Tak pernah air melawan qudrat yang ALLAH
ciptakan untuknya, mencari dataran rendah, menjadi semakin kuat ketika dibendung
dan menjadi nyawa kehidupan. Lidah api selalu menjulang dan udara selalu mencari
daerah minimum dari kawasan maksimum, angin pun berhembus. Edaran yang pasti
pada keluarga galaksi, membuat manusia dapat membuat mesin pengukur waktu,
kronometer, menulis sejarah, catatan musim dan penanggalan. Semua bergerak dalam
harmoni yang menakjubkan. Ruh pun – dengan karakternya sebagai ciptaan ALLAH –
menerobos kesulitan mengaktualisasikan dirinya yang klasik saat tarikan
gravitasi ‘bumi jasad’ memberatkan penjelajahannya menembus hambatan dan badai
cakrawala. Kini – di bulan ini – ia jadi begitu ringan, menjelajah ‘langit
ruhani’. Carilah bulan – diluar Ramadlan – saat orang dapat mengkhatamkan
tilawah satu, dua, tiga sampai empat kali dalam sebulan. Carilah momentum saat
orang berdiri lama di malam hari menyelesaikan sebelas atau dua puluh tiga
rakaat. Carilah musim kebajikan saat orang begitu santainya melepaskan ‘ular
harta’ yang membelitnya. Inilah momen yang membuka seluas-luasnya kesempatan ruh
mengeksiskan dirinya dan mendekap erat-erat fitrah dan karakternya.
Marhaban ya Syahra Ramadlan Marhaban Syahra’
Shiyami Marhaban ya Syahra Ramadlan Marhaban Syahra’l Qiyami
Keqariban di Tengah Keghariban
Ahli zaman kini mungkin leluasa menertawakan
muslim badui yang bersahaja, saat ia bertanya: "Ya Rasul ALLAH, dekatkah Tuhan
kita, sehingga saya cukup berbisik saja atau jauhkah Ia sehingga saya harus
berseru kepada-Nya?" Sebagian kita telah begitu ‘canggih’ memperkatakan Tuhan.
Yang lain merasa bebas ketika ‘beban-beban orang bertuhan’ telah mereka
persetankan. Bagaimana rupa hati yang Ia tiada bertahta disana? Betapa miskinnya
anak-anak zaman, saat mereka saling benci dan bantai. Betapa sengsaranya mereka
saat menikmati kebebasan semu; makan, minum, seks, riba, suap, syahwat, dan
seterusnya. padahal mereka masih berpijak di bumi-Nya.
Betapa menyedihkan, kader yang grogi menghadapi
kehidupan dan persoalan, padahal Ia yang memberinya titah untuk menuturkan pesan
suci-Nya. Betapa bodohnya masinis yang telah mendapatkan peta perjalanan, kisah
kawasan rawan, mesin kereta yang luar biasa tangguh dan rambu-rambu yang
sempurna, lalu masih membawa keluar lokonya dari rel, untuk kemudian
menangis-nangis lagi di stasiun berikut, meratapi kekeliruannya. Begitulah
berulang seterusnya.
Semua ayat dari 183-187 surat Al-Baqarah bicara
secara tekstual tentang puasa. Hanya satu ayat yang tidak menyentuhnya secara
tekstual, namun sulit untuk mengeluarkannya dari inti hikmah puasa. "Dan apabila
hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (katakanlah): ‘Sesungguhnya
Aku ini dekat…" (Qs. 2 :185).
Apa yang terjadi pada manusia dengan dada hampa
kekariban ini? Mereka jadi pan-dai tampil dengan wajah tanpa dosa didepan
publik, padahal beberapa meni sebelum atau sesudah tampilan ini mereka menjadi
drakula dan vampir yang haus darah, bukan lagi menjadi nyamuk yang zuhud. Mereka
menjadi lalat yang terjun langsung ke bangkai-bangkai, menjadi babi rakus yang
tak bermalu, atau kera, tukang tiru yang rakus.
Bagaimana mereka menyelesaikan masalah antar
mereka? Bakar rumah, tebang pohon bermil-mil, hancurkan hutan demi kepentingan
pribadi dan keluarga, tawuran antar warga atau anggota lembaga tinggi negara,
bisniskan hukum, jual bangsa kepada bangsa asing dan rentenir dunia. Berjuta pil
pembunuh mengisi kekosongan hati ini. Berapa lagi bayi lahir tanpa status bapak
yang syar’i? Berapa lagi rakyat yang menjadi keledai tunggangan para politisi
bandit?
Berapa banyak lagi ayat-ayat dan pesan
dibacakan sementara hati tetap membatu? Berapa banyak kurban berjatuhan
sementara sesama saudara saling tidak peduli?
Nuzul Qur-an di Hira, Nuzul di Hati
Ketika pertama kali Alqur-an diturunkan, ia
telah menjadi petunjuk untuk seluruh ma-nusia. Ia menjadi petunjuk yang
sesungguhnya bagi mereka yang menjalankan perin-tah-Nya dan meninggalkan
larangan-Nya. Ia benar-benar berguna bagi kaum beriman dan menjadi kerugian bagi
kaum yang zalim. Kelak saatnya orang menyalahkan rambu-rambu, padahal tanpa
rambu-rambu kehidupan menjadi kacau. Ada juga orang berfikir, malam qadar itu
selesai sudah, karena ALLAH menyatakannya dengan Anzalna-hu (kami telah
menurunkannya), tanpa melihat tajam-tajam pada kata tanazzalu’l Ma-laikatu wa’l
Ruhu (pada malam itu turun menurunlah Malaikat dan Ruh), dengan kata kerja
permanen. Bila malam adalah malam, saat matahari terbenam, siapa warga negeri
yang tak menemukan malam; kafirnya dan mukminnya, fasiqnya dan shalihnya,
mu-nafiqnya dan shiddiqnya, Yahudinya dan Nasraninya? Jadi apakah malam itu
malam fisika yang meliput semua orang di kawasan?
Jadi ketika Ramadlan di gua Hira itu malamnya
disebut malam qadar, saat turun sebuah pedoman hidup yang terbaca dan terjaga,
maka betapa bahagianya setiap mukmin yang sadar dengan Nuzulnya Alqur-an di hati
pada malam qadarnya masing-masing, saat jiwa menemukan jati dirinya yang selalu
merindu dan mencari sang Pencipta. Yang tetap terbelenggu selama hayat dikandung
badan, seperti badan pun tak dapat melampiaskan kesenangannya, karena selalu ada
keterbatasan bagi setiap kesenangan. Batas makanan dan minuman yang lezat adalah
kterbatasan perut dan segala yang lahir dari proses tersebut. Batas kesenangan
libido ialah menghilangnya kegembiraan di puncak kesenangan. Batas nikmatnya
dunia ialah ketika ajal tiba-tiba menemukan rambu-rambu: Stop!
Alquran dulu, baru yang lain
Bacalah Alqur-an, ruh yang menghidupkan, sinari
pemahaman dengan sunnah dan perkaya wawasan dengan sirah, niscaya Islam itu
terasa ni’mat, harmoni, mudah, lapang dan serasi. Alqur-an membentuk frame
berfikir. Alqur-an mainstream perjuangan. Nilai-nilainya menjadi tolok ukur
keadilan, kewajaran dan kesesuaian dengan karakter, fitrah dan watak manusia.
Penguasaan outline-nya menghindarkan pandangan parsial juz-i. Penda’wahannya
dengan kelengkapan sunnah yang sederhana, menyentuh dan aksiomatis, akan
memudahkan orang memahami Islam, menjauhkan perselisihan dan menghemat energi
ummat.
Betapa da’wah Alqur-an dengan madrasah tahsin,
tahfiz dan tafhimnya telah membangkitkan kembali semangat keislaman, bahkan di
jantung tempat kelahirannya sendiri. Ahlinya selalu menjadi pelopor jihad di
garis depan, jauh sejak awal sejarah ummat ini bermula. Bila Rasulullah meminta
orang menurunkan jenazah dimintanya yang paling banyak penguasaan Qur-annya.
Bila me-nyusun komposisi pasukan, diletakkannya pasukan yang lebih banyak
hafalannya. Bahkan di masa awal sekali, ‘unjuk rasa’ pertama digelar dengan
pertanyaan ‘Siapa yang berani membacakan surat Arrahman di Ka’bah?’. Dan Ibnu
Mas’ud tampil dengan berani dan tak menyesal atau jera walaupun pingsan dipukuli
musyrikin kota Makkah.
Puasa: Da’wah, tarbiah, jihad dan disiplin
Orang yang tertempa makan (sahur) di saat
enaknya orang tertidur lelap atau berdiri lama malam hari dalam shalat qiyam
Ramadlan setelah siangnya berlapar-haus, atau menahan semua pembatal
lahir-batin, sudah sepantasnya mampu mengatasi masalah-masalah da’wah dan
kehidupannya, tanpa keluhan, keputusasaan atau kepanikan. Mu-suh-musuh ummat
mestinya belajar untuk mengerti bahwa bayi yang dilahirkan di te-ngah badai
takkan gentar menghadapi deru angin. Yang biasa menggenggam api jangan diancam
dengan percikan air. Mereka ummat yang biasa menantang dinginnya air di akhir
malam, lapar dan haus di terik siang.
Mereka terbiasa memburu dan menunggu target
perjuangan, jauh sampai ke akhirat negeri keabadian, dengan kekuatan yakin yang
melebihi kepastian fajar menyingsing. Namun bagaimana mungkin bisa mengajar
orang lain, orang yang tak mampu memahami ajarannya sendiri? "Faqidu’s Syai’ la
Yu’thihi" (Yang tak punya apa-apa tak akan mampu memberi apa-apa).
Wahyu pertama turun di bulan Ramadlan,
pertempuran dan mubadarah (inisiatif) awal di Badar juga di bulan Ramadlan dan
Futuh (kemenangan) juga di bulan Ramadlan. Ini menjadi inspirasi betapa madrasah
Ramadlan telah memproduk begitu banyak alumni unggulan yang izzah-nya membentang
dari masyriq ke maghrib zaman.
Bila mulutmu bergetar dengan ayat-ayat suci dan
hadits-hadits, mulut mereka juga menggetarkan kalimat yang sama. Adapun hati dan
bukti, itu soal besar yg menunggu jawaban serius
Oleh: Ustadz KH Rahmat Abdullah-rahimahullah
Komentar
Posting Komentar