SALAH satu kosa kata yang cukup
populer di kalangan masyarakat Indonesia adalah kyai atau kiai.
Biasanya, sebutan kyai dilekatkan kepada sosok yang dianggap paham ilmu agama
(ulama), dan diharapkan bisa menjadi tokoh panutan. Bagi masyarakat Jawa,
sebutan kyai selain dilekatkan kepada tokoh ulama, juga untuk dilekatkan pada
benda pusaka, hewan yang dianggap keramat, makhluk halus, dan sebagainya.
Berbeda dengan masyarakat Jawa, bagi
masyarakat Banjar (Kalimantan Selatan), sebutan kyai sama sekali tak ada
hubungannya dengan ulama, tetapi merupakan gelar bagi kepala distrik (jabatan
setingkat wedana di Jawa). Sedangkan di Sumatera Barat, sebutan kyai dilekatkan
kepada sosok etnis cina yang sudah tua (cino tuo), sama sekali tidak ada
hubunganya dengan ulama dan sebagainya.
Saat ini, sebutan kyai yang banyak
dijumpai adalah Kyai Maja, Kyai Langgeng, Kyai Kanjeng, Kyai Slamet, Kyai
Sengkelat, Kyai Semar, Kyai Sapu Jagad, Kyai Petruk, Kyai Sadrach, dan
sebagainya. Bahkan ada juga sebutan Kyai Cabul, Kyai Pajero, dan Kyai Liberal
yang berkonotasi olok-olok terhadap sosok manusia penjual agama.
Kyai Maja
Mungkin bagi sebagian anak muda masa
kini, nama Kyai Maja (Kyai Mojo) hanya dikenal sebagai nama jalan di kawasan
tertentu. Nama asli Kyai Maja adalah Muslim Mochammad Khalifah. Karena
keaktifannya mengelola pesantren di kawasan Maja (Mojo), meneruskan kiprah
ayahnya, maka ia lebih dikenal dengan panggilan Kyai Maja.
Kyai Maja lahir tahun 1782 dan wafat
pada tanggal 20 Desember 1849 dalam usia 57 tahun. Ayahnya bernama Iman Abdul
Arif, seorang ulama terkenal pada masa itu di dusun Baderan dan Modjo, juga
memiliki alur keturunan dari kerajaan Pajang. Sedangkan ibunya bernama R. A.
Mursilah, adik perempuan HB III dan masih bersaudara sepupu dengan Pangeran
Diponegoro.
Pangeran Diponegoro mengangkat Kyai
Maja sebagai penasehat agama sekaligus Panglima Perang. Ketika berlangsung
Perang Diponegoro (1825-1830), Kyai Maja ikut andil melawan Belanda. Sampai
akhirnya pada tanggal 17 Nopember 1828 Kyai Maja ditangkap di dusun Kembang
Arum, Jawa Tengah. Setelah dibawa ke Batavia, Kyai Maja dibuang ke Tondano,
Minahasa, Sulawesi Utara.
Kehadiran Kyai Maja dan pengikutnya
di Tondano mendorong terbentuknya Kampung Jawa, dan melahirkan entitas Jaton
(Jawa Tondano), karena hampir seluruh pengikut Kyai Maja yang dibuang ke
Tondano menikah dengan wanita setempat. Keberadaan mereka bisa dilihat dari
nama keluarga (fam) yang disandang di belakang nama diri, seperti Pulukadang,
Modjo, Baderan, Zess, Kyai Demak, Suratinoyo, Nurhamidin, Djoyosuroto,
Sutaruno, Kyai Marjo, dan lain-lain.
Kyai Langgeng
Di Magelang, nama Kyai Langgeng
lebih dikenal sebagai sebuah taman rekreasi dengan luas 28 hektar,
terletak sekitar satu kilometer dari pusat kota Magelang. Konon, Kyai Langeng
adalah salah seorang prajurit yang ikut tewas dalam Perang Diponegoro
(1825-1830), dan dimakamkan di lokasi yang kini menjadi taman rekreasi yang
terawat baik ini.
Boleh dibilang, Taman Kyai Langgeng
ini menjadi tempat rekreasi favorit masyarakat Magelang. Dengan tarif tiket
masuk seharga Rp 8.000 per orang, setiap pengunjung bisa menikmati berbagai
fasilitas, seperti kolam renang, kereta mini, komidi putar, jet coaster,
bianglala, becak air, anjungan dirgantara, sepur mini, komidi layang,
perpustakaan pendidikan (desa buku), dan sebagainya.
Di taman ini dapat ditemui aneka
satwa seperti ular piton, burung mambruk, burung elang, bajing, monyet, rusa,
ayam hutan, dan dua ekor ikan lele yang sudah cukup tua usianya. Ikan lele
jantan berusia sekitar 24 tahun dan lele betina berusia sekitar 54 tahun.
