Beberapa saat yang lalu penulis diwawancari oleh salah satu radio dakwah di Solo seputar bantuan yang akan diberikan oleh bintang film untuk korban bencana gunung Merapi. Masyarakat Islam berselisih di dalam menanggapinya, sebagian ada yang mengatakan haram, dan sebagian yang lain mengatakan halal, mana yang benar ?
Jauh-jauh sebelumnya, juga pernah heboh berkenaan bantuan dari salah satu yayasan Amerika yang memberikan bantuan kepada salah satu pesantren yang ada di Sumatra.
Untuk menjawab masalah tersebut perlu dikumpulkan dalil-dalil yang ada. Setelah diteleti ternyata ada dua kelompok dalil yang kelihatannya saling bertentangan. Sebagian dalil menjelaskan ketidak bolehan menggunakan harta haram secara mutlak, dan {jcomments on}sebagian yang lain menjelaskan kebolehannya. Oleh karena itu para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi dalil-dalil tersebut. Sebagian dari mereka membaginya dalam dua kaidah, sebagai berikut :
Jauh-jauh sebelumnya, juga pernah heboh berkenaan bantuan dari salah satu yayasan Amerika yang memberikan bantuan kepada salah satu pesantren yang ada di Sumatra.
Untuk menjawab masalah tersebut perlu dikumpulkan dalil-dalil yang ada. Setelah diteleti ternyata ada dua kelompok dalil yang kelihatannya saling bertentangan. Sebagian dalil menjelaskan ketidak bolehan menggunakan harta haram secara mutlak, dan {jcomments on}sebagian yang lain menjelaskan kebolehannya. Oleh karena itu para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi dalil-dalil tersebut. Sebagian dari mereka membaginya dalam dua kaidah, sebagai berikut :
Kaidah Pertama :
Jika harta haram tersebut berasal dari hasil pencurian, perampokan, penipuan, korupsi dan perbuatan kriminal lainnya yang merugikan orang lain secara nyata, seperti menjadi penadah barang-barang curian, dan membeli dari tempat penadah tersebut dengan harga murah seperti yang terjadi di pasar-pasar gelap, maka harta tersebut harus dikembalikan kepada yang berhak, dan haram untuk diambil atau dimanfaatkan dalam bentuk apapun.
Tetapi jika harta tersebut tidak bisa dikembalikan kepada yang berhak, karena tidak diketahui beritanya ataupun karena alasan lainnya, maka boleh diinfaqkan untuk kemaslahatan kaum muslimin dan tidak boleh dimakan. Harta semacam ini termasuk dalam katagori "hak manusia. "
Jika harta haram tersebut berasal dari hasil pencurian, perampokan, penipuan, korupsi dan perbuatan kriminal lainnya yang merugikan orang lain secara nyata, seperti menjadi penadah barang-barang curian, dan membeli dari tempat penadah tersebut dengan harga murah seperti yang terjadi di pasar-pasar gelap, maka harta tersebut harus dikembalikan kepada yang berhak, dan haram untuk diambil atau dimanfaatkan dalam bentuk apapun.
Tetapi jika harta tersebut tidak bisa dikembalikan kepada yang berhak, karena tidak diketahui beritanya ataupun karena alasan lainnya, maka boleh diinfaqkan untuk kemaslahatan kaum muslimin dan tidak boleh dimakan. Harta semacam ini termasuk dalam katagori "hak manusia. "
Kaedah tersebut didasarkan pada dalil-dalil sebagai berikut :
Pertama : Firman Allah Ta’ala: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu." (Qs. an-Nisa' : 29 ).
Kedua : Hadist Abdullah bin Umar RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda : "Tidak diterima shalat tanpa bersuci, dan tidak diterima sedekah dari hasil penggelapan harta ghanimah."( HR Muslim, no : 329 )
Ketiga : Hadist Abu Hurairah RA, bahwasanya ia berkata : " Kemudian Nabi SAW menceritakan tentang seorang laki-laki yang telah lama berjalan karena jauhnya jarak yang ditempuhnya. Sehingga rambutnya kusut, masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdo'a: "Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku." Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dengan makanan yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan do'anya?." ( HR Muslim, no : 1686).
