 Di antara makhluk Allah lainnya, manusia merupakan makhluk yang paling 
        istimewa. Kelebihan manusia terletak pada akalnya. Dengan akal, manusia 
        menjadi makhluk yang brilian, mampu mengungguli hewan, tumbuhan dan benda-benda 
        lainnya. Namun demikian, akal terkadang membawa bencana bagi manusia akibat 
        tidak digunakan pada tempatnya. Akal yang keluar dari tugasnya laksana 
        kereta yang keluar dari rel, menjerumuskan manusia ke jurang kesengsaraan. 
        Tulisan ini akan mengungkap secara singkat rel akal tersebut.
Di antara makhluk Allah lainnya, manusia merupakan makhluk yang paling 
        istimewa. Kelebihan manusia terletak pada akalnya. Dengan akal, manusia 
        menjadi makhluk yang brilian, mampu mengungguli hewan, tumbuhan dan benda-benda 
        lainnya. Namun demikian, akal terkadang membawa bencana bagi manusia akibat 
        tidak digunakan pada tempatnya. Akal yang keluar dari tugasnya laksana 
        kereta yang keluar dari rel, menjerumuskan manusia ke jurang kesengsaraan. 
        Tulisan ini akan mengungkap secara singkat rel akal tersebut.
SEKILAS TENTANG AKAL
Secara bahasa : Kata akal berasal dari bahasa arab ‘aqala-ya’qilu-aqlun 
        yang bermakna menahan atau mencegah (al man’u). Dikatakan ‘aqala 
        dawaun bathnahu maknanya obat menahan (mengobati) perutnya. Selanjutnya 
        kata aqal dipakai untuk beberapa arti lain, seperti batu (al hajaru), 
        melarang (an nahyu), diyat (denda) karenaseorang pembunuhaa enggiing unta 
        ke rumah kelurga yang dibunuhnya lalu mengikatnya (ya’qil) disana. 
        Aqal juga dipakai untuk makna hati dan benteng. Namun semua makna ini 
        tak begitu jauh dari makna mencegah. [Lisanul Arab 11/458 dan Al Muhith 
        4/18].
Secara istilah, kata akal dapat dipakai untuk empat makna :
1. Gharizah (instink) yang ada dalam diri manusia. Dengan 
        adanya instink ini, ia bisa memahami dan memikirkan hal-hal disekitarnya.
2. Ilmu-ilmu dharuri, seperti ilmu tentang hal-hal yang 
        mesti ada dan mesti mustahil. Seperti alam mesti ada penciptanya, dst.
3. Ilmu-ilmu ayang didapat dengan penelitian dan berfikir. 
        Seperti dua kali dua sama dengan empat, untuk mengetahui kebenarannya 
        mesti dihitung lebih dulu.
4. Pebuatan sebagai onsekuensi dari ilmu. Karea itu al 
        Ashma’I berkata,” Akal adalah menahan diri dari melakukan hal 
        yang burukdan membatasi jiwa untuk melakukan yang abaikaa saja.” 
        Imam Ashfahani menulis ada seorang yang mensifati seorang Kristen sebagai 
        orang yang berakal, maka pernyataan orang itu dibantah,” Hush, orang 
        yang berakal itu hanya orang yang brtauhid daaaan taat kepada-Nya saja.” 
        [Majmu’ Fatawa 9/287, Al Faqih wal Mutafaqih 2/20, Manhajul Istidalal 
        ‘ala Masailil I’tiqad 1/158-159, Utsman Ali Hasan, Maktabatu 
        ar Rusyd, Riyadh, cet. 2, 1413 H/1993 M ]. 
TEMPAT AKAL
para ulama berbeda pendapat mengenai letak akal dalam diri manusia. Ulama 
        Hanafiyah, Hanabilah dan Mu’tazilah berpendapat akal terletak dalam 
        otak, artaianya di kepala. Dasarnya, apabila seseorang mengalami benturan 
        keras di daerah kepala dan ia mengalami gegar otak, akalnya akan holang. 
        Jugakebiasaan orang arab yang mengatakan oranga yang beraal itu sempurna 
        otaknya, sedang orang ayang lemah akalnya sebagai orang yang rianagn / 
        lemah otaknya. [Syarhu al Kaukab al Munir hal.24-25, Al Qurthubi 1/370].
Para ulama Malikiah dan Syafi’iyah berpendapat akal berada dalam 
        hati manusia. Ini juga menjadi pendapat para dokter tempo dulu, sbagian 
        Hanabilah dan imam Abu alid al Baji. Dalil mereka adalaha firman Allah 
        :”Maka mereka mempunyai hati yang dengannya mereka berakal atau telinga 
        yangb dengannya mereaka mendegar. [Al Hajj :46]. 
Juga perkataan Umar tentang sifat Ibnu Abbas: “Dzaakuam fatal kahul, 
        inna lahu lisanan saulan wa qalaban aqulan.” [ Anak ini cerdas, ia 
        mempunyai lisan yang banyak bertanya dan hati yang berakal. ]
Pendapat yang benar adalah akal itu mempunyai hubungan dengan otak dan 
        hati. Berfikir itu berasal dari otak, sedang keinginan berasal dari hati. 
        Orang yang berkeinginan tak mungkin mempuyai keinginan kecuali setelah 
        memahami apa yang ia inginkan, sedang pemahaman berasal dari otak. [Majmu’ 
        Fatawa 9/304, Manhajul Istidlal 1/162-163]
Islam Menghargai Akal
Islam adalah agama wahyu dan akal. Wahyu mempunyai kedudukan tersendiri, 
        begitu juga akal. Islam menghargai akal dan menempatkannya pada tempat 
        yang layak, sesuai fitrah manusia dan fungsi akal itu sendiri. Bila kita 
        membuka Al Qur’an dan As Sunah, kita akan menemukan betapa tingginya 
        penghargaan Islam terhadap akal. Ini bisa kita runut dari ayat-ayat dan 
        hadits yang menyebutkan :
1. Allah tidak mengajak berbicara kecuali dengan orang-orang yang berakal 
        yang memahami syariat dan dien Allah. Allah berfirman,” Dan sebagai 
        peringatan bagi orang-orang yang berakal.” ( 12 : 111, 29 : 35, 2 
        : 269 ).