Kyai Kanjeng
Yang jelas, Kyai Kanjeng bukan taman
rekreasi, bukan ulama, bukan benda keramat nan bertuah. Ada yang mengatakan,
Kyai Kanjeng adalah nama sebuah konsep nada pada alat musik gamelan. Ada juga
yang mengatakan Kyai Kanjeng sekumpulan alat musik. Namun masyarakat lebih
memaknai Kyai Kanjeng sebagai kelompok musik di bawah pimpinan Emha
Ainun Nadjib, orang Jombang yang lebih dikenal sebagai seniman Yogya.
Pagelaran Kyai Kanjeng sudah luas
membuana. Termasuk di tanah air sendiri. Misalnya, pada rangkaian acara
peringatan 40 hari meinggalnya Gus Dur yang digelar 07 Februari 2010. Juga,
pada acara Kidung Damai Untuk Indonesia yang dilaksanakan di pelataran parkir
Gereja Isa Almasih Pringgading, Semarang, pada Selasa malam tanggal 13 Juli
2010.
Dalam hal memain-mainkan agama,
kelompok music ini sampai shalawat yang berupa ibadah menurut Islam pun
dijadikan nyanyian diiringi music, dan dinyanyikan di gereja lagi, sebagaimana
telah diberitakan:
Emha Ainun Nadjib: Shalawatan di
Gereja, Tengkar di Korban Lumpur Lapindo
SALAH satu tokoh dari Jombang yang
suka blusak-blusuk (keluar-masuk) ke gereja adalah Emha Ainun Nadjib
atau Cak Nun. Kedekatannya dengan gereja dan elitenya sudah tidak bisa
diragukan lagi.
Cak Nun blusak-blusuk ke
gereja, konon memang bukan untuk kebaktian, tetapi untuk mementaskan karya seni
musiknya yang konon beraroma Islam. Ia memang punya kelompok kesenian bernama Kiai
Kanjeng.
Di tahun 2008, Cak Nun beserta istri
dan tentu saja Kiai Kanjeng, diundang oleh Protestant Church (Gereja
Protestan) Belanda yang bekerjasama dengan Java Enterprise, untuk menggelar
pentas musik dan dialog dengan berbagai komunitas di tujuh kota Belanda (Den
Haag, Amsterdam, Rotterdam, Deventer, Leeuwarden, Windesheim, dan Utrecht).
Pagelaran musik bertajuk Voices & Visions ini berlangsung pada tanggal 06
hingga 20 Oktober 2008 lalu.
Di tahun 2007, sekitar pekan kedua
bulan Agustus, dalam rangka ulang tahun ke-73 Paroki Pugeran (Jogjakarta),
salah satu acaranya adalah menampilkan pementasan Kiai Kanjeng pimpinan Cak
Nun. Selain pementasan Kiai Kanjeng, juga ada dialog antar agama
(Katholik, Islam, Budha, Hindu, Kejawen).
Ketika itu, sekitar sepertiga dari
peserta yang menghadiri ulang tahun ke-73 Paroki Pugeran itu, adalah wanita
berjilbab. Tidak ada yang bisa memastikan apakah mereka benar-benar Muslimah
berjilbab, atau hanya sekumpulan perempuan yang sengaja mengenakan jilbab.
Sebelum Kiai Kanjeng mentas, terlebih dulu ada pementasan dari ibu-ibu
aktivis Gereja Pugeran menyanyikan lagu persembahan gerejawi.
Kiai Kanjeng dalam penampilannya malam itu,
tidak hanya membawakan karya-karyanya seperti biasa, tetapi juga mengiringi
para ibu-ibu aktivis Gereja Katholik Pugeran yang kala itu membawakan lagu-lagu
gerejawi. Belum cukup sampai di situ, sebagai pamungkas penampilanya Kiai
Kanjeng menyuguhkan medley lagu Ave Maria dan Sholawat Nabi dinyanyikan
bergantian oleh Kyai Kanjeng dan ibu-ibu gereja.
Medley seperti itu bukan hal baru
bagi Cak Nun dan Kiai Kanjeng. Di tahun 2006, Cak Nun dan Kiai
Kanjeng-nya pernah membawakan medley lagu Malam Kudus (yang biasa
dinyanyikan umat Nasrani dalam rangka peringatan Natal) dengan Shalawat. Bukan
di gereja tetapi di Masjid Cut Mutia, Jakarta, pada hari Sabtu tanggal 14
Oktober 2006, dalam sebuah acara bertajuk Pagelaran Al-Qur’an dan Merah
Putih Cinta Negeriku, setelah shalat tarawih. (lihat tulisan di
nahimunkar.com berjudul The Men From Jombang edisi August 11, 2008 9:42
pm, http://www.nahimunkar.com/the-men-from-jombang/).
