Ramadhan kembali datang, bulan penuh rahmat, barakah dan ampunan. Kembali akan terlihat anak-anak bersama ayah ibunya, paman, bibi dan saudara lainnya, berbarengan berjalan menuju masjid, mushalla dan langgar terdekat untuk melaksanakan shalat Tarawih. Pasar juga mengalami perubahan suasana, ketika tingkat belanja para ibu rumah tangga meningkat. Maklum saja, selalu ada dan seakan harus diupayakan belanja tambahan untuk melengkapi acara buka Ramadhan dan sahur pada dini hari.Sekilas bangsa Indonesia memang akan mengalami perubahan suasana ketika memasuki bulan puasa. Media massa, baik cetak mau pun elektronik berlomba menyajikan tayangan berbau agama. Para artis pun yang sehari-hari biasanya berpakaian seksi mendadak berubah memakai pakaian tertutup dan bersikap lebih santun.Inilah pemandangan yang berkembang dan tumbuh pada setiap kedatangan Ramadhan. Sesuatu yang manusiawi namun tak boleh dibiarkan mandeg, berhenti sekedar sebagai simbol belaka. Harus ada proses menuju nilai Ramadhan sesungguhnya; nilai Ramadhan yang sejalan ajaran Allah Ta'alaa dan Rasulullah saw.
{jcomments on} Adalah tindakan mubazir bila kegiatan luar biasa besar itu dibiarkan berlangsung hanya sebatas tontonan. Apalagi ketika disadari sepenuhnya, ternyata Ramadhan menyimpan pesan moral luar biasa, yang dapat menjadi obat, bagi bangsa Indonesia, yang saat ini sedang terpuruk dalam berbagai bidang.
Beruntunglah, bangsa Indonesia yang penduduknya mayoritas beragama Islam, yang memiliki ajaran ibadah puasa. Melalui ibadah selama sebulan penuh itu, proses penyegaran kemanusiaan, nilai-nilai moral dan kepedulian sosial dapat tumbuh berkembang sehingga memberikan masukan positif bagi kepentingan bangsa yang sedang mengalami banyak masalah ini.
Kesadaran Kekuasaan
Tidak ada yang perlu dipertentangkan antara syariah dan subtansi Ramadhan dengan dampak kultural yang ditimbulkannya. Yang perlu dilakukan bagaimana me-manfaatkan momen pem-binaan moral bersifat individual itu sebagai energi massal yang dapat memberikan nilai konstruktif bagi peningkatan kualitas kemanusiaan. Se-hingga pembinaan moral lewat puasa,kegiatan-kegiatan penunjang Ramadhan termasuk pula aksesoris yang meng-iringinya yang diakui menelan biaya tinggi, tidak mubazir dan memberikan manfaat besar.
Karena bersifat massal tentu saja diperlukan pengatur dan penata kreatif untuk memaksimalkan momen Ramadhan itu. Secara sosiologis kekuasaanlah yang dapat berperan penting menata energi moral massal itu.
Tentu dalam konteks ini tidak bermakna sebagai sikap ikut campurnya kekuasaan pada persoalan ibadah puasa. Kekuasaan pada titik ini menempatkan diri sebagai kekuatan kreatif untuk mengelola dan menjadikan energi dari hasil pembinaan itu sebagai nilai-nilai segar untuk perbaikan nilai kemanusiaan.
Sekurangnya, kekuasaan perlu menjadikan momen Ramadhan sebagai titik balik pembenahan dan pembersihan kekuasaan dari nilai-nilai manipulatif. Nuansa moral yang berkembang saat Ramadhan disegarkan berkesinambungan lewat i’tikad serius dari kekuasaan untuk melaksanakan penegakan moral yang wujud kongkritnya tercermin pada pelaksanaan penegakan hukum.Terasa lebih mudah menggalang masyarakat untuk sungguh-sungguh melaksanakan penegakan hukum ketika atmosfir proses pembenahan moral diri sedang terjadi. Ketika masyarakat sedangberusaha membersih-kan diri melalui puasa, masyarakat akan mudah digerakkan untuk melaksanakan pembersihan sosial lewat kesungguhan penegakan hukum. Tentu saja, tidak ada proses melibatkan masyarakat mentaati hukum yang lebih baik selain diperlihatkan dari kepeloporan para elite pemegang kekuasaan.
Semangat sebagaimana ditegaskan Al Qur'an bahwa Ramadhan bertujuan me-ningkatkan ketaqwaan manusia, memperbaiki kualitas moral manusia diefektifkan dalam bentuk kebijakan publik dari kekuasaan yang praktik langsungnya diawali dari ketaatan para pemimpin. Dengan demikian proses peningkatan moral telah tumbuh dan menemukan areal pengembangan sehingga secara signifikan mengalami peningkatan.
Kepedulian
Sudah menjadi rahasia umum, belakangan ini masyarakat Indonesia me-nyaksikan akrobat para elite yang sama sekali kurang memperlihatkan kepedulian kepada kondisi rakyat, yang sedang nestapa. Pembangunan gedung DPR super mewah; manipulasi dan praktek percaloan anggaran, serta yang terakhir temuan Kementerian Dalam Negeri tentang tunjangan para pejabat di daerah yang sangat tidak proporsional; merupakan deretan kecil tentang sepak terjang para elit, yang kurang peduli pada kondisi rakyat.
Rasa lapar selama menjalankan ibadah puasa, yang terkondisikan secara kultural, diharapkan dapat mem-bangkitkan kepedulian dan mengubur sikap me-mentingkan diri serta mampu menumbuhkan moralitas kepemimpinan para elite. Bahwa rakyat itu, hidup terlunta dan berbelit rasa lapar sepanjang waktu. Dan seorang pemimpin, harus mewujudkan ke-nyamanan rakyatnya terlebih dahulu, sebelum memenuhi kebutuhan dirinya.