2. Beban agama hanya mengenai orang yang mukalaf, yaitu dewasa dan berakal. 
        Rasulullah bersabda,” Pena diangkat atas tiga golongan : orang yang 
        tidur sampai ia bangun, orang gila sampai ia berakal, anak kecil sampai 
        ia baligh.).”
3. Allah mencela orang-orang yang tidak memanfaaatkan akalnya, sebagaimana 
        penyesalan penduduk neraka,” Dan mereka berkata,” Seandainya 
        kami dulu mendengar atau berakal ( memikirkan ) tentulah kami tidak menjadi 
        penduduk neraka Sa’ir ( yang menyala-nyala ).” [ Al-Mulk :10].
4. Allah memuji pekerjaan-pekerjaan akal, yaitu tadabur, tafakur dan 
        lain sebagainya. Allah berfirman,” Apakah mereka tidak mentadaburi 
        Al Qur’an.” [ An-Nisa’ :82]. Juga firman-Nya,” Supaya 
        kalian berfikir.” Juga firman-Nya,” Maka apakah kalian tidak 
        berakal (berfikir)?”.
5. Al Qur’an memuat banyak ayat yang berbicara kepada manusia sesuai 
        akal penalaran dan logika. Allah berfirman,” Kalaulah Al Qur’an 
        itu berasal dari selain Allah tentulah mereka akan mendapati banyak perselisihan 
        dalam Al Qur’an.” [ An- Nisa’ :82]. Juga firman-Nya,” 
        Kalau di langit dan bumi itu ada banyak tuhan tentulah keduanya telah 
        rusak.” Juga firman-Nya,” Apakah mereka diciptakan dari barang 
        yang tidak ada ataukah mereka menciptakan diri mereka sendiri?”
6. Allah mencela taklid buta yang merupakan penghalang bekerjanya akal. 
        Allah berfirman,“ Dan jika dikatakan kepada mereka ikutilah apa yang 
        diturunkan Allah mereka mengatakan,”Kami akan mengikuti apa yang 
        kami dapatkan dari orang-orang tua kami . (apakah mereka akan mengikuti 
        bapak-bapak mereka) sekalipun mereka tidak berakal sedikitpun dan tidak 
        mendapat petunjuk?” [QS. Al Baqarah :170].
7. Allah memuji hamba-Nya yang menggunakan akalnya untuk ecarai dan mengikuti 
        kebenaran. “ Maka berilah kabar gembira hamba-hamba-Ku. Yaitu orang-orang 
        yang mendengarkan perkataan dan mengikuti yang paling baik. Mereka itulah 
        orang-orang yang diberi hidayah Allah dan mereka itulah orang-orang yang 
        berakal.”
8. Allah menunjukkan hal-hal yang menjadi bidang garap pekerjaan akal. 
        Seperti disebutkan dalam ayat,” Apakah mereka tidak melihat langit 
        yang berada di atas mereka, bagaimana Kami membangunnya dan menghiasinya 
        tanpa ada …”[ Qaaf:].
9. Allah menunjukkan hal-hal yang berada diluar jangkauan akal manusia 
        dan akal tidak boleh ikut bermain di dalamnya. Seperti firman Allah,”Mereka 
        bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah,” Ruh itu termasuk urusan 
        Allah saja dan kalian tidak diberi ilmu kecuali sedikit.”
10. Anjuran untuk menggunakan qiyas yang benar. Seperti firman Allah,”Maka 
        ambilah pelajaran wahai orang-orang yang mempunyai bashirah.” [Al 
        Madkhal Li Dirasati al Aqidah al Islamiyah hal. 40-42, Manhaju al Istidlal 
        ‘Ala Masaili al I’tiqad ‘Inda Ahli Sunah wal Jama’ah 
        1/168-173].
KARATERISTIK AKALA SEORANG MUSLIM
Akal adalah potensi. Ia bersifat netral, tergantung kepada siapa yang 
        menggunakannya. Manakala digunakan oleh orang beriman, ia akan menuntunnya 
        kepada keagungan Allah Ta’ala dan kesejahteraan manusia. Namun manakala 
        ia dimanfaatkan oleh orang kafir yang jauh dan lepas dari bimbingan wahyu, 
        akal justru akan menyeret manusia kepada kerusakan dan kesengsaraan. Karena 
        itu Islam menggariskan beberapa karakteristik yang mesti ada agar potensi 
        akal bisa dimanfaatkan untuk kebaikan manusia. 
Dr. Abdus Salam Al Basyuni menyebutkan beberapa karakteristik yang tersebut 
        adalah :
Pertama. Akal muslim. Maknanya akal yang benar-benar tunduk 
        kepada ketentuan Allah Ta’ala. Ia mengerti betul medan mana saja 
        yang harus digeluti dan medan mana yang ia tidak boleh turut campur di 
        dalamnya. Akal muslim berarti akal yang beragama bukan akal seorang atheis. 
        Dalam medan yang dilarang bergerak, ia berhenti dan menyerahkan diri sepenuhnya 
        kepada nash secara sempurna karena ia menyadari memang ada medan yang 
        di luar kemampuan dan jangkauannya. Setelah meneliti, akal menyadari bahwa 
        syar’I tak mungkin memerintahkan hal yang membawa kemudharatan bagi 
        manusia. Akal menyadari antara hati dan akal beredar di orbit yang sama, 
        tak mungkin keduanya bertabrakan atau saling menghancurkan. Akal dan hati 
        laksana bulan dan planet. Akal mengikuti hati yang dibimbing wahyu, sebagaimana 
        bulan beredar mengelilingi planet. 