Acara perayaan ulang tahun ke-73
Paroki Pugeran yang berlangsung selama kurang lebih empat jam, hingga menjelang
tengah malam, kemudian berhenti karena terasakan adanya gempa. Ini kedua
kalinya Gempa melanda Jogjakarta dan sekitarnya. Sebelumnya, gempa di
Jogjakarta dan sekitarnya terjadi pada 27 Mei 2006. (nahimunkar.com, May 28,
2009 10:09 pm, Emha Ainun Nadjib: Shalawatan di Gereja, Tengkar di Korban
Lumpur Lapindo, http://www.nahimunkar.com/emha-ainun-nadjib-shalawatan-di-gereja-tengkar-di-korban-lumpur-lapindo/)
Emha Ainun Nadjib disebut (menyebut
diri?) pula dengan Kyai Mbeling (mbeling itu bahasa Jawa, kurang lebihnya
bermakna: susah diatur atau tidak mau berjalan pada aturan yang benar). Dan itu
urusan dia, tetapi ketika julukan itu melekat pada dirinya kemudian dia
blusak-blusuk ke gereja menyanyikan music dengan shalawat, sebenarnya sudah
menyangkut urusan agama Ummat Islam. Karena mbelingnya itu sudah berkaitan
dengan urusan peribadahan (shalawat) yang ada aturannya dari Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam, seharusnya perlu diperingatkan agar dia tidak
begitu lagi.
Apakah itu untuk membuktikan bahwa dia
memang benar-benar Kyai Mbeling atau tidak, yang jelas dia telah mempraktekkan
penyelewengan yang tidak pantas ditiru. Masih agak mending kalau dia main music
ya music saja (tapi ini bukan berarti mempersilakan, ini hanya sebagai
perbandingan belaka), sudah ketahuan bahwa itu haram dan maksiat. Lantas ketika
yang dimusikkan itu shalawat, sebenarnya dua kesalahan: musiknya itu sendiri
adalah haram, jadinya maksiat, sedang shalawat itu ibadah kok dimusikkan, itu
penyelewengan pula. Dan masih pula mengakibatkan adanya kesan seakan itu
Islami, sehingga tidak dirasa lagi bahwa itu maksiat. Padahal hakekatnya justru
lebih maksiat (maksiat ganda) daripada yang music asli (tanpa dibumbui agama)
yang masih ketahuan bahwa itu memang maksiat.
Kyai Slamet
Bagi yang belum paham, sebutan Kyai
Slamet boleh jadi akan membangkitkan imajinasi tentang sesosok manusia yang
berilmu (agama) tinggi, arif, sepuh dan bergiat di pondok pesantren. Sayangnya,
imajinasi itu salah kaprah. Karena, Kyai Slamet yang dimaksud di sini adalah
salah satu benda pusaka Keraton Kasunanan Surakarta berupa hewan kerbau
dengan sebutan Kyai Slamet.
Pada umumnya, kerbau atau kebo
berwarna hitam legam. Namun kerbau yang satu ini berwarna agak putih kemerahan
seperti kulit orang bule, sehingga disebut Kebo Bule. Bersama sejumlah pusaka
keraton lainnya, Kyai Slamet biasanya diarak berkeliling (kirab) dalam rangka
menyambut datangnya Tahun Baru Jawa 1 Suro (1 Muharram). Tradisi ini, sudah ada
sejak masa pemerintahan Pakubuwono (PB) IX, sebagai salah satu upaya raja untuk
melegitimasi kekuasaannya.
Karena Kyai Slamet merupakan pusaka
Keraton Kasunanan Surakarta, maka ia mendapatkan hak istimewa dari warga
Surakarta (Solo). Misalnya, tidak ada yang berani mengusir Kyai Slamet saat ia
memakan tanaman padi milik petani atau sayuran milik pedagang. Bahkan ada
sebagian dari mereka yang justru merasa senang ketika tanaman atau dagangannya
dimakan Kyai Slamet. Juga, bila Kyai Slamet buang kotoran, misalnya saat kirab
berlangsung, maka kotorannya menjadi rebutan warga.
Tradisi kirab benda pusaka keraton
ini, termasuk Kyai Slamet, menelan biaya tidak sedikit. Pada tahun 2010
lalu, biaya kirab Kyai Slamet dan pusaka keraton lainnya mencapai Rp 200 juta.
Sebesar Rp 40 juta diantaranya, diperoleh dari sumbangan Pemerintah Provinsi
(Pemprov). Uang sebanyak itu, digunakan untuk membawa kerbau jalan-jalan?
Ternyata mereka kalah pinter
dibanding Gayus Tambunan. Dengan uang ratusan juta, gayus bisa menyogok sipir
penjara untuk mendapatkan kebebasan ilegal. Atau, membawa anak-istrinya
jalan-jalan ke Bali dan ke luar negeri dengan identitas palsu.