Sebenarnya rasa lapar bukan tujuan puasa. Rasa lapar merupakan semacam praktik lapangan tentang bagaimana kondisi nestapa, rasa lapar dan haus, serta serba kekurangan bila terasakan. Proses ini penting bagi para elite pemimpin, agar tumbuh rasa cinta serta kasih sayang untuk selalu memberikan yang terbaik pada rakyat yang dipimpinnya.
Jika rasa cinta dan sayang kepada rakyat tak ada, jangan berharap keadilan akan datang. Para pejabat hanya akan menjadikan kemiskinan, rasa lapar dan penderitaan rakyatnya hanya sebagai tontonan; hanya menjadi komoditas politik, untuk kepentingan kelanggeng-an kekuasaan.
Alangkah indah bila Ramadhan yang dilaksanakan umat Islam Indonesia tahun ini mampu mencapai subtansinya dan tidak hanya sekedar melingkar-lingkar di tataran permukaan atau sekedar aksesoris. Akan sangat banyak perubahan sikap konstruktif yang diharapkan muncul dari masyarakat Indonesia setelah menunaikan ibadah puasa.
Miqdad Husein/Dewan Dakwah DKI Jakarta
{jcomments on} Adalah tindakan mubazir bila kegiatan luar biasa besar itu dibiarkan berlangsung hanya sebatas tontonan. Apalagi ketika disadari sepenuhnya, ternyata Ramadhan menyimpan pesan moral luar biasa, yang dapat menjadi obat, bagi bangsa Indonesia, yang saat ini sedang terpuruk dalam berbagai bidang.
Beruntunglah, bangsa Indonesia yang penduduknya mayoritas beragama Islam, yang memiliki ajaran ibadah puasa. Melalui ibadah selama sebulan penuh itu, proses penyegaran kemanusiaan, nilai-nilai moral dan kepedulian sosial dapat tumbuh berkembang sehingga memberikan masukan positif bagi kepentingan bangsa yang sedang mengalami banyak masalah ini.
Kesadaran Kekuasaan
Tidak ada yang perlu dipertentangkan antara syariah dan subtansi Ramadhan dengan dampak kultural yang ditimbulkannya. Yang perlu dilakukan bagaimana me-manfaatkan momen pem-binaan moral bersifat individual itu sebagai energi massal yang dapat memberikan nilai konstruktif bagi peningkatan kualitas kemanusiaan. Se-hingga pembinaan moral lewat puasa,kegiatan-kegiatan penunjang Ramadhan termasuk pula aksesoris yang meng-iringinya yang diakui menelan biaya tinggi, tidak mubazir dan memberikan manfaat besar.
Karena bersifat massal tentu saja diperlukan pengatur dan penata kreatif untuk memaksimalkan momen Ramadhan itu. Secara sosiologis kekuasaanlah yang dapat berperan penting menata energi moral massal itu.
Tentu dalam konteks ini tidak bermakna sebagai sikap ikut campurnya kekuasaan pada persoalan ibadah puasa. Kekuasaan pada titik ini menempatkan diri sebagai kekuatan kreatif untuk mengelola dan menjadikan energi dari hasil pembinaan itu sebagai nilai-nilai segar untuk perbaikan nilai kemanusiaan.
Sekurangnya, kekuasaan perlu menjadikan momen Ramadhan sebagai titik balik pembenahan dan pembersihan kekuasaan dari nilai-nilai manipulatif. Nuansa moral yang berkembang saat Ramadhan disegarkan berkesinambungan lewat i’tikad serius dari kekuasaan untuk melaksanakan penegakan moral yang wujud kongkritnya tercermin pada pelaksanaan penegakan hukum.Terasa lebih mudah menggalang masyarakat untuk sungguh-sungguh melaksanakan penegakan hukum ketika atmosfir proses pembenahan moral diri sedang terjadi. Ketika masyarakat sedangberusaha membersih-kan diri melalui puasa, masyarakat akan mudah digerakkan untuk melaksanakan pembersihan sosial lewat kesungguhan penegakan hukum. Tentu saja, tidak ada proses melibatkan masyarakat mentaati hukum yang lebih baik selain diperlihatkan dari kepeloporan para elite pemegang kekuasaan.
Semangat sebagaimana ditegaskan Al Qur'an bahwa Ramadhan bertujuan me-ningkatkan ketaqwaan manusia, memperbaiki kualitas moral manusia diefektifkan dalam bentuk kebijakan publik dari kekuasaan yang praktik langsungnya diawali dari ketaatan para pemimpin. Dengan demikian proses peningkatan moral telah tumbuh dan menemukan areal pengembangan sehingga secara signifikan mengalami peningkatan.
Kepedulian
Sudah menjadi rahasia umum, belakangan ini masyarakat Indonesia me-nyaksikan akrobat para elite yang sama sekali kurang memperlihatkan kepedulian kepada kondisi rakyat, yang sedang nestapa. Pembangunan gedung DPR super mewah; manipulasi dan praktek percaloan anggaran, serta yang terakhir temuan Kementerian Dalam Negeri tentang tunjangan para pejabat di daerah yang sangat tidak proporsional; merupakan deretan kecil tentang sepak terjang para elit, yang kurang peduli pada kondisi rakyat.
Rasa lapar selama menjalankan ibadah puasa, yang terkondisikan secara kultural, diharapkan dapat mem-bangkitkan kepedulian dan mengubur sikap me-mentingkan diri serta mampu