Dalam medan yang diperbolehkan, akal bekerja mengerahkan segenap kemampuannya 
        untuk berdaya upaya bagi kesejahteraan manusia, dengan satu syarat tidak 
        keluar atau menentang wahyu. Dalam medan ayang dibolehkan bergerak inilah, 
        akal benar-benar bermanfaaat melahirkan berbagai kemajuan fisik yang memabawa 
        kesejahteraan hiduap manusia. Akal menjadi awal dari perbagai penemuan 
        dan kemajiuan di bidang industri, iptek, kesehatan dan bidang kehidupan 
        lainanya. 
Ustadz Muhammad Qutb menjelaskan hubungan akal dengan wahyu dengan jelas. 
        Kata beliau,” Jadi wahyu dan akal bukanlah dua hal yang seimbang 
        (serupa dan sama). Tapi yang pertama (wahyu) lebih besar dan lebih sempurna 
        dari yang kedua. Yang pertama datang untuk menjadi pokok bagi yang kedua 
        dan mizan (neraca timbangan) untuk menguji konsep dan pemahaman yang kedua 
        (akal) dan membenarkan kekurangan dan penyelewengan yang kedua. Antara 
        keduanaya ---tak diragukan lagi --- memang ada kesesuaian namun atas dasar 
        ini (sama-sama bekeraja demi kemaslahatan manusia namun wahyu mengendalikan 
        dan mengawasi akal---pent), bukan atas dasar menganggap keduanya sebagai 
        dua hal sebanding.” [Khashoishu al Tashawur al Islamy hal. 20, dari 
        Basyuni hal. 27].
Dari sini akal seorang muslim adalah akal ghoibi, dalam artian kata mengimani 
        hal-hal yang ghoib dan mu’jizat-mu’jizat yang telah ditetapkan 
        Alalh sekalipun tak bisa dicerna akal sehat. Hal-hal yang ghaib dan mu’jizat 
        para nabi memang seratus persen dari Allah, karena itu para nabi sendiri 
        mendatangkan mu’jizat itu bukan atas kemauan mereka sendiri, namun 
        sekali lagi atas kehedak Allah sebagaimana disebutkan dalam ayat,” 
        Katakanlah Maha Suci Rabbku. Bukankah aku tak lain hanyalah seorang manusia 
        biasa dan seorang rasul.” [ Al Isra’ :93].
Ini tentu berbeda dengan akal para “ pakar dan cendekiawan muslim 
        ” hari ini yang banyak meragukan wahtu, hal-hal yang ghoib dan mu’jizat 
        para Nabi dengan alasan tak masuk akal. Akal yang demikian ini tentu bukan 
        akal yang sehat, namun akal yang sakit dan teracuni oleh virus-virus pemikiran 
        barat dan kufur.
Kedua. Akal Ushuli Salafy. Artinya akal yang benar-benar 
        mengakui dasar-dasar dan pokok-pokok sumber ajaran Islam :
a) Mengakui dan menagimani Al Qur’an Al Karim, berikut muhkam dan 
        mutasyabihnya, qath’i dilalah dan dhoni’ dialahnya.
b) Menghormati dan berkhidmat kepada sunah nabawiayah, menerima yang 
        sunah yang shahih yang diterima oleh umat setelah diperiksa oleh para 
        pakar hadits melalui qaidah-qaidah musthalah hadits. Akal seorang muslim 
        selalu menerima setiap hadits yang shahih, tanpa membuat dikotomi hadits 
        ahad-hadits mutawatir, hadits masalah hukum-hadits masalah aqidah dst 
        seperti dilakukan oleh kaum Mu’tazilah, yang ditiru para “cendekaiawan 
        gerakan pembaharuan keagamaan” dewasa ini. 
c) Mengakui ijma’ dan mencari hal-hal yang telah menjadi ijma’ 
        para ulama. Manakala suatu masalah telah menjadi ijma’, akal tak 
        boleh mencari-cari celah untuk menemukan pendapat yang lain.
d) Mengakui qiyas shahih sebagai dasar keempat bagi ijtihad. Qiyas yang 
        shahih akan membimbing akal menuju kesesuaian ajaran Islam dengan berbagai 
        perkembangan zaman.
Karena itu akal seorang muslim menolak berbagai pemikiran yang merusak 
        keempat dasar Islam ini. Akal menolak :
a) Orang-orang yang meragukan Al Qur’an baik seluruhnya, sebagiannya 
        atau meski satu huruf sekalipun. Karena itu kita menolak anggapan dan 
        tuduhan bohong yang mengatakan ada mushaf lain selain Al Qur’an yang 
        lebh lengkap seperti pendapat Rafidzah, atau yang mengatakan Al Qur’an 
        adalah kisah fiktif biasa layaknya novel picisan seperti yang dikatakan 
        Thoha Husain dalam buku Al Syi’ru al Jahili’nya atau yang meragukan 
        adanya Ibrahim seperti dikatakan oleh Muhammad Ahmad Khalfullah dalam 
        disertasinya, Al Qashash al Fanni fi al Qur’anil Karim. Sebagaimana 
        kita juga menolak orang-orang yang memasukkan teori-teori impor dari orang 
        kafir untuk memahamai Al Qur’an seperti teori materialistik, sosialisme 
        dst.
b) Kita juga menolak orang-orang yang mengingkari as sunah, yang menyerang 
        dan menghujat manhaj penulisan hadits, para perawi-nya, mukharijnya, kaedah 
        mustholah hadits dst.
c) Kita Juga menolak orang-orang yang hanya menerima sunah bila sesuai 
        dengan kepentinagan mereka, namun menolaknya manakala tidak memberi keuntungan 
        kepada mereka, sebagaimana disebutkan Allah dalam QS. An Nur : 47-50.
d) Kita juga menolak orang-orang yang mengingkari ijma’ secara terus 
        terang atau menolaknya dengan alasan tak mungkin terjadi.
e) Kita Menolak orang-orang yang menolak dan mengingkari qiyas, karena 
        qiyas seperti disebut oleh Imam Al Asnawi adalah dan qoidatu al ijtihad 
        wa al mushil ila al ahkam allati laa hasro laha / kaedah ijtihad dan hal 
        yang menyampaikan kepada hukum yang jauh tak terbatas.
