Ada seorang pemuda yang bertakwa, tetapi dia sangat lugu. Suatu kali dia belajar
pada seorang syaikh. Setelah lama menuntut ilmu, sang syaikh menasihati dia dan
teman - temannya : "Kalian tidak boleh menjadi beban orang lain. Sesungguhnya,
seorang alim yang menadahkan tangannya kepada orang-orang berharta, tak ada
kebaikan dalam dirinya. Pergilah kalian semua dan bekerjalah dengan pekerjaan
ayah kalian masing- masing. Sertakanlah selalu ketakwaan kepada Allah dalam
menjalankan pekerjaan tersebut."
Maka pergilah pemuda tadi menemui ibunya seraya ber-tanya: "Ibu, apakah pekerjaan yang dulu dikerjakan ayahku?" Sambil bergetar ibunya menjawab: "Ayahmu sudah meninggal. Apa urusanmu dengan pekerjaan ayah-mu?" Si pemuda ini terus memaksa agar diberitahu, tetapi si ibu selalu mengelak. Namun akhirnya si ibu terpaksa angkat bicara juga, dengan nada jengkel dia berkata: "Ayahmu itu dulu seorang pencuri?"!
Maka pergilah pemuda tadi menemui ibunya seraya ber-tanya: "Ibu, apakah pekerjaan yang dulu dikerjakan ayahku?" Sambil bergetar ibunya menjawab: "Ayahmu sudah meninggal. Apa urusanmu dengan pekerjaan ayah-mu?" Si pemuda ini terus memaksa agar diberitahu, tetapi si ibu selalu mengelak. Namun akhirnya si ibu terpaksa angkat bicara juga, dengan nada jengkel dia berkata: "Ayahmu itu dulu seorang pencuri?"!
Pemuda itu berkata: "Guruku memerintahkan kami -murid-muridnya- untuk
bekerja seperti pekerjaan ayahnya dan dengan ketakwaan kepada Allah dalam
menjalankan pekerjaan tersebut."
Ibunya menyela: "Hai, apakah dalam
pekerjaan mencuri itu ada ketakwaan?" Kemudian anaknya yang begitu polos
menjawab: "Ya, begitu kata guruku." Lalu dia pergi bertanya kepada orang-orang
dan belajar bagaimana para pencuri itu melakukan aksinya. Sekarang dia
mengetahui teknik mencuri. Inilah saatnya beraksi. Dia menyiapkan alat-alat
mencuri, kemudian shalat Isya' dan menunggu sampai semua orang tidur. Sekarang
dia keluar rumah untuk menjalankan profesi ayahnya, seperti perintah sang guru
(syaikh). Dimulailah dengan rumah tetangganya. Saat hendak masuk ke dalam rumah
dia ingat pesan syaikhnya agar selalu bertakwa. Padahal mengganggu tetangga
tidaklah termasuk takwa. Akhirnya, rumah tetangga itu ditingalkannya. Ia lalu
melewati rumah lain, dia berbisik pada dirinya: "Ini rumah anak yatim, dan Allah
memperi-ngatkan agar kita tidak memakan harta anak yatim". Dia terus berjalan
dan akhirnya tiba di rumah seorang pedagang kaya yang tidak ada penjaganya.
Orang-orang sudah tahu bahwa pedagang ini memiliki harta yang melebihi
kebutuhannya. "Ha, di sini", gumamnya. Pemuda tadi memulai aksinya. Dia berusaha
membuka pintu dengan kunci-kunci yang disiapkannya. Setelah berhasil masuk,
rumah itu ternyata besar dan banyak kamarnya. Dia berke-liling di dalam rumah,
sampai menemukan tempat penyim-panan harta. Dia membuka sebuah kotak,
didapatinya emas, perak dan uang tunai dalam jumlah yang banyak. Dia tergoda
untuk mengambilnya. Lalu dia berkata: "Eh, jangan, syaikhku berpesan agar aku
selalu bertakwa. Barangkali pedagang ini belum mengeluarkan zakat hartanya.
Kalau begitu, sebaiknya aku keluarkan zakatnya terlebih dahulu."
Dia
mengambil buku-buku catatan di situ dan menghidupkan lentera kecil yang
dibawanya. Sambil membuka lembaran buku-buku itu dia menghitung. Dia memang
pandai berhitung dan berpengalaman dalam pembukuan. Dia hitung semua harta yang
ada dan memperkirakan berapa zakatnya. Kemudia dia pisahkan harta yang akan
dizakatkan. Dia masih terus menghitung dan menghabis-kan waktu berjam-jam. Saat
menoleh, dia lihat fajar telah menyingsing. Dia berbicara sendiri: "Ingat takwa
kepada Allah! Kau harus melaksanakan shalat dulu!" Kemudian dia keluar menuju
ruang tengah rumah, lalu berwudhu di bak air untuk selanjutnya melakukan shalat
sunnah.
Tiba-tiba tuan rumah itu terbangun. Dilihatnya dengan penuh
keheranan, ada lentera kecil yang menyala. Dia lihat pula kotak hartanya dalam
keadaan terbuka dan ada orang sedang melakukan shalat. Isterinya bertanya: "Apa
ini?" Dijawab suaminya: "Demi Allah, aku juga tidak tahu." Lalu dia menghampiri
pencuri itu: "Kurang ajar, siapa kau dan ada apa ini?" Si pencuri berkata:
"Shalat dulu, baru bicara. Ayo pergilah berwudhu' lalu shalat bersama. Tuan
rumah-lah yang berhak jadi imam".
Karena khawatir pencuri itu membawa
senjata si tuan rumah menuruti kehendaknya. Tetapi -wallahu a'lam- bagaimana dia
bisa shalat. Selesai shalat dia bertanya: "Sekarang, coba ceritakan, siapa kau
dan apa urusanmu?" Dia menjawab: "Saya ini pencuri". "Lalu apa yang kau per-buat
dengan buku-buku catatanku itu?", tanya tuan rumah lagi. Si pencuri menjawab:
"Aku menghitung zakat yang belum kau keluarkan selama enam tahun. Sekarang aku
sudah menghitungnya dan juga sudah aku pisahkan agar kau dapat memberikannya
pada orang yang berhak", Hampir saja tuan rumah itu dibuat gila karena terlalu
ke-heranan. Lalu dia berkata: "Hai, ada apa denganmu sebe-narnya. Apa kau ini
gila?" Mulailah si pencuri itu bercerita dari awal. Dan setelah tuan rumah itu
mendengar ceritanya dan mengetahui ketepatan serta kepandaiannya dalam
menghitung, juga kejujuran kata-katanya, juga mengetahui manfaat zakat, dia
pergi menemui isterinya.
Mereka berdua dikaruniai seorang puteri.
Setelah keduanya berbicara, tuan rumah itu kembali menemui si pencuri, kemudian
berkata: "Bagaimana sekiranya kalau kau aku nikahkan dengan puteriku. Aku akan
angkat engkau menjadi sekre-taris dan juru hitungku. Kau boleh tinggal bersama
ibumu di rumah ini. Kau kujadikan mitra bisnisku." Ia menjawab: "Aku setuju." Di
pagi hari itu pula sang tuan rumah memanggil para saksi untuk acara akad Nikah
Puterinya.
Komentar
Posting Komentar