Keempat : Kisah Mughirah bin Syu'bah : "Dahulu Al Mughirah di masa jahiliyah pernah menemani suatu kaum, lalu dia membunuh dan mengambil harta mereka. Kemudian dia datang dan masuk Islam. Maka Nabi SAW berkata saat itu: "Adapun keIslaman maka aku terima. Sedangkan mengenai harta, aku tidak ada sangkut pautnya sedikitpun" (HR Bukhari No : 2529)
Kaedah Kedua :
Jika harta haram tersebut berasal dari hasil keuntungan lokalisasi pelacuran, perjudian, penjualan khomr, gaji artis dari pengambilan foto atau film porno, hasil penjualan rokok, keuntungan bank konvensional yang menggunakan transaksi riba, bantuan asing, atau harta warisan dari orang yang mempunyai profesi di atas, serta profesi-profesi lain yang pada dasarnya adalah perbuatan haram, tetapi dilakukan secara suka rela antara kedua belah pihak atau lebih, selama hal itu tidak mengikat atau tidak bersyarat serta tidak ada unsur membantu kebatilan mereka, maka mayoritas ulama membolehkan untuk memanfaatkan uang tersebut untuk kemaslahatan kaum muslimin, seperti membangun jembatan, memperbaiki jalan, membeli mobil ambulan, membuat sumur, membuat tenda-tenda penampungan korban bencana alam dan lain-lain . Harta semacam ini termasuk dalam katagori "hak Allah."
Kaedah ini didasarkan pada dalil-dalil sebagai berikut :
Pertama : Firman Allah Ta’ala : "Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain." ( Qs Al An'am : 164 ).
Ayat di atas menunjukkan bahwa siapa saja yang bekerja pada sesuatu yang mengandung keharaman seperti di Bank Konvensional atau Asuransi Jiwa, atau perjudian ( yang mana pekerjaan tersebut adalah hasil kesepakatan antara mereka sendiri), maka dosanya akan dia tanggung sendiri, dan dosa ini tidak menular kepada orang lain.
Kedua : Diriwayatkan dari Anas bin Malik RA bahwasanya ia berkata : "Bahwasanya seorang wanita Yahudi datang memberikan hadiah kepada Nabi SAW berupa seekor kambing yang telah dilumuri racun, lalu beliau memakannya." (HR Bukhari dan Muslim ). Sebagaimana kita ketahui bahwa kebanyakan orang Yahudi memakan harta haram seperti riba dan lain-lainnya, tetapi walaupun demikian Rasulullah SAW menerima hadiah mereka. Bahkan hadiah itu berupa makanan.
Ketiga : Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab RA menerima jizyah (upeti) dari keuntungan penjualan khomr Ahli Kitab ( Abdur Razaq, al- Mushonaf, 8/198 ). Upeti yang diambil Umar dari harta haram tersebut menjadi kas negara dan nantinya digunakan untuk kepentingan kaum muslimin.
Keempat : Diriwayatkan bahwa Ibnu Mas'ud RA pernah berkata : "Jika anda diajak makan oleh orang yang hartanya berasal dari riba, maka makanlah. "
Kelima : Berkata Ibrahim an Nakh'i : " Terimalah hadiah dari orang yang hartanya dari riba, selama anda tidak menyuruhnya atau membantunya " ( Abdurrazaq, Mushonaf, 8/151 ) Hal serupa juga disampaikan oleh Salman Al Farisi. Artinya jika dengan menerima hadiah tersebut tidak membantu kemungkarannya, maka boleh diterima, khususnya jika ada manfaatnya untuk kaum muslimin, sekaligus sebagai sarana dakwah dan ta'lif qulub ( meluluhkan hati mereka agar masuk Islam ) .