Selain empat dasar ini, akal seorang muslim juga menerapkan kaedah-kaedah 
        yang telah disepakati untuk melakukan ijtihad seperti ushul fiqh, ilmu 
        tentang waqi’, ilmu tentang bahasa arab [Nahwu, Sharaf, Balaghah 
        dll], ilmu tentang asbabun nuzul, nasikh dan mansukh dll. Sebaliknya, 
        kita menolak orang-orang yang memaksakan akal mereka untuk ikut nimbrung 
        – bila tanpa dasar ilmu-ilmu dan syarat ijtihad --- dalam arena ijtihad 
        dengan alasan kajian ulang dan ijtihad serta pembaharuan.
Seperti kita ketahui bersama, memang banyak yang mengkritik sikap berpegang 
        teguh dengan dasar-dasar ajaran Islam ini sebagai sikap jumud, statis, 
        kuno, ketinggalan zaman dan tak mampu menyesuaikan diri dengaperkemabangan 
        zaman. Tuduhan ini selain salah juga mengada-ada. Betapa tidak, tak ada 
        pihak manapun yang tidak memeganag teguh alandasa berpikirnya, sampai 
        orang-orang kafir sekalipun. Lihat saja Eropa. Mereka betul-betul memegangi 
        pendapat dan teori tokoh-tokoh filsafat kuno mereka seperti Plato dan 
        Aristoteles, demikian juga dengan sastrawan seperti skahespear dan tokoh-tokoh 
        lain. Bahkan orang Islam yang kebarat-baratan yang meneriakkan tuduhan 
        tadi ternyata juga bangga dengan budaya kuno Yunani, Romawi, Babilonia, 
        Asyuriah, Qibthiyah dst.
Ketiga. Akal Mubdi’ Mutathowir. Artinya akal yang 
        senantiasa bekerja, menolak kejumudan dan statis, menolak sikap taklid. 
        [QS. Zukhruf :22-24]. Islam memberi kekebasan akal untuk bekerja ---selama 
        bukan dalam masalah mutasyabihat, qath’iyah dam hal-hal ghoib—dengan 
        menggariskan beberapa rambu-rambu utama, sebagaimana disebut oleh Dr.Mahmud 
        Hamdi Zaqzuq dalam bukunya Daurul Islam fi Tathowuri al Fikr al Falsafi:
a) Menolak taqlid buta, tapi harus mempunyai tujuan dan manhaj yang jelas.
b) Memberantas pemikiran khurafat, perdukunan dan sihir yang dibangun 
        di atas dasar dugaan belaka dan kebohongan.
c) Menekankan bahwa masing-masing individu mempunyai tanggung jawab di 
        hadapan Allah, sehingga manusia tak boleh asal ikut-ikutan dengan orang. 
        Di lain pihak, Islam menjadikan hifdhu akal (memelihara akal) termasuk 
        salah satu maqashidu syari’ah, dengan jalan mengharamkan segala hal 
        yang merusak, mengancam, dan mengekang akal sekalipun pelakunya manusia 
        itu sendiri.
d) Dengan aqidah tauhid, Islam membebaskan manusia dari ketakutan kepada 
        kekuasaan atas nama agama menuju keberanian menyuarakan kebenaran sekalipun 
        berisiko. Karena itu Rasulullah menyatakan, termasuk jihad yang paling 
        agung adalah menyuarakan kalimat kebenaran di hadapan penguasa yang dzalim.
e) Dr. Abdu Salam Basyuni menambahkan satu hal lagi, yaitu Islam tidak 
        menyamakan antara seorang mujtahid dengan seorang muqalid, aantara seorang 
        ‘akil (berakal) dengan seorang ghafil (lalai). Islam meninggikan 
        orang-orang yang beriman dan aberamal beberapa derajat di atas orang mukmin 
        biasa. Islam mengharagai ilmu dan menyatakan keutamaannya, seperti selluruh 
        makhluk di alam sampai ikan di lautan ikut memintakan ampun bagi pengajar 
        kebaikan dan keutamaan-keutamaan lain. [Al Aqlaniyah Hidayah am Ghiwayah 
        hal. 38].
Keempat. Akal Bahatsah. Artinya Akal yang mencari dalil 
        dan hujah. Karena itu Islam menantang orang yang selalu berbicara tapi 
        tak pernah berdalil untuk mendatangkan dalil [QS. 2:111, 21:24,27:64]. 
        Inilah manhaj ilmi yang benar, bukan layaknya para paranormal dan “orang 
        pintar” yang membangun persepsi dan mengeluaran penyataan-pernyataan 
        atas dasar dugaan dan bisikan setan, bukan pula atas dasar penindasan 
        dengan menamakan diri wakil Tuhan seperti para pendeta gereja, bukan pula 
        atas dasar teror istilah sebagaimana ditempuh para rasionalist dan orientalis 
        barat hari ini. Akala juga mengakui, dalil yang dipakai harus dalil yang 
        shahih.
Kelima. Akal Hiyadi ( netral ). Artinya menerima kebenaran 
        darimanapun datangnya, karena kebenaran adalah hikmah yang hialang, di 
        manapun kaum muslimin mendapatkannya mereka lebih berahak menerimanya. 
        Tetapi tentunya dengan benteng aqidah shahihah terlebih dahulu. Selain 
        itu, sifat ini juga berarti mengakui kesalahan. Bila pendapatnya salah, 
        ia akan menarik pendapat itu tanpa ada sikap arogansi sedikitpun. Begitu 
        juga bila tidak mengetahui tentang suatu masalah, ia akan jujur mengatakan 
        Laa Adri (tidak tahu), sebagaimana selalu dicontohkan para ulama salaf. 
      
Keenam. Akal Syumuli. Artinya memandang seluruh aspek kehidupan 
        dari kaca mata Islam Akal seorang muslim bukanlah akal yang menerima sebagian 
        wahyu yang sesuai dengan hawa nafsunya namun menolak sebagian wahyu yang 
        bertentangan dengan hawa nafsunya. Akal seorang selalu menerima wahyu 
        secara totalitas, baik sesuai dengan hawa nafsu maupun tidak. Akal seorang 
        muslim juga selalu menyeimabangkan anatara lmu dan amal, amalnya selalu 
        membenarkan ilmunya. 
Akal seorang muslim menganggap Islam itu perpaduan ilmu dan amal. Menganggap 
        Islam sebagai ilmu belaka --- seperti misalnya tulisan Dr Suhair Luthfi 
        dalam bukunya Ru’yatul Islam fi Aal Fikri al Islamy al Mu’ashir 
        ---, selain mengeraskan hati juga akan membawa kepada sekulerisme yang 
        memisahkan Islam sebagai dien dengan Islam sebagai peradaban, kebudayaan 
        dan manhaj hidup, tak ubahnya pahatan arca dan patung pada candi peninggalan 
        orang kuno..
Ketujuh. Akal Marinun, Artinya akal yang bergerak dengan 
        baik antara tsawatib (hal-hal yang baku / qath’i) dan mutaghayirat 
        (hal-hal yang dhani/nisbi/tidak baku). Ada ajaran Islam yang qath’I 
        yang tidak menerima perubahan yaitu pokok-pokok aqidah, ibadah dan akhlak 
        (juga disebut dengan istilah tauqifiyah), namun ada juga ajaran Islam 
        yang bisa berubah sesuai perubahan tempat dan waktu tanpa merubah esensinya, 
        yang disebut dengan istilah masalah mutaghayirat atau mutaghayirat.
Wujud dari sifat ini adalah :
a) Akal yang mengakui bahwa fatwa bisa berubah sesuai perubahan waktu, 
        ruang dan kondisi.
b) Akal yang bergerak antara dhahir nash dan qawaid syar’I yang 
        bersifat kuliyah.
c) Mengambil seluruh nash dalam seluruh masalah baru kemudian menarik 
        kesimpulan. 
Keteguhannya nampak dalam sikap memegang tsawabit dan tauqifiyah, sementara 
        sikap keelastisannya dan kesesuaiannya dengan perkemabangan zaman nampak 
        dalam sikap memegang mutaghayirat dalam beberapa masalah yang berkembang 
        sesuai perkembangan zaman. Dr. Abdu Salam Basyuni menerangkan, hal. 43, 
        memegang teguh tasawabit sama sekali bukan langkah mundur, statis atauapun 
        kuno, namun berarti iqrar waqi’I biadamiyati adamy dan rububiyati 
        rabb (pengakuan realita kemanusiaan manusia dan ketuhanan Rabb (Allah), 
        dan ta’kid ‘ala mahdudiyati al thaqah al mudrikah fi bani Insan 
        (menguatkan/pengakuan atas keterbatasan kemampuan akal].
Karena itu akal seorang muslim mengakui rukun iman yang enam, mengakui 
        tujuan hidup manusia adalah beribadah kepada Allah semata, agama yang 
        benar hanya Islam, rukun iman adalah syarat diterimanya amal, dst. Semua 
        ini tsawabit yang tak boleh dirubah dan tak menerima pengembangan lagi.
Kedelapan. Akal Musta’lin. Artinya akal yang mempunyai kemulaiaan 
        dan harga diri. Akal seorang muslim menolak segala sistem dan ide asing 
        dari luar yang bertentangan dengan Islam. Ia melihat jahiliyah ayanga 
        hari ini mengauasai dunia --- yang memang bukan hikmah yang menjadi barang 
        hilang kaum muslimin -- namun tak terpengaruh dan tak terbuat terkagum-kagum 
        olehnya. Ia tak terkecoh oleh sistem kapitalisme, sosialisme, sekulerisme, 
        demokrasi, dan sistem-sistem jahiliyah lainnya. Setiap istilah yang merupakan 
        produk pemikiran mempunyai sejarah dan ideologi sendiri, seperti sosialisme, 
        materaialisme, kapitalisme, demokrasi, sekulerisasi dst. Akal seorang 
        muslim tidak memasukkan unsur-unsur asing ini untuk mencetak Islam lagi 
        dengan cetakan baru yang tak terdapat di dalamnya sama sekali ajaran Rasulullah. 
        Salafus Sholih telah mencontohkan hal ini, bagaimana Rib’i bin Amir 
        dengan keteguhan sikapnya membuat Rustum dan teatara Persia jatuh mental. 
        Lihat pula Imam Ibnu Tamiyah dan Al Ghazali yang menghantam filsafat Yunani 
        dan Persia yang hari ini menggejala di mana-mana. 
Berapa banyak pakar muslim hari ini yang karena pergaulannya yang rapat 
        dengan ideologi-ideologi kafir ini akhirnya terpesona, tak mampu menolaknya, 
        lalu menerjemahkannya dengan ide-ide yang menghancurkan nash-nash qath’I 
        dan tsawabit, bahkan masih ada yang lebih parah lagi dengan menghantam 
        orang-orang yang berpegang teguh dengan nash-nash qath’I tadi dengan 
        tuduhan kuno, tradisionalis, ekstrim, ortodoks dst, Akhirnya mereka tak 
        memandang lagi Islam sebagai satu-satunya dien yang benar di sisi Allah 
        dan mencari petunjuk selain Islam sebagai sebuah kesesatan dan kekafiran, 
        malah bisa jadi menurut mereka Nasrani dan Yahudi masuk surga dan bahkan 
        surga Firdaus yang tertinggi seperti pendapat Dr. Muhammad Imarah, Fahmi 
        Huwaidi, Dr. Abdul Azizi Kamil dari satu pihak dan Dr. Mahmud Abu Rayah 
        serta Sa’id al Asymawi dari pihak lain. [Al Aqlaniyah Hidayah am 
        Ghiwayah hal. 46]. 
Mereka memperalat ayat tentang shabiah [[QS. Al Baqarah:62] sebagai bukti 
        orang-orang kafir itu masuk surga sekalipun setelah nabi Muhammad diutus 
        asal mereka mempunyai jasa besar bagi kehidupan manusia. Padahal menurut 
        kesepakatan muafasirin seperti Ibnu Jarir Ibnu Katsir, Asy Syaukani, As 
        Suyuthi, Al Qasimi dan Al Qurthubi, maknanya adalah orang Yahudi, Nasarani 
        dan Shabiah yang beriman kepada Nabi Muhammad dan Al Qur’an serta 
        beramal sholih, mereka akan masuk surga. Artinya, itu terjadi setelah 
        mereka masuk Islam lebih dulu.
Suatu saat terjadi dialog antara Mahmud Abu Rayah dengan para ulama Al 
        Azhar. Mahmud Abu Rayah bertanya,” Apa pendapat kalian tentang Thomas 
        Alfa Edison, si penemu lampu pijar ?” Mereka menjawab,” Akan 
        masuk neraka.” Maka Mahmud Abu Rayah menggugat,” Apakah setelah 
        ia menerangi dunia seluruhnya, sampai masjid dan rumah kalian, ia tetap 
        masuk neraka?” Para ulama menjawab,” Ya, sekalipun ia berjasa 
        seperti itu, karena ia tak mengucapkan syahadatain.” Mahmud Abu Rayah 
        menggugat lagi,” Kalau orang-orang dan tokoh-tokoh ternama dunia 
        yang telah mencurahkan hidupnya untuk kesejahteraan umat manusia menurut 
        kalian secara syar’I tak mungkin masuk surga, maka secara akal bukankah 
        mungkin mereka masuk surga dengan rahmat Allah dengan besarnya jasa mereka 
        itu?”
Mirip dengan ini adalah Fahmi Huwaidi yang menulis dalam majalah Al Araby 
        edisi Rabiul Awal 1401 H dengan judul Al muslimun wa al akhorun. Ia menggugat 
        seorang khathib Jum’at yang menyatakan umat Islam sebaik-baik umat 
        yang dikelurkan untuk umat manusia (dinyatakan Allah dalam QS. Ali Imran 
        :110]. dan khathib itu membaca doa yang mendoakan agar orang-orang kafir 
        dicerai beraikan oleh Allah dan dilaknat (doa qunut). Fahmi Huwaidi menulis,” 
        Saya duduk di shaf pertama, dalam masjid dengan karpet halus made in Jerman 
        Barat, dibawah AC made in Amerika, diterangi lampu-lampu made in Hongaria, 
        sementara suara khathib menggaung melalui pengeras suara made in Belanda. 
        Ketika syaikh itu turun dari mimbar, saya segera mendekatinya untuk memegang 
        tangannya yang dibalut kain dari Inggris dan sorban dari sutra Jepang 
        Tangannya dilingkari jam Zodiak made in Swis, sementara di samping mimbar 
        ada sepatu mengkilap hitam made in Italia.” 
Menurut Mahmud Abu Rayah dan Fahmi Huwaidi, kemajuan industri dan teknologi 
        mereka sudah cukup untuk memberi syafa’at bagi orang-orang kafir 
        di hari kiamat nanti. Kalau cara berfikirnya demikian, tentunya istana 
        megah Kisra, filsafat orang-orang Yuani Kuno, tembok besar Cina, Borobudur 
        orang Budha Indonesia, piramide Mesir kuno dst cukup untuk menjamin tiket 
        ke surga, tak peduli mereka berbuat syirik dan kufur. Suatu pemikiran 
        ---yang menurut mereka adil, moderat dan masuk akal --- namun secara aqidah 
        sangat rusak dan menyesatkan.
Mereka lupa Rasululah telah menerangi dunia. Bukan dengan lampu pijar 
        Edison atau filsafat Yunani, namun dengan tauhid, keadilan dan wahyu. 
        Mereka lupa, Yahudi dan Nasrani sendiri mengharamkan surga atas Muhamamd, 
        shahabat dan seluruh orang Islam. Orang Yahudi dan Nasrani sendiri menyatakan 
        surga itu hanya jatah mereka. [lihat QS. Al Baqarah :]. 
MEDAN-MEDAN YANG BUKAN MENJADI RUANG GARAP AKAL
Tidak semua hal bisa dikerajakan oleh akal. Ada beberapa hal yang sama 
        sekali bukan hak akal untuk mengurusinya. Hal-hal itu adalah :
1. Mughayabat (hal-hal yang ghaib).Hal-hal yang ghoib mutlak 
        berdasarkan wahyu, akal sama sekali atak mempunayai kemampuan untuk membicaraka 
        hal itu. Karena itu Rasulullah sendiri mengakui, ilmu tentang ahal-hal 
        ayang ghaib itu ilmu Allah semata, Kewajiban akal adalah mengimaninya.
2. Qath’iyah. Hal-hal yang telah disebutkan dasarnya 
        (nash secara tegas) di dalam Al Qur’an dan As Sunah juga bukan menjadi 
        ruang garap akal. Akal mempunyai kewajiban mengimaninya. Karena itu akal 
        seorang muslim tak akan membantah kenapa sholat Maghrib tiga raka’at, 
        sholat Isya’ empat raka’at sementara sholat shubuh hanya dua 
        aka’at. Ia tak akan membantah kenapa bagian warisan bagi anak laki-laki 
        dua kali lipat bagian anak perempauan, kenapa perempuan dilarang menjadi 
        kepala negara, kenapa jilbab diwajibkan, kenapa perempuan harus bersama 
        mahramnya ketika bepergian, kenapa Islam mensyariatkan jihad padahal jihad 
        membawa konsekuensi hilangnya nyawa dan rusaknya harta benda, dan kenapa-kenapa 
        lainnya dengan tujuan untuk membantah dan menolak direalisasikannya nash-nash 
        yang qath’i ini dalam realiata kehidupan. Betapa banyak para tokohcendekiawan 
        gerakan pembaharuan yang menghujat nash-nash ini dengan alasan yang mereka 
        buat, tak sesuai dengan kondisi umat abad 21, kuno, kejam dan melanggar 
        HAM dan alasan lain yang didiktekan oleh guru-guru besar mereka para profesor 
        di Barat. 
3. Arkan (rukun-rukun). Rukun iman yang enam, rukun Islam 
        yang lima tak bisa diutak-atik dengan akal. Semuanya sudah ditetapkan 
        Allah, harus diimani dan dilaksanakan dengan penuh kerelaan. Hari ini 
        banyak sekali para cendekiawan dengan mengatas namakan gerakan pembaharuan 
        merusak dan menghancurkan rukun-rukaun yang paten ini. Dr. Husain Ahmad 
        Amin --- diikuti Dr. Harun Nasution di Indonesia --- menulis dalam buku-bukunya 
        sikapanya yang menolak iman kepada takdir dengan alasan hal itu adalah 
        aqidah orang badui (suku terpencil/terasing/primitif). Ia menulis,” 
        Kehidupan orang-orang badui bersandar hampir secara totalitas kepada air 
        dan rumput Mereka mendapati hujan itu keselamatan sedang kekeringan itu 
        kehancuran.. keduanya sama sekali bukan dari usahanya, ia tak punya kemampuan 
        untuk itu (mendatangkan hujan dan rumput)…Inilah aqidah badui...yang 
        berpindah ke dalam Islam setelah ide tentang Allah menempati ide tentang 
        daharu (perjalanan waktu adalah pengatur segala yang ada di alam semesta). 
        {Asatirul Mu’ashirin hal. 144, dari Basyuni hal. 64]. Dengan nama 
        pembaruan yang sebenarnya atak lain adalah ide-ide kafir, kita dipaksa 
        untuk menghalalkan yang haram, mengharamkan yanga halal, membuang nash-nash 
        qath’I. [lihat QS.6;27-30].
 Mutasyabihat. Mutasyabihat maknanya ayat-ayat yang hanya Allah saja 
        yang mengetahui maknanya, seperti rahasia alam ghaib, surga dan neraka, 
        waktu terjadinya kiamat dan lain sbagaianya. Termasuk ayat mutasyabihat 
        adalah ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan 
        arti mana yang dimaksud kecuali setelah diselidiki secara mendalam. [lihat 
        Mabahits fi Ulumil Qur’an, Manna’ Qathan hal…]. Dalam ayata-ayat 
        seperti ini, akal sama sekali tidak boleh berijtihad. Akal harus menerima 
        wahyu dengan sepenuh hati, tanpa membantah sedikitpun. Akal orang-orang 
        yang berilmu menalam akan menyatakan,”Kami mengimaninya, semuanya 
        itu dari sisi Rabb Kami.” [QS. Ali Imran :7]. 
4. Dzat Allah Ta’ala. Dzat Allah bukan termasuk ahal 
        yang menjadi bidang garap amal. Karena itu, Islam mengajarkan sikap yang 
        benar adalah menetapkan setiap nash yang menyatakan nama dan sifat Allah, 
        tanpa melakukan ta’wil (mencari makna selain makna yang dhahir dari 
        nash tersebut) , tasybih (penyerupaan) maupun ta’thil (meniadakan 
        dan tidak mengakui). Hal ini bukan untuk membatasi akal, namun sebagai 
        sikap mengakui ketidak sempurnaan akal. 
Telah terbukti berbagai sikap mengutak-atik dzat, asma’ dan sifat 
        Allah inia, baik lewat ta’thil, ta’wil maupun tasybih, banyak 
        sekali mengambil sumbernya dari dunia barat. kita lihat misalnya Julian 
        Kekseley dalam Man in The Modern Word yang berkata,” Manusia telah 
        tunduk kepada tuhan karena kelemahan dan kebodohannya, sekarang manusia 
        telah belajar dan menguasai lingkungan maka telah tiba waktunya baginya 
        untuk melemparkan tanggung jawab di pundaknya yang dulu ia terima saat 
        ia masih bodoh dan lemah ke pundak Allah. Dengan demikian dia menjadi 
        tuhan.” [Madzahib Fikriyah Mu’ashirah hal.631]..Terbukti sikap 
        Mu’tazilah, Mutasyabihah, sufi dan sekte-sekte sesat lain dalam masalah 
        ini banyak mengambil apemikairan Hindu, Budha, Kristen ataupun kepercayaan 
        Yunani kuno.
5. Hakimiyah. Hak membuat UU di tangan Allah merupakan 
        salah satu pokok aqidah yang tidak bisa ditawar lagi. Akal manusia tak 
        bisa membantahnya, karena Allah yang menciptakan alam semesta, Allah pula 
        yanga mampu menentukan aturan yang cocok sejak awal penciptaan sampai 
        hari kiamat nanti. Dengan demikian, tathbiaqus syariah merupakan pengakuan 
        akan keterbatasan akal manusia, sekaligus pengakuan rububiyah dan uluhiyah 
        Allah. Namun sebagian umat Islam yang terkontaminasi budaya dan peradaban 
        Barat mulai menggugat aqidah ini. Mereka mulai menjadikan demokrasi sebagai 
        alternatif tunggal kehidupan bernegara mereka. Lewat nabi baru, Montesquie 
        yang membawa “ wahyu “ Trias Politika dan John Jacques Rosseau 
        dengan “Teori Kontrak Sosial”nya, mereka merampas hak rububiyah 
        dan uluahiyah Allah dalam masalah tasyri’ ini dan mempersembahkannaya 
        kepada wakil rakyat. Jadilah DPR/MPR tuhan-tuahan baru yang disembah jutaan 
        umat manusia. Sebaliknya, ajakan menerapkan syariah Islam yang berarti 
        menemapatkan akal pada proporsi sebenarnya malah dikatakan sebagai sikap 
        primitif dan kemunduran. Tak heran bila slogan Faraj Faudah dalam pemilihan 
        Umum di Mesir adalah “Laa Li tathbiqi syari’ah Al Islamiyah. 