Sama-sama pelanggarannya, namun manusia di Indonesia berbeda dalam menyikapinya. Bukan lantaran mau membela Gayus, tetapi kenapa Gayus yang menyogok sipir penjara dipersoalkan secara nasional, dan semua orang tahu bahwa itu adalah pelanggaran; sementara itu ketika uang untuk kemubadziran bahkan upacara yang rawan kemusyrikan seperti melepas kerbau bule (Kyai Slamet) untuk jalan-jalan di malam 1 Suro (Muahhram) dengan dibiayai ratusan juta rupiah itu tidak dipersoalkan dan tidak disalahkan? Juga aneka upacara kemusyrikan yang dibiayai Pemerintah Daerah di mana-mana, padahal itu jelas-jelas merusak keimanan Ummat Islam, masih pula menguras duit (dari Ummat Islam pula), tetapi tidak dipersoalkan? Padahal secara perhitungan bahaya dan dosa, sama sekali jauh lebih berbahaya dan berdosa yang upacara-upacara kemusyrikan di mana-mana itu. Sekali lagi ini sama sekali bukan mendukung Gayus, tetapi ayo sama sama disalahkan. Gayus dan lain-lain yang melanggar ya mesti dihukum, sedang penyelewengan (istilahnya penggunaan) dana untuk upacara-upacara kemusyrikan entah itu larung laut, sedekah bumi, labuh sesaji ke Gunung Merapi dan sebagainya yang pada hakekatnya merusak keyakinan Ummat Islam itu wajib pula dihukum dan dihentikan. Karena itu lebih dari sekadar penyelewengan tetapi bahkan penyelewengan sekaligus penyesatan dan penghancuran keimanan.
Sama-sama pelanggarannya, namun manusia di Indonesia berbeda dalam menyikapinya. Bukan lantaran mau membela Gayus, tetapi kenapa Gayus yang menyogok sipir penjara dipersoalkan secara nasional, dan semua orang tahu bahwa itu adalah pelanggaran; sementara itu ketika uang untuk kemubadziran bahkan upacara yang rawan kemusyrikan seperti melepas kerbau bule (Kyai Slamet) untuk jalan-jalan di malam 1 Suro (Muahhram) dengan dibiayai ratusan juta rupiah itu tidak dipersoalkan dan tidak disalahkan? Juga aneka upacara kemusyrikan yang dibiayai Pemerintah Daerah di mana-mana, padahal itu jelas-jelas merusak keimanan Ummat Islam, masih pula menguras duit (dari Ummat Islam pula), tetapi tidak dipersoalkan? Padahal secara perhitungan bahaya dan dosa, sama sekali jauh lebih berbahaya dan berdosa yang upacara-upacara kemusyrikan di mana-mana itu. Sekali lagi ini sama sekali bukan mendukung Gayus, tetapi ayo sama sama disalahkan. Gayus dan lain-lain yang melanggar ya mesti dihukum, sedang penyelewengan (istilahnya penggunaan) dana untuk upacara-upacara kemusyrikan entah itu larung laut, sedekah bumi, labuh sesaji ke Gunung Merapi dan sebagainya yang pada hakekatnya merusak keyakinan Ummat Islam itu wajib pula dihukum dan dihentikan. Karena itu lebih dari sekadar penyelewengan tetapi bahkan penyelewengan sekaligus penyesatan dan penghancuran keimanan.
Kyai Sengkelat
Bila Kyai Slamet adalah kebo bule,
Kyai Sengkelat adalah nama julukan bagi sebilah keris karya Mpu Supa
Mandagri, salah satu santri Sunan Ampel. Keris pusaka ini mempunyai lekukan
(luk) berjumlah tiga belas yang diciptakan pada zaman Majapahit, khususnya pada
masa pemerintahan Brawijaya V alias Prabu Kertabhumi (1466-1478). Sunan Ampel
dipercaya sebagai salah satu personel walisongo penyebar agama Islam di kawasan
Nusantara. Ia putra Maulana Malik Ibrahim, yang juga personel walisongo.
Berdasarkan silsilah, Sunan Ampel mempunyai garis keturunan hingga ke pasangan
Ali bin Abi Thalib as dan Fatimah az-Zahra as binti Muhammad SAW. (Sejarah walisongo
sepertinya agak berbau syi’ah).
Sebagai salah satu santri Sunan
Ampel, Mpu Supa Mandagri pada suatu ketika diberi cis yaitu besi runcing untuk
menggiring onta, yang didapat Sunan Ampel ketika sedang bermunajat. Maksudnya,
untuk dibuatkan sebilah pedang. Namun, Mpu Supa Mandagri merasa sayang bila
besi itu diolah menjadi sebilah pedang. Maka, dibuatlah sebilah keris luk tiga
belas yang diberi nama Kyai Sengkelat.
Kemudian keris itu ia serahkan
kepada Sunan Ampel. Ternyata, Sunan Ampel kecewa. Karena, menurut Sunan Ampel,
keris merupakan budaya Jawa yang berbau Hindu. Sedangkan pedang, lebih dekat
kepada budaya Arab, tempat agama Islam berasal. Kemudian, Sunan Ampel
menyarankan agar Kyai Sengkelat diserahkan kepada Brawijaya V.
Jadi, boleh dibilang, Kyai Sengkelat
ini merupakan lambang pembangkangan seorang murid (Mpu Supa Mandagri) kepada
gurunya (Sunan Ampel). Disuruh bikin pedang kok malah bikin keris!
Kyai Semar
Sosok Kyai Semar jauh lebih abstrak
dibanding dua kyai sebelumnya (Kyai Slamet dan Kyai Sengkelat). Dari namanya,
Kyai Semar merujuk kepada tokoh pewayangan bernama Semar. Bagi sebagian
masyarakat Jawa, Kyai Semar tidak harus dimaknai secara kongkrit, karena ia
bisa berupa kearifan lokal yang melengkapi ajaran agama. Seperti, nilai-nilai
kebajikan berupa aja dumeh, aja adigang-adigung-adiguna, aja alu-amah, aja
ngumbar hawa nepsu, aja kumalungkung, aja nggleleng, aja kemayu, aja kemaki,
dan sebagainya. (Nasihat agar menjauhi akhlaq yang buruk seperti sombong dan
sebagainya).
Berdasarkan asal-usulnya, sosok Kyai
Semar punya banyak versi. Salah satunya, berdasarkan naskah Serat Kanda
dikisahkan, ada penguasa kahyangan bernama Sanghyang Nurrasa yang memiliki dua
orang putra bernama Sanghyang Tunggal yang berwajah jelek dan Sanghyang Wenang
yang tampan.
Hanya karena wajahnya yang jelek,
maka Sanghyang Tunggal kehilangan haknya menjadi pewaris takhta kahyangan. Sang
ayah, Sanghyang Nurrasa memilih Sanghyang Wenang sebagai penerus takhtanya.
Sanghyang Wenang yang tampan, kemudian mewariskan takhtanya kepada putranya
yang bernama Batara Guru.
Sanghyang Tunggal yang buruk rupa
ini kemudian menjadi pengasuh para kesatria keturunan Batara Guru, dengan nama
(Kyai) Semar.
Dari kisah Kyai Semar ini, ada dua
hal bertolak belakang yang bisa kita peroleh. Pertama, kearifan lokal,
nilai-nilai kebajikan yang sesuai ajaran agama. Kedua, diskriminasi seorang
ayah terhadap anaknya yang buruk rupa. Karena buruk rupa, sang anak kehilangan
haknya. Jadi, melalui penokohan Kyai Semar ini kita disuguhkan dua hal
kontradiktif sekaligus: kearifan dan diskriminasi.
Pesan moralnya: orang tampan lebih
pantas dipilih jadi pemimpin, sedangkan yang tidak tampan hanya pantas jadi
pengasuh anak-keturunan orang tampan. Sebuah pesan moral yang sangat
hedonistis.
Itu semua hanya cerita khayal namun
oleh sebagian orang dipercayai, hingga sebenarnya rawan perusakan iman juga.
Dan akan menambah kerusakan pula bila masalah ini kemudian didanai pula untuk
diupacarakan dan sebagainya seperti upacara-upacara yang rawan kemusyrikan
lainnya. Makanya Ummat Islam terutama para ulama dan tokohnya wajib hati-hati
dan waspada, lebih-lebih ketika mau memilih pemimpin. Bila yang dipilih adalah
orang yang punya misi menghidup-hidupkan apa-apa yang berbau mistis dan
kemusyrikan, maka sangat rawan ke arah sana nanti ketika memimpin, yang
dikhawatirkan akan menjerumuskan masyarakat ke neraka. Ulama yang mengajak-ajak
Ummat Islam untuk memilih pemimpin seperti itu, kemungkinan besar kelak di
akherat akan berat tanggung jawabnya, padahal misalnya mendapatkan upah dari
kampanyenya, sama sekali sudah habis ketika di dunia. Betapa ruginya!
Kyai Sapu Jagad
Sosok Kyai Sapu Jagad juga abstrak
seperti Kyai Semar. Selama ini, masyarakat sekitar gunung Merapi mempercayai
bahwa gunung api tersebut memiliki nyawa sebagai penunggunya, yaitu Kyai Sapu
Jagad. Untuk menghindari kemarahan sang penunggu, masyarakat sekitar perlu
mengadakan ritual dan juga memberikan sesaji. Sosok Kyai Sapu Jagad sebagai
penunggu Merapi, konon diciptakan oleh Kraton Mataram, demi tegaknya kekuasaan
penguasa.
Menurut sebuah kisah —bermisi
takhayul kepercayan batil—, Kyai Sapu Jagad penunggu Merapi adalah abdi dalem
setia keraton Yogyakarta yang sebelumnya dikenal dengan nama Ki Juru Taman.
Secara tak sengaja, Ki Juru Taman menelan telor (endhog jagad) pemberian Nyai Roro
Kidul (ini sosok fiktif yang dipercayai secara batil) kepada Panembahan
Senopati. Serta merta Ki Juru Taman berubah menjadi raksasa. Hati Penambahan
Senopati tentu saja masygul. Namun, ia memberikan perintah kepada Ki Juru Taman
yang telah menjadi raksasa untuk menjaga puncak Merapi, menyelamatkan rakyat
dari amuk Merapi selamanya. Sebagai balas jasa, setiap tahun Keraton Yogyakarta
menyisihkan sebagian dari hasil buminya dalam bentuk sesajen untuk
dipersembahkan kepada petinggi lelembut Merapi ini. (Nah, ujung-ujungnya
kemusyrikan, yang dapat mengeluarkan orang dari keyakinan Islamnya)
Mengenai asal muasal endhog jagad
dikisahkan, ketika Panembahan Senopati merapat di bibir pantai Parang Kusumo,
ia diberi tanda mata cinta oleh Nyai Rara Kidul berupa endhog jagad. Sebelum
pergi menghilang, Nyai Rara Kidul berpesan agar Panembahan Senopati segera
memakan endhog jagad tersebut. Namun dalam perjalanan pulang, Panembahan
Senopati dipergoki Sunan Kalijaga yang memang secara diam-diam mengamati
kejadian antara Panembahan Senopati dengan Nyai Rara Kidul.
Sunan Kali Jaga adalah pendiri
dinasti Mataram. Kepada Panembahan Senopati ia memberikan nasehat untuk tidak
memakan endhog jagad tersebut, karena menurut Sunan Kali Jaga, endhog Jagad
tersebut merupakan jebakan dari sang Ratu Pantai Selatan. Akhirnya, Panembahan
Senopati urung memakan endhog jagad, namun sayangnya endhog tersebut termakan
oleh Ki Juru Taman, yang setelah menjadi raksasa, lelembut Merapi, dikenal
dengan nama Kyai Sapu Jagad. Ini semua adalah cerita khayal tapi dipercayai
maka menjadi kepercayaan yang batil, sangat jauh dari keyakinan Islam.
Ini semua hanya cerita khayal,
tetapi kemudian diupacarai pakai sesaji, jadi pada hakekatnya disembah-sembah,
dan itulah kemusyrikan yang nyata. Mereka minta keselamatan kepada selain Allah
yang dikhayalkan sebagai roh Kyai Sapu Jagat. Itu benar-benar kemusyrikan.
Hanya saja praktek kemusyrikan itu ditiru pula dalam bentuk yang bukan
memberikan sesaji tetapi dalam bentuk apa yang disebut ziarah kubur para wali
atau orang-orang yang dianggap saleh. Ziarah kubur itu sendiri dalam Islam ada
dua: yang syar’I dan yang tidak syar’i. Yang syar’I adalah berziarah untuk
mengingat akherat dan mendoakan mayat isi kubur yang Muslim. Mayat Non Muslim
haram didoakan. Ziarah yang tidak syar’I, di antaranya ziarah tapi meminta
kepada isi kubur (misal agar rejeki lancar, enteng jodoh dan sebagainya), itu
sama dengan yang menyembah atau minta perlindungan kepada Roh Kyai sapu Jagat
dan lainnya itu. Makanya orang yang meminta kepada isi kubur itu sering disebut
penyembah kubur. Karena pada hekaketnya sama antara penyembah Roh Sapu Jagat
atau semacamnya dengan peminta isi kubur.
Sebelum diteruskan, kita beralih
dulu ke berikut ini:
Kyai Petruk
Selain Kyai Sapu Jagad, masih ada
delapan sosok lain yang dipercaya sebagai penunggu Merapi. Salah satunya, Kyai
Petruk. Sebagian masyarakat Jawa percaya, Kyai Sapu Jagad adalah penunggu kawah
Merapi yang menjadi penentu meledak-tidaknya gunung tersebut. Sedangkan Kyai
Petruk mengemban tugas sebagai pemberi wangsit mengenai saat meletusnya Merapi,
termasuk memberi kiat-kiat tertentu kepada penduduk agar terhindar dari ancaman
bahaya lahar panas Merapi.
Konon, Kyai Petruk merupakan anak
dari seorang petinggi di Kecamatan Cepogo (Boyolali, Jawa Tengah), dengan nama
asli Handoko Kusumo. Karena postur Handoko mirip tokoh pewayangan Petruk, maka
ia dipanggil dengan sebutan Kyai Petruk.
Sejak kecil, Handoko dikenal sebagai
sosok yang gemar menolong. Handoko juga dipercaya punya kesaktian, berkat
ketekunannya bertapa. Dengan kesaktiannya itu, masyarakat sekitar Merapi
percaya bahwa Kyai Petruk dapat memberikan perlindungan kepada masyarakat di
sekitar Merapi dari bahaya erupsi.
Masyarakat sekitar Merapi juga
percaya bahwa Kyai Petruk meninggal melalui proses mukswo atau moksa
(hilang tanpa meninggalkan raga) di gunung Merapi saat serius bertapa. Untuk
mengenang Kyai Petruk, masyarakat sekitar Merapi setiap malam 1 Suro mengadakan
acara Sedekah Gunung yang salah satu rangkaian acaranya adalah larung sesaji,
berupa tumpeng sesaji, nasi gunung yang dibuat dari jagung, dan sebagainya,
termasuk dupa kemenyan, dan tak lupa kepala kerbau.