Keenam : Berkata Hasan Al Bashri : " Sesungguh Allah Ta’ala telah menjelaskan kepada kalian bahwa Yahudi dan Nashara makan dari harta riba, walupun begitu dihalalkan bagi kalian makanan mereka "
Pertama : Firman Allah Ta’ala : "Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain." ( Qs Al An'am : 164 ).
Ayat di atas menunjukkan bahwa siapa saja yang bekerja pada sesuatu yang mengandung keharaman seperti di Bank Konvensional atau Asuransi Jiwa, atau perjudian ( yang mana pekerjaan tersebut adalah hasil kesepakatan antara mereka sendiri), maka dosanya akan dia tanggung sendiri, dan dosa ini tidak menular kepada orang lain.
Kedua : Diriwayatkan dari Anas bin Malik RA bahwasanya ia berkata : "Bahwasanya seorang wanita Yahudi datang memberikan hadiah kepada Nabi SAW berupa seekor kambing yang telah dilumuri racun, lalu beliau memakannya." (HR Bukhari dan Muslim ). Sebagaimana kita ketahui bahwa kebanyakan orang Yahudi memakan harta haram seperti riba dan lain-lainnya, tetapi walaupun demikian Rasulullah SAW menerima hadiah mereka. Bahkan hadiah itu berupa makanan.
Ketiga : Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab RA menerima jizyah (upeti) dari keuntungan penjualan khomr Ahli Kitab ( Abdur Razaq, al- Mushonaf, 8/198 ). Upeti yang diambil Umar dari harta haram tersebut menjadi kas negara dan nantinya digunakan untuk kepentingan kaum muslimin.
Keempat : Diriwayatkan bahwa Ibnu Mas'ud RA pernah berkata : "Jika anda diajak makan oleh orang yang hartanya berasal dari riba, maka makanlah. "
Kelima : Berkata Ibrahim an Nakh'i : " Terimalah hadiah dari orang yang hartanya dari riba, selama anda tidak menyuruhnya atau membantunya " ( Abdurrazaq, Mushonaf, 8/151 ) Hal serupa juga disampaikan oleh Salman Al Farisi. Artinya jika dengan menerima hadiah tersebut tidak membantu kemungkarannya, maka boleh diterima, khususnya jika ada manfaatnya untuk kaum muslimin, sekaligus sebagai sarana dakwah dan ta'lif qulub ( meluluhkan hati mereka agar masuk Islam ) .
Keenam : Berkata Hasan Al Bashri : " Sesungguh Allah Ta’ala telah menjelaskan kepada kalian bahwa Yahudi dan Nashara makan dari harta riba, walupun begitu dihalalkan bagi kalian makanan mereka "
Kesimpulan :
Dari keterangan di atas, bisa kita simpulkan bahwa dana-dana bantuan korban bencana atau bantuan-bantuan lain dari pihak asing maupun dari artis manapun juga, selama itu menyangkut hak Allah Ta’ala dan tidak ada terkait dengan hak manusia, serta tidak mengikat, maka hukumnya boleh diterima dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan kaum muslimin. Kalau kita menolak bantuan tersebut juga tidak apa-apa. Hanya saja, dikhawatirkan akan mereka gunakan untuk memperkuat kebatilan mereka, atau membangun proyek - proyek kemaksiatan lainnya, bahkan justru dimanfaatkan untuk memerangi kaum muslimin. Sehingga secara tidak langsung, seakan-akan kita telah memperkuat dan membantu kebatilan mereka dengan mengembalikan harta tersebut, padahal hal itu dilarang oleh Allah Ta’ala, sebagaimana di dalam firman-Nya : " Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. " ( QS Al Maidah : 2).
Wallahu A'lam
Dr. Ahmad Zain An Najah, MA
Komentar
Posting Komentar