        .” [tidak untuk penerapan syariah Islam]. 
JADI APA FUNGSI AKAL?
Ibnu Taimiyah berkata,” ..Aka ladalah syarat untuk mengetahui ilmu-ilmu 
        dan sempurna serta baiknya pekerjaan. Dengannya ilmu dan amalan menjadi 
        sempurna, namun ia tidak berdiri sendiri, ia hanyalah instink dalam jiwa 
        dan kekuatan (potensi) dalam jiwa. Kedudukannya bagaikan kekuatan memandang 
        dalam mata. Jika ia bertemu dengan cahaya iman dan Al qur’an maka 
        ia bagaikan cahaya mata jika bertemu dengan cahaya matahari dan api. Namun 
        kala akal sendirian, ia tak akan bisa melihat apa yang ia tak sanggup 
        meraihnya. Jika tak ada secara keseluruhan (iman,Al Qur’an dan akal), 
        seluruh perkataan dan perbuatan menjadi umuran hayawaniyah (nafsu kebinatangan 
        semata), kadang ada rasa cinta, perasaan dan rindu seperti dalam diri 
        binatang. Tanpa adanya akal, manusia kurang, sedang perkataan yang bertentangan 
        dengan akal adalah batil..” [Majmu’ Fatawa 3/338-39].
KERETA KELUAR DARI RELNYA
Seperti telah disebutkan di muka, kerusakan yang ditimbulkan oleh sikap 
        pemberontakan akal dari kudratnya sangatlah besar. Ibarat kereta, akal 
        telah kelauar dari relnya. 
Dr. Abdullah Abdul Muhsin At Turki dan Syu’aib al Arnauth brakata,” 
        Akal adalah salah satu wasilah yang terbatas dari sekian wasilah untuk 
        mencapai pengetahuan. Akal tak bisa mengetahui selain hal-hal yang terindrai 
        secara yakin, dan bisa mengetahui hal-hal ghaib secara tashawur (pemahaman) 
        saja, bukan secara yakin. Ahlu sunah beriman dengan cara mengitsbatkan 
        apa yang dikhabarkan oleh nash tentang hal-hal ghaib dan membenarkannya, 
        tanpa membahas lagi kaifiyahnya karena hal itu bukan kemampauan akal.” 
        [Syarhu Aqidah Thahawiyah hal. 25, Dar Alamil Kutub cet. 3, 1418 /1997M].
Ibnu Khaldun dalam Muqadimahnya hal. 364-365 berkata,” Hanya saja 
        anda jangan berambisi menimbang dengan akal masalah tauhid, akhirat, hakekat 
        nubuwah, hakekat sifat-sifat Ilahiyah dan setiap hal yang diluar kemampuannya, 
        karena berarti ambisi yang mustahil. Permisalannya bagaikan seorang melihat 
        timbangan emas, lalu berambisi menimbang gunung-gunung dengan timbangan 
        itu. Bukannya timbangannya yang tak benar, namun akalnya yang tak mampu..” 
        [Syarhu Aqidah Thahawiyah hal. 26 ].
Imam as Sarhandi mengatakan,” Sesungguhnya hal nubuawah tu berada 
        di balik (kemampuan) akal dan pikiran. Hal-hal yang akal tak mampu memahaminya 
        /mengetahuinya, maka nubuawah datang untuk menetapkan dan menegaskannya. 
        Kalau dengan akal saja sudah cukup, tentulah tak diutus para nabi dan 
        tentulah adzab akhirat tak perlu dikaitkan dengan pengutusan mereka, (Padahal 
        Allah berfirman),“ Dan tidaklah Kami mengadzab sampai Kami mengutus 
        rasul.” Akal memang menjadi hujah, namun bukan hujah yang sempurna. 
        Hujah akal tidakalah sempurna, hujah yang sempurna hanya terealisasi dengan 
        diutusnya para nabi dan rasul yang memutuskan (membantah) lisan (alasan-alasan 
        yang dicari-cari oleh) para mukalaf dan membatalkan alasan-alasan mereka. 
        Allah berfirman,” Para rasul…4:1..]. Karena akal tak mampu menangani 
        beberapa masalah, maka tidak pada tempatnya bila seluruh hukum syar’I 
        dtimbang dengn timbangan akal. Sesungguhnya usaha menyesuaikan antara 
        akal dengan hukum-hukum syar’i secara terus menerus dan mewajibakan 
        hal itu dan mengikatkan diri dengan hal itu berarti menghukumi bahwa akal 
        saja sudah cukup dan sempurna dan mengingkari nubuwah. Naudzu Billahi 
        min dzalika.” [ibid, hal.26].
REFERENSI :
1. Al Madkhal Li Dirasati al Aqidah al Islamiyah hal. 40-42
2. Manhaju al Istidlal ‘Ala Masaili al I’tiqad ‘Inda Ahli 
        Sunah wal Jama’ah 1/…].
3. Syarhu Aqidah al Thahawiyah, Ibnu Abil Izz Al Hanafy, Dar Alamil Kutub 
        cet. 3, 1418 /1997M.
4. Al Ilmu Ushuluhu wa Mashadiruhu wa Manahijuhu hal. 29-31,Muhammad 
        Abdullah Ibrahim al Khur’an, Darul Wathan, Riyadh, cet. 1,1412 h.
5. Al Aqlaniyah Hidayah Am Ghiwayah 
Komentar
Posting Komentar