Orang Muslim karena imannya tidak mencintai ketika ia harus mencintai melainkan karena Allah Ta‘ala, dan tidak membenci ketika ia harus membenci melainkan karena Allah Ta‘ala, karena ia tidak mencintai kecuali apa yang dicintai Allah Ta‘ala dan Rasul-Nya, dan ia tidak membenci kecuali apa yang dibenci Allah Ta‘ala dan Rasul-Nya. Jadi, orang Muslim mencintai karena Allah dan Rasul-Nya, dan membenci karena keduanya. Dalilnya ialah sabda Rasulullah saw.,
"Barangsiapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan menahan pemberian karena Allah, sungguh ía telah rnenyempurnakan imannya." (Diriwayatkan Abu Daud).
Berangkat dan perspektif inilah, orang Muslim mencintai seluruh hamba-hamba Allah Ta‘ala yang shalih, ia berikan loyalitasnya kepada mereka, membenci seluruh hamba-hamba-Nya yang fasik, dan memusuhi mereka. Ini tidak menghalangi orang Muslim untuk menjadikan sahabat-sahabatnya sebagai saudara-saudara karena Allah, dan ia beri cinta khusus kepada mereka, sebab Rasulullah saw. menganjurkan menjadikan teman-teman yang baik sebagai saudara-saudara karena Allah Ta‘ala dengan sabda-sabdanya, seperti sabda-sabdanya berikut ini:
Sabda Rasulullah saw.,
"Orang Mukmin itu jinak dan bisa dijinakkan. Tidak ada kebaikan pada orang yang tidak jinak, dan tidak bisa dijinakkan." (Diriwayatkan Ahmad, Ath-Thabrani, dan Al-Hakim yang meng-shahih-kannya).
Syarat ukhuwwah (persaudaraan) ialah harus karena Allah Ta‘ala, dan di jalan-Nya, dalam arti kata, bersih dari ikatan-ikatan dunia dan materi, serta motivasinya ialah iman kepada Allah Ta ‘ala, dan bukan yang lain.
Adapun ciri-ciri orang yang harus dijadikan sebagai saudara ialah sebagai berikut:
1. Ia berakal, karena tidak baik bersaudara, atau bersahabat dengan orang yang kurang waras.
2. Ia berakhlak mulia, sebab orang yang amoral kendati ia berakal, namun bisa saja ia dikalahkan syahwat, dan emosi mendominasinya, akibatnya ia berbuat jahat kepada orang lain.
3. Ia bertakwa, karena orang fasik yang tidak taat kepada Tuhannya itu tidak bisa dipercaya, sebab tidak tertutup kemungkinan ia berbuat jahat terhadap saudara tanpa memperdulikan persaudaraan, dan lain sebagainya, karena orang yang tidak takut Allah Ta ‘ala itu tidak takut kepada selain Allah dalam kondisi apa pun.
4. Ia berpegang teguh kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah, jauh dari khurafat, dan bid'ah. Salah seorang dan orang-orang shalih menasihati anaknya untuk menyeleksi teman-temannya, "Anakku, jika engkau ingin bergaul dengan orang-orang, maka bergaullah dengan orang yang jika engkau mengabdi kepadanya maka ia melindungimu, jika engkau bergaul dengannya maka ia menghiasimu, dan jika perbekalanmu habis maka dia memberikan perbekalan kepadamu. Bergaullah dengan orang yang jika engkau menyodorkan tanganmu dengan kebaikan maka ia juga menyodorkan tangannya, jika ia melihat kebaikan padamu maka ia menghitungnya, dan jika ia melihat kesalahan padamu maka ia menutupnya. Bergaullah dengan orang yang jika engkau meminta kepadanya maka ia memberi apa yang engkau minta. Bergaullah dengan orang yang jika engkau berkata maka ia membenarkan ucapanmu, jika engkau berdua ingin mendapatkan sesuatu maka ia mengangkatmu sebagai ketua, dan jika engkau berdua memperebutkan sesuatu maka ia mengutamakanmu."
Hak-hak Ukhuwah (Persaudaraan)
Di antara hak-hak ukhuwah (persaudaraan) ialah sebagai berikut:
1. Membantu dengan dana.
Diriwayatkan Abu Hurairah ra bahwa ia didatangi seseorang yang kemudian berkata, "Aku ingin bersaudara denganmu karena Allah, tahukah engkau apa hak persaudaraan?" Abu Hurairah berkata, "Tolong jelaskah hak persaudaraan kepadaku." Orang tersebut berkata, "Engkau tidak merasa lebih berhak atas dinarmu, dan dirhammu daripada aku." Abu Hurairah berkata, "Aku belum bisa sampai pada tingkatan itu." Orang tersebut berkata, "Kalau begitu, pergilah engkau dari sini."
2. Mengutamakan saudaranya daripada dirinya sendiri
Memeriksa kondisi saudaranya sebagaimana ia memeriksa kondisi dirinya, lebih mengutamakan saudaranya daripada dirinya sendiri atau keluarganya atau anak-anaknya, menanyakannya dalam setiap tiga hari. Jika saudaranya sakit maka ia menjenguknya, jika saudaranya mengalami kesulitan maka ia membantu meringankannya, jika saudaranya lupa maka ia mengingatkannya, menyambutnya dengan hangat jika saudaranya mendekat, memberi tempat yang luas jika saudaranya ingin duduk, dan mendengarkan dengan senius jika saudaranya berbicara.
3. Menjaga lisan dengan tidak membeberkan aib saudaranya baik sepengetahuan maupun tanpa sepengetahuannya, tidak membongkar rahasianya, dan tidak berusaha mengetahui rahasia-rahasia diri saudaranya. Jika ia melihat saudaranya di salah satu jalan untuk satu kebutuhan, maka ia tidak menyuruhnya menyebutkan kebutuhannya tersebut, dan tidak berusaha mengetahui sumbernya. Ia menyuruhnya kepada kebaikan dengan lemah-lembut, melarangnya dari kemungkaran dengan lemah-lembut, tidak membantah ucapannya, tidak mendebatnya dengan kebenaran atau kebatilan, tidak mengecamnya dalam satu urusan pun, dan tidak menyalahkan perbuatannya.
4. Memberi sesuatu yang dicintai saudaranya dan lisannya dengan memanggilnya dengan nama yang paling ia sukai, menyebutkan kebaikannya tanpa sepengetahuannya atau di depannya, menyampaikan pujian orang kepadanya sebagai bentuk keiriannya kepadanya dan kebahagiaannya dengannya, tidak menasihati berjam-jam hingga membuatnya gerah, dan tidak menasihati di depan umum karena hal mi mencemarkan nama baiknya. Imam Syafi'i Rahimahullah berkata, "Barangsiapa menasihati saudaranya secara rahasia, sungguh ia telah menasihatinya dengan baik, dan menghiasinya. Dan barangsiapa menasihati saudaranya dengan terang-terangan, sungguh ia telah mencemarkan nama baiknya."
5. Memaafkan kesalahannya, tidak mengambil pusing dengan kekeliruan-kekeliruannya, menutup aib-aibnya, berbaik sangka kepadanya, jika saudaranya berbuat maksiat dengan diam-diam atau terang terangan maka ia tidak memutus persaudaraan dengannya, tidak membatalkan persaudaraannya, namun ia tetap menunggu taubatnya. Jika saudaranya tetap bertahan berbuat maksiat, ia boleh memutus persaudaraan dengannya, atau tetap mempertahankan persaudaraan dengannya dengan memberikan nasihat kepadanya, dan terus mengingatkannya dengan harapan saudaranya bertaubat, kemudian Allah Ta‘ala menerima taubatnya. Abu Ad-Darda' ra berkata, "Jika saudaramu berubah, maka engkau jangan meninggalkannya karena hal tersebut, karena saudaramu itu terkadang menyimpang, namun pada kesempatan lain ia berada di atas jalan yang lurus."
6. Menguatkannya dan mempertahankan perjanjiannya. Jika ia meninggal dunia, ia melanjutkan hubungan ukhuwwah ini kepada anak-anaknya, dan sahabat-sahabat yang setia kepadanya. Rasulullah saw. memuliakan wanita tua, kemudian beliau ditanya tentang sikapnya tersebut, maka beliau bersabda, "Sesungguhnya wanita tua ini dulu sering datang kepada kami semasa Khadijah masih hidup, dan sesungguhnya memuliakan janji adalah bagian dan agama." (Diriwayatkan Al-Hakim dan ia men-shahih-kan hadits ini).
7. Tidak menyuruh saudaranya dengan sesuatu yang tidak mampu ia kerjakan, dan tidak ia senangi. Ia tidak boleh bergantung dengan harta atau jabatan saudaranya, dan tidak menyuruhnya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan. Ia bersama saudaranya harus membuang sikap pembebanan yang tidak proporsional, karena cara seperti itu menghasilkan sikap ceroboh yang bertentangan dengan persatuan. Disebutkan dalam atsar, "Aku, dan orang-orang bertakwa dan umat berlepas diri dari pembebanan yang tidak proporsional."
8. Mendoakan saudaranya. Anak-anaknya, dan apa saja yang terkait dengannya sebagaimana ia senang mendoakan dirinya, anak-anak kandungnya, dan apa saja yang terkait dengannya, baik dalam keadaan hidup, atau mati, atau tidak ada di tempat, atau berada di tempat. Rasulullah saw. bersabda,
"Jika seseorang mendoakan saudaranya tanpa sepengetahuannya, maka malaikat berkata, ‘Engkau juga mendapatkannya'." (Diriwayatkan Muslim).
Salah seorang dari orang-orang shalih berkata, "Mana perumpamaan seorang saudara yang shalih? Jika salah satu keluarga seseorang meninggal dunia, maka keluarganya pasti membagi-bagi warisannya, dan mereka menikmati harta peninggalannya. Sedang saudaranya yang shalih, ia berduka sendirian, memikirkan apa yang telah dipersembahkan saudaranya kepadanya, mendoakannya di kegelapan malam, dan memintakan ampunan untuknya sementara ia berada di bawah bintang-bintang."
Sumber: Diadaptasi dari Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhaajul Muslim, atau Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim
Komentar
Posting Komentar