Itu semua adalah upacara sesajen
atau sesaji alias penyembahan kepada selain Allah Ta’ala. Itulah kemusyrikan
nyata.
Kyai Sadrach
Bagi sebagian masyarakat yang
terlanjur mempersepsikan sebutan kyai dengan ulama agama Islam, boleh jadi akan
kecele. Sebab, kyai yang satu ini adalah murtadin (orang murtad, keluar dari
Islam) yang aktif menyebarkan agama Kristen sembari membiarkan tradisi Jawa
larut dalam ajaran Kristen. Diperkirakan, ia lahir di Jepara pada tahun 1835,
dan meninggal dunia pada 14 November 1924 dalam usia 89 tahun.
Anak petani miskin yang pernah
menjadi pengemis ini, bernama asli Radin. Ketika ia belajar di salah satu
pesantren di Jombang (Jawa Timur), namanya menjadi Radin Abas. Dari Jombang,
Radin Abas berkelana ke Semarang. Di sinilah awal kekristenan Radin Abas
bermula. Ada dua versi mengenai hal ini.
Versi pertama, di Semarang Radin
bertemu dengan seorang penginjil bernama Hoezoo, kemudian Radin Abas pun ikut
kelas Katekisasi yang diajar oleh Hoezoo. Di tempat inilah Radin berkenalan
dengan Kyai Ibrahim Tunggul Wulung yang sudah sepuh, dan sudah lebih dulu
murtad. Kebetulan, ia berasal dari daerah yang sama dengan Radin, yaitu daerah
Bondo Karesidenan Jepara. Semenjak perkenalan tersebut, Radin menjadi murid
Tunggul Wulung.
Versi kedua, di Semarang Radin
bertemu dengan Kurmen alias Sis Kanoman, bekas gurunya. Ternyata, saat itu
Kurmen sudah masuk Kristen melalui Kyai Ibrahim Tunggul Wulung. Radin Abas pun
diperkenalkan Kurmen kepada Kyai Ibrahim Tunggul Wulung, dan Radin berguru
kepadanya. Akhirnya, Radin dibawa ke Batavia oleh Kyai Ibrahim Tunggul Wulung,
dibaptis dengan nama Sadrach pada tanggal 14 April 1867, ketika usianya
menginjak angka 32 tahun. Sejak saat itu, Radin alias Sadrach menjadi anggota
gereja Zion Batavia yang beraliran Hervormd. Tugas pertamanya, menyebarkan
brosur dan buku-buku tentang agama Kristen dari rumah ke rumah di seputar
Batavia.
Sadrach yang pernah belajar di
pesantren, meski sudah murtad tetap menempelkan atribut kyai di depan namanya,
tentu bukan tanpa maksud. Dua tahun kemudian (1869) Sadrach diangkat anak oleh
Pendeta Stevens-Philips yang saat itu berdomisili di Purworejo. Setahun di
Purworejo, Sadrach kemudian pindah ke Karangjasa yang berjarak sekitar 25
kilometer dari Purworejo. Di Karangjasa, Sadrach semakin giat menyebarkan agama
Kristen. Antara lain ia berhasil mengkristenkan Kyai Ibrahim yang tinggal di
Sruwoh, tak jauh dari Karangjasa, dan Kyai Kasanmetaram.
Geliat Sadrach mengkristenkan kaum
pribumi, memberi hasil yang jauh lebih banyak dibanding misionaris Belanda.
Bahkan di Purworejo, jumlah orang Kristen Jawa pernah melampaui jumlah orang
Kristen Belanda, berkat keuletan Sadrach. Keberhasilan Sadrach terutama karena
ia menerapkan strategi yang jitu. Yaitu, hanya melakukan kristenisasi di
wilayah-wilayah yang kadar keislamannya masih relatif rendah, yang masih
bercampur dengan budaya animisme dan Hindu. Juga, ia menggabungkan ajaran
Kristen dengan budaya Jawa seperti Yesus Kristus yang diasosiasikan dengan Ratu
Adil. Yang lebih menarik, Sadrach tetap mempertahankan tradisi kejawen dalam
masyarakat dengan memasukkan berbagai doa Kristen ke dalamnya.
Meski dinilai berprestasi
mengkristenkan kaum pribumi, namun Sadrach tetap saja orang Jawa yang mendapat
perlakuan diskriminatif dari kaum kristen Belanda. Bagi sebagian kristen Jawa,
sosok Sadrach tidak saja diposisikan sebagai guru, bahkan ada yang
menganggapnya Ratu Adil di tanah Jawa. Sementara itu, bagi para misionaris
(kristen Belanda), Sadrach hanyalah kyai Jawa yang ambisius dan gila hormat.
Selain itu, Sadrach dituduh sebagai sumber sinkretisme antara nilai Kristen dan
kejawen.
Kalangan kristen Belanda memandang
Sadrach hanya sebagai asisten Pendeta Stevens-Philips. Sehingga, seluruh
keberhasilan Sadrach mengkristenkan kaum pribumi dianggap sebagai kerja keras
Pendeta Stevens-Philips dan keluarganya. Oleh karena itu mereka menganggap
jemaat-jemaat Sadrach berada di bawah hegemoni Pendeta Stevens-Philips.
Puncaknya, pada tahun 1891 dikeluarkan pernyataan bersama para misionaris
(kristen Belanda) untuk memisahkan diri dari jemaat Sadrach. Bahkan, Sadrach
sempat ditangkap dan dipenjara oleh Pemerintah Belanda. Alasannya, Sadrach
dianggap sebagai ancaman yang potensial melakukan perlawanan terhadap pemerintahan
Belanda, karena memiliki pengaruh kuat di kalangan pribumi. Beberapa bulan
kemudian Sadrach dibebaskan.
Begitulah nasib sang Kyai murtad
yang kemudian bernama lengkap Radin Abas Sadrach Supranata. Meski sudah murtad
dan aktif mengkristenkan kalangan pribumi, ia tetap dipandang sebagai orang
Jawa yang kedudukannya lebih rendah dari orang Belanda. Ibarat kata pepatah,
sepandai-pandai tupai melompat, tetap saja tak bisa jadi atlit. Apalagi ikut
Olimpiade.
Di dunia nasibnya celaka, dan di
akherat karena murtadnya dari Islam itu maka kekal di neraka. Itu sudah tegas
dinyatakan Allah Ta’ala:
وَمَنْ
يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ
أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ
فِيهَا خَالِدُونَ [البقرة/217]
Barangsiapa yang murtad di antara
kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang
sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka,
mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah [2] : 217).
Nasib celaka di dunia dan akherat
walau julukannya masih tetap kyai itu hendaknya menjadi pelajaran yang sangat
berharga bagi setiap Muslim. Lebih-lebih orang-orang yang mengaku Muslim namun
liberal (walau Kyai), hendaknya becermin pada bencana hidup yang dialami Kyai
Sadrach yang sudah mengorbankan agamanya (Islam) namun tetap di dunia saja
tidak diakui oleh Belanda “jasa-jasanya”, sedang adzab Allah di akherat kelak
telah jelas akan menimpanya selama-lamanya, kekal di dalam neraka.
Na’udzubillahi min dzalik, kami berlindung kepada Allah dari hal yang demikian.
Dari uraian ini diketahui bahwa
ternyata kyai itu bermacam-macam. Macam-macam kyai itupun tampaknya menarik
dibahas, sehingga telah dikenal ada buku berjudul Bila Kyai Dipertuhankan,
Membedah Sikap Beragama NU karya Hartono Ahmad Jaiz. Masih pula ada yang
lebih khusus lagi, buku berjudul Mengungkap Kebatilan Kyai Liberal Cs,
ternyata karya Hartono Ahmad Jaiz pula.
Dari bahan bacaan maupun kenyataan
di masyarakat, sebutan kyai terbukti belum tentu sebagai julukan untuk orang
yang alim agama dan akhlaqnya bagus. Bahkan ada yang berupa binatang atau
benda. Sedang muatannya pun bermacam-macam. Ada yang baik, ada yang buruk, ada
yang menuntun manusia kepada keimanan yang benar, ada yang menyebarkan
kemaksiatan tapi seolah agamis, ada yang menyesatkan, dan bahkan ada yang
murtad. Sehingga tidak mengherankan bila kelak di akherat isi neraka itu di
antaranya adalah Kyai-kyai, bahkan ada yang kekal di neraka karena telah murtad
dari Islam. Sedang julukan kyai-nya walaupun masih melekat namun sama sekali
tidak ada nilainya apa-apa. Kecuali bagi kyai yang memang benar-benar beriman
dan beramal shalih, maka tentu saja Allah tidak akan menyia-nyiakan kebaikannya
yang dilandasi iman. Dan itu tercakup dalam ayat:
إِنَّ
الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّاتُ
الْفِرْدَوْسِ نُزُلًا (107) خَالِدِينَ فِيهَا لَا يَبْغُونَ عَنْهَا حِوَلًا
[الكهف/107، 108]
Sesungguhnya orang-orang yang
beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat
tinggal, mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah dari padanya. (QS. Al-Kahfi [18]: 107-108)
Beriman di situ disyaratkan dengan
tidak bercampur dengan kemusyrikan. Dalam pembahasan ini di antara kemusyrikan
itu adalah menyembah kuburan dengan kedok ziarah ke kubur-kubur wali dan orang
shaleh, dengan cara meminta kepada isi kubur sebagaimana difatwakan
kemusyrikannya dalam fatwa di atas. Syarat iman tidak bercampur dengan
kemusyrikan itu ditegaskan dalam Al-Qur’an:
الَّذِينَ
آَمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ
وَهُمْ مُهْتَدُونَ [الأنعام/82]
Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang
mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al-An’am [6] : 82).
(rozy naim/eramuslim.com)
Komentar
Posting Komentar