Islam telah meletakkan sendi-sendi adab yang tinggi bagi seorang  muslim yang berjalan diatas manhaj Sunnah, dalam pergaulannya bersama  saudara-saudaranya ketika berselisih faham dengan mereka dalam  masalah-masalah ijtihadiyah. Cukuplah kiranya, sabda Nabi Shallallahu  'alaihi wa sallam, pembawa rahmat dan petunjuk.
"Artinya :  Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq-akhlaq yang mulia".  [Diriwayatkan oleh Imam Bukharidan Imam Ahmad]
Di antara adab-adab itu ialah :
1.  Lapang Dada Menerima Kritik Yang Sampai Kepada Anda Untuk Membetulkan  Kesalahan, Dan Hendaklah Anda Ketahui Bahwa Ini Adalah Nasehat Yang  Dihadiahkan Oleh Saudara Seiman Anda.
Ketahuilah ! Bahwa  penolakan anda terhadap kebenaran dan kemarahan anda karena pembelaan  terhadap diri adalah kesombongan -A'aadzanallah. Nabi Shallallahu  'alaihi wa sallam telah bersabda.
"Artinya : Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain". [H.R. Muslim]
Banyak sekali contoh sekitar adab yang mulia ini yang telah dijelaskan oleh para salafus shalih, diantaranya adalah :
Kisah  yang diceritakan oleh al-Hafizh Ibnu Abdil Bar, beliau berkata :  "Banyak orang telah membawa berita kepada saya, berasal dari Abu  Muhammad Qasim bin Ashbagh, dia berkata : "Ketika saya melakukan  perjalanan ke daerah timur, saya singgah di Qairawan. Disana saya  mempelajari hadits Musaddad dari Bakr bin Hammad. Kemudian saya  melakukan perjalanan ke Baghdad dan saya temui banyak orang (Ulama)  disana. Ketika saya pergi (dari Baghdad), saya kembali lagi kepada Bakr  bin Hammad (di Qairawan-red) untuk menyempurnakan belajar hadits  Musaddad.
Suatu hari saya membacakan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dihadapan beliau (untuk mempelajarinya) :
"Artinya : Sungguh telah datang satu kaum dari Muldar yang (Mujtaabin Nimar)"
Beliau  (Bakr bin Hammad) berkata kepadaku "Sesungguhnya yang benar adalah  Mujtabits Tsimar. Aku katakan padanya Mujtaabin Nimar, demikianlah aku  membacanya setiap kali aku membacakannya di hadapan setiap orang yang  aku temui di Andalusia dan Irak"
Beliau berkata kepadaku :  "Karena engkau pergi ke Irak, maka kini engkau (berani) menentang aku  dan menyombongkan diri dihadapanku ?" Kemudian dia berkata kepadaku  (lagi) : "Ayolah kita bersama-sama bertanya kepada syaikh itu (menunjuk  seorang syaikh yang berada di Masjid), dia punya ilmu dalam hal seperti  ini"
Kami pun pergi ke syaikh tersebut dan kami menanyainya tentang hal ini.
Beliau  berkata : "Sesungguhnya yang benar adalah [Mujtaabin Nimar]" seperti  yang aku baca. Artinya adalah : Orang-orang yang memakai pakaian, bagian  depannya terbelah, kerah bajunya ada di depan. Nimar adalah bentuk  jama' dari Namrah. Bakr bin Hammad berkata sambil memegangi hidungnya :  "Aku tunduk kepada al-haq, aku tunduk kepada al-haq !" lalu ia pergi.  [Mukhtasyar Jaami' Bayanil Ilmi wa Fadlihi, hal.123 yang diringkas oleh  Syaikh Ahmad bin Umar al-Mahmashaani]
Saudaraku, cobalah  anda perhatikan, betapa  menakjubkan sikap Adil ini. Alangkah perlunya kita pada sikap adil  seperti sekarang ! Akan tetapi mana mungkin hal itu terjadi kecuali bagi  orang yang ikhlas niatnya karena Allah Subhanahu wa Ta'ala. Inilah dia  Imam Malik rahimahullah pernah berkata : "Tidak  ada sesuatupun yang lebih sedikit pada  zaman sekarang ini dibandingkan sifat adil". 
2. Hendaklah Memilih Ucapan Yang Terbaik Dan Terbagus Dalam Berdiskusi Dengan Sesama Saudara Muslim.
Allah berfirman.
"Artinya : Serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia" [Al-Baqarah : 83]
Dari Abu Darda' Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
 "Artinya  : Tidak ada sesuatupun yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin  pada hari kiamat dibanding akhlaq yang baik, dan sesungguhnya Allah  murka kepada orang yang keji dan jelek (akhlaqnya)". [Hadits Riwayat  Tirmidzi).
3. Hendaklah Diskusi Yang Dilakukan Terhadap  Saudara Sesama Muslim, Dengan Cara-Cara Yang Bagus Untuk Menuju Suatu  Yang Lebih Lurus.
Yang menjadi motif dalam berdiskusi  hendaklah kebenaran, bukan untuk membela hawa nafsu yang sering  memerintahkan pada kejelekan. Akhlak anda ketika berbicara terletak pada  keikhlasan anda. Jika diskusi sampai ketingkat adu  mulut, maka katakanlah : "salaam/selamat berpisah !" dan bacakanlah  kepadanya sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya :  Saya adalah pemimpin di sebuah rumah di pelataran sorga bagi orang yang  meninggalkan adu mulut meskipun ia benar" [H.R.Abu Daud]
Al-Hafizh Ibnu Abdil Bar menyebutkan  dari Zakaria bin Yahya yang berkata : "Saya telah mendengar Al-Ashma'i  berkata : "Abdullah bin Hasan berkata : Adu mulut akan merusak  persahabatan yang lama, dan mencerai beraikan ikatan (persaudaraan) yang  kuat, minimal (adu mulut) akan menjadikan mughalabah (keinginan untuk  saling mengalahkan) dan mughalabah adalah sebab terkuat putusnya ikatan  persaudaraan.
Dari Ja'far bin Auf, dia berkata : saya mendengar Mis'ar berkata kepada Kidam, anaknya :
Kuhadiahkan buatmu wahai Kidam nasihatku
Dengarlah perkataan bapak yang menyayangimu
Adapun senda gurau dan adu mulut, tinggalkanlah keduanya
Dia adalah dua akhlak yang tak kusuka dimiliki teman
Ku pernah tertimpa keduanya lalu akupun tak menyukainya
Untuk tetangga dekat ataupun buat teman
Para  salaf shalih telah membuat permisalan cerdas tentang  etika ikhtilaf (perselisihan pendapat), diantaranya adalah :
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Hushain bin Abdurrahman, dia berkata :
"Saya berada di tempat Said bin Jubair, lalu ia berkata : "Siapakah diantara kalian yang melihat bintang jatuh tadi malam ?
Saya jawab : "Saya, tetapi ketahuilah bahwa saya tidak dalam keadaan shalat, saya kena sengat binatang berbisa!".
Sa'id bertanya : "Apa yang kau perbuat ?"
Saya menjawab : "Saya melakukan ruqyah (baca-bacaan sebagai obat)"
Said bertanya : "(Dalil) apakah yang membawamu untuk melakukan itu ?"
Saya jawab : "Sebuah hadits yang diceritakan kepada kami oleh As-Sya'bi".
Sa'id berkata :"Apa yang diceritakan Asy-Sya'bi kepadamu ?"
Saya jawab : "Dia bercerita kepada kami dari Buraidah bin Al-Hushain bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Tidak ada ruqyah kecuali (pada penyakit yang timbul) dari mata (orang yang dengki) dan bisa (racun) hewan"
Dia  berkata : "Sungguh bagus orang yang berpedoman pada riwayat yang  ia dengar, akan tetapi Ibnu Abbas menceritakan kepada kami bahwa  .....(sampai akhir hadits)"
Perhatikanlah adab mulia yang  dimiliki pewaris ilmunya Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu ini, ia tidak  memaki Hushain bin Abdurrahman (orang yang berselisih dengannya), bahkan  menganggapnya baik karena Hushain mengamalkan dalil yang ia ketahui.  Kemudian baru setelah itu. Sa'id bin Jubair menjelaskan hal yang lebih  utama (untuk dilakukan) dengan cara yang lembut dan dikuatkan dengan  dalil.
Akhirnya melalui hadits ini kita dapat mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut.
1.  Ikhtilaf, meskipun ia sudah menjadi perkara yang ditakdirkan oleh Allah  akan tetapi wajib bagi kita untuk menjauhinya dan tidak punya keinginan  untuk berikhtilaf pada suatu yag boleh selama kita masih ada jalan  untuk menghindarinya.
2. Perkara-perkara yang  diperbolehkan ijtihad padanya, memiliki beberapa syarat dan  ketentuan-ketentuan yang diatur oleh ilmu dan keikhlasan bukan diatur  oleh perkiraan dan kemauan hawa nafsu.
3. Ahlu Sunnah  memiliki manhaj dalam memahami ikhtilaf yang diambil dari Al-Qur'an dan  Sunnah. Diantara adab-adabnya adalah mengikuti akhlak para salaf shalih  dalam pergaulan dengan sesama mereka ketika terjadi ikhtilaf.
4. Tidak boleh bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir  untuk menuduh saudaranya memisahkan diri dari manhaj Ahlus Sunnah  kecuali berdasarkan ilmu dan keadilan, bukan berdasarkan kebodohan dan  kezhaliman.
5. Tidak mencampur adukkan antara  masalah-masalah ijtihadiyah dengan masalah iftiraq (perpecahan) demikian  juga tidak boleh mencampur-adukkan antara orang yang membuat bid'ah  juz'iyah dengan orang yang meninggalkan sunnah dengan bid'ah kulliyah.
Oleh : Salim bin Shalih al-Marfadi

Komentar
Posting Komentar