Manusia di muka bumi ini mempunyai misi yang jelas dan pasti.
Misi yang merupakan tujuan asasi di mana ia diciptakan di atasnya. Ada tiga misi
yang bersifat given (‘atha’ rabbani) yang diemban manusia; yaitu misi utama
untuk beribadah (Adz-Dzariyat: 56), misi fungsional sebagai khalifah
(Al-Baqarah: 30) dan misi operasional untuk memakmurkan bumi (Hud: 61). Namun
keberlangsungan dan kelestarian misi ini secara benar apabila manusia mau
mendengar dan mentaati risalah yang di bawa para Rasul. Hanya saja tidak semua
manusia mengikuti dan menerima seruan mereka, bahkan sebagian besar dari manusia
ini mendustakan dan mengingkari risalah Ilahiyah yang dibawanya. Allah
berfirman;
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat
(untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu”, maka di
antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di
antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu
di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan
(rasul-rasul).” (An-Nahl: 36)
Maka, manusia yang mampu menerjemahkan tiga misi tersebut ke
dalam bahasa lisan, tindakan dan sikap adalah manusia yang beriman kepada Allah
SWT. Manusia yang senantiasa merespon seruan dan khithab rabbani dengan hanya
mengucapkan kalimat ini; “sami’naa wa atho’naa”. Inilah syi’ar kehidupan manusia
qur’ani dan rabbani. Hamba-hamba Allah yang akan dijanjikan kepada mereka
“istikhlaf” di bumi-Nya. Allah berfirman;
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil
kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul mengadili di antara mereka ialah ucapan
“Kami mendengar dan kami patuh”. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
(An-Nur: 51)
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di
antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan
menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia akan meneguhkan bagi mereka
agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan merubah
(keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa.
Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan
Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah
orang yang fasik.” (An-Nur: 55)
Berdasarkan ayat di atas bisa kita konklusikan bahwa umat
Islamlah yang diberi beban amanah Ilahiyah dan yang sanggup
mengimplementasikannya ke dalam seluruh dimensi kehidupan. Maka umat Islamlah
yang seharusnya memimpin dunia, yang berkewajiban mengajarkan manusia tentang
system ilahiah dan membimbingnya untuk melakukan islamisasi dalam kehidupannya
secara totalitas sehingga mereka benar-benar bisa keluar dari kegelapan jahiliah
menuju cahaya Islam. Renungkan apa yang telah dikatakan seorang jundi, Rib’i bin
Amir kepada Rustum, panglima Persia dalam perang Qadisiyah, ketika ia
bertanya:“Gerangan apa yang membuat Anda datang ke negeri kami?”, lalu ia
menjawab dengan kalimat ini;
“Allah telah mengutus kami untuk mengeluarkan manusia yang
dikehendaki-Nya dari penghambaan hamba menuju pengabdian kepada Allah semata,
dari sempitnya dunia menuju luasnya dunia dan akhirat dan dari kezhaliman
agama-agama menuju keadilan Islam.”
Oleh karenanya, tugas ini bukanlah tugas yang ringan dan
juz-iyah (parsial) atau sampingan tanpa dibarengi dengan usaha-usaha maksimal.
Akan tetapi tugas atau dakwah ini merupakan urusan yang besar nan agung, urusan
yang berkaitan dengan pembentukan syakshiah islamiyah, kelestarian system-sistem
Ilahiyah dan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Sayyid Quthb mengatakan,
“Barangsiapa menganggap ringan kewajiban (dakwah) ini, padahal ia merupakan
kewajiban yang dapat mematahkan tulang punggung dan membuat orang gemetar, maka
ia tidak bisa melaksanakan secara kontinyu kecuali atas pertolongan Allah. Ia
tidak akan bisa memikul dakwah kecuali atas bantuan Allah SWT dan tidak akan
bisa teguh di atasnya kecuali dengan keikhlasan pada-Nya. Orang yang berada di
jalan ini siangnya berpuasa, malamnya qiyam (shalat) dan ucapannya penuh dengan
dzikir. Sungguh hidup dan matinya hanya untuk Allah Rabbal Alamin, yang tiada
sekutu bagi-Nya.” (Tafsir Fii Zhilaalil Qur’an, Sayyid Quthb)
Dan untuk mensukseskan amanat yang agung ini perlu dibutuhkan
manusia-manusia yang memiliki iman yang kuat, keikhlasan, hamasah yang membara
dan tadhhiyat serta amal yang mustamir (kontinyu). Sehingga nilai-nilai
kebenaran Islam yang termuat dalam gerbong dakwah benar-benar terealisir dan
bisa dirasakan oleh semua manusia. Al-Imam asy-Syahid Hasan al-Banna dalam
“risalat ilaa asy-syabab” berkata, “Sungguh fikrah ini bisa sukses apabila ada
iman yang kuat, keikhlasan yang penuh di jalannya, hamasah yang membara dan
adanya persiapan yang melahirkan tadhhiat dan amal untuk merealisasikannya. Dan
hampir-hampir empat pilar ini (iman, ikhlas, hamasah dan amal) merupakan
karakteristik bagi para pemuda. Karena dasar keimanan adalah hati yang cerdas,
dasar keikhlasan adalah nurani yang suci, dasar hamasah adalah syu’ur yang kuat
dan dasar amal adalah ‘azm yang menggelora.”
URGENSI BERDAKWAH
Berdakwah yang bertujuan dan berorientasi kepada perbaikan
individu muslim, pembentukan keluarga muslim, pembinaan masyarakat Islam,
pembebasan tanah air dari hegemoni asing, perbaikan pemerintah agar menjadi
pemerintahan Islam yang senantiasa memperhatikan kemaslahatan umat dan menjadi
“ustadziatul ‘alaam” (soko guru dunia) merupakan risalah para Nabi dan Rasul. Di
mana setiap Nabi berkewajiban mendakwahkan apa-apa yang telah diterima sebagai
wahyu dari Allah kepada umatnya. Ia harus menyampaikan risalah Ilahiyah ini
dengan penuh amanah, kejujuran, kecerdasan dan kesabaran di tengah
masyarakatnya. Allah berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat
(untuk menyerukan):”Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu”, maka di
antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di
antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu
di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan
(rasul-rasul).” (An-Nahl: 36)
“Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan
pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada
agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi. (Al-Ahzab:
45-46)
Berdakwah juga merupakan kewajiban syar’i yang harus dilakukan
oleh setiap umat Islam berdasarkan beberapa dalil berikut ini:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar;
mereka adalah orang-orang yang beruntung. (Ali Imran: 104)
Ayat ini secara jelas menunjukkan wajibnya berdakwah, karena
ada “lam amr” di kalimat “wal takun”. Begitu juga Rasulullah SAW bersabda,
“Sampaikanlah dariku meskipun satu ayat.” Hadits ini secara eksplisit
mengisyaratkan bahwa setiap muslim harus menyampaikan apa-apa yang telah di bawa
Rasulullah Saw kepada seluruh manusia, walaupun hanya satu ayat ataupun satu
hadits.
“Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak
melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram Sesungguhnya
amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.” (Al-Maidah: 63)
Ibnu Jarir at-Thabari meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwa ia
berkata, “Tidak ada di dalam Al-Quran suatu ayat yang lebih keras mengolok-olok
daripada ayat ini.” (Tafsir Ibnu Jarir). Sedangkan Ibnu Abi Hatim meriwayatkan
dari Yahya bin Ya’mar, ia berkata, “Ali bin Abi Thalib pernah berkhotbah,
setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya, ia berkata, “Wahai manusia,
sesungguhnya umat sebelum kamu itu hancur disebabkan mereka berbuat maksiat
sedangkan orang-orang alim dan para pendeta mereka tidak melarangnya sampai
akhirnya ditimpa siksa di saat mereka terus menerus asyik dalam kemaksiatannya.
Oleh karena itu, perintahkanlah mereka untuk berbuat makruf dan cegahlah mereka
dari kemungkaran sebelum turun kepada adzab seperti yang turun kepada mereka.
Ketahuilah bahwasanya amar makruf dan nahi mungkar itu tidak akan memutuskan
rezki dan tidak pula mendekatkan ajal.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/74)
Berkaitan dengan masalah ini, Allah juga menggambarkan fenomena
masyarakat mukmin yang selalu melakukan taawun dan amar ma’ruf nahi munkar di
antara mereka. Allah berfirman;
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 71)
Sebagaimana dakwah itu merupakan kewajiban syar’i, ia juga
merupakan kebutuhan masyarakat. Karena dengan dakwah, masyarakat mampu memahami
nilai-nilai kebenaran Islam, mampu membedakan antara yang hak dan yang batil dan
akhirnya mereka bisa mengaplikasikan ajaran Islam ini lewat sentuhan lembut
tangan para dai yang bijak, para penunjuk jalan yang tegar dan para muballigh
yang sabar. Dakwah merupakan muara segala kebaikan, benteng penangkal siksa dan
escalator yang menghantarkan doa para hamba. Mi’raj kepada Rabbnya. Rasulullah
SAW bersabda:
“Demi Dzat yang mana jiwaku ada pada Tangan-Nya, sungguh kamu
harus melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar atau Allah akan menimpakan kepada
kamu adzab, kemudian kamu berdoa maka doa itu tidak akan dikabulkan.” (H.R.
Tirmidzi, hadits hasan)
Jadi, jelaslah bahwasanya setiap muslim yang sadar dengan
identitasnya, ia harus berpartisipasi dalam mengemban amanah dakwah ini. Apalagi
kita sebagai pemuda atau orang tua yang berjiwa muda, ia harus dinamis membangun
jaringan dakwah dan pro aktif untuk ikut memperbaiki masyarakatnya. Imam Syafi’i
dalam antologi puisinya berkata:
“Siapa yang tidak mau ta’lim (dakwah/membina) pada masa
mudanya, maka takbirkan kepadanya empat kali takbir. Karena ia telah (mati
sebelum ia mati).”
Begitu juga Imam asy-Syahid Hasan al-Banna menginginkan
manusia-manusia yang kuat dari kalangan pemuda atau orang tua yang berjiwa muda
saja dalam mengemban amanah dakwah yang berat ini. Maka dalam risalah
“dakwatunaa fii thaurin jadid” beliau berkata:
“Kami menginginkan jiwa-jiwa yang hidup, kuat dan tegar.
Hati-hati yang baru nan berkibar-kibar. Emosi-emosi yang membara nan menggelora
dan ruh-ruh yang memiliki thumuhat, obsesi ke depan jauh yang merenungkan
teladan dan tujuan-tujuan yang mulia.”
Maka Setiap ucapan, gerak dan tindakan seorang akh yang telah
bergabung dalam dakwah ini harus benar-benar mencerminkan nilai-nilai Islam dan
harus mampu menjadi pesona Islam di tengah-tengah masyarakatnya. Wallahu a’lam
bis Shawab.
oleh: Rozy Naim
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus