejelekkan. Sekiranya itu terjadi,  sejatinya kita telah berbuat kedzaliman pada teman, orang lain, dan  pastinya, terhadap diri kita sendiri, “man a'annaka 'ala syarri  dzalamaka” (barang siapa yang telah membantumu dalam hal keburukkan,  maka sesungguhnya dia telah mendzalimu). Dampaknya, kita akan kebagian  ‘bunga' dosa, sebagai buah atas keikutsertaan kita dalam mensukseskan  misi jahat tersebut. 
Hal ini berdasar pada hadits Nabi yang berbunyi,  “Barang siapa yang menunjukkan kepada kebaikkan maka ia akan  mendapatkan ganjaran setimpal dengan apa yang dilakukan oleh si pelaku”.
Mafhum mukhalafah dari hadits ini, mereka yang membantu kejelekkan, pun akan mendapatkan balasan yang setimpal.
Mafhum mukhalafah dari hadits ini, mereka yang membantu kejelekkan, pun akan mendapatkan balasan yang setimpal.
Dan  yang lebih penting lagi, teman dalam perspektis Islam, tidak hanya  terbatas di dunia semata. Namun, Ia mencakup dimensi akhirat.  Persahabatan yang baik, yang mengharap ridha Allah, akan mengundang   syafaat Allah di hari kiamat kelak.
Ini sebagaimana sabda Rosul  yang menjelaskan bahwa kelak di akhirat akan ada beberapa kelompok  manusia yang akan mendapat naungan Allah dimana pada saat itu tidak ada  naungan selain naungan-Nya, dan salah satu diantara mereka  adalah  orang-orang yang bersahabat dan berpisah karena Allah.
Sebaliknya,  persahabatan yang mengundang murka Allah, kelak, pada hari kiamat,  justru akan menjadi sebab permusuhan mereka di akhirat, sekalipun mereka  di dunia sangat kompak/setia, bagai kancing dan baju, kata orang.  Mereka akan saling menyalahkan satu sama lain, saling menghujat, dan  menuntut.
Firman Allah, “Teman-teman karib pada hari itu saling bermusuhan satu sama lain, kecuali mereka yang bertakwa.” (Az-Zuhruf: 67)
Dalam surat Al-Furqan, Allah juga berfirman, “Dan  (ingatlah) pada hari (ketika) orang-orang dzalim menggigit dua jarinya,  (menyesali perbuatannya) seraya berkata, “Wahai! Sekiranya (dulu) aku  mengambil jalan bersama Rosul (27) wahai! Celaka aku! Sekiranya aku  (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrabku.” (Al-Furqan: 27-28).
Lalu, bagaimanakah profil teman baik itu, yang kelak, di akhiratpun akan tetap menjadi sahabat karib kita?
Dalam  Al-Quran, Allah telah menggambarkan dengan gamblangnya sosok-sosok yang  patut kita dekati sebagai teman dekat. Allah juga telah menjamin, bahwa  hanya merekalah orang-orang yang baik untuk dijadikan teman.
Firman-Nya, “Dan  barangsiapa mentaati Allah dan Rosul-Nya (Muhammad), maka mereka itu  akan bersama-sama dengan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah,  (yaitu) para nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid  dan orang-orang yang shaleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (Al-An'am: 69)
Bukti  konkrit akan kebenaran mereka sebagai pribadi-pribadi yang sholeh,  tercermin pada perilaku mereka yang senantiasa menyeru manusia kepada  kebaikkan dan mencegah dari kemungkaran. Dan ciri itu pula yang melekat  pada sosok teman yang baik itu, “Khaorul ash-haabi man yadulluka 'alal khairi” (Sebaik-baik  teman adalah yang menunjukkanmu kepada kebaikan). Sahabat yang  mengingatkan kita kepada kebaikan ketika kita lalai, mencegah kita untuk  berbuat keji ketika kita terbawa arus ke sana, adalah hakekat teman  sejati itu. Dan sungguh bukan termasuk sahabat yang membawa rahmat, bila  sahabat kita tersebut ikut bergembira, tertawa merayakan kesuksesan  kita dalam menjalankan kemaksiatan, “Shadiquka man abkaka laa man adh-hakaka” (Temanmu adalah yang membuatmu menangis -karena nasehat- bukan yang membuatmu tertawa -disebabkan lelucon-).
Akhirnya,  kita berdo'a kepada Allah, semoga Dia senantiasa mempertemukan kita  dengan para sahabat, yang mereka senantiasa mengajak kita mendekatkan  diri kepada Allah, sehingga persahabatan kita pun dinaungi rahmat-Nya,  yang kemudian menghantarkan kita termasuk orang-orang yang mendapatkan  naungan pada hari dimana tidak ada naungan, selain naungan-Nya. [Robin S/hidayatullah.com]

Komentar
Posting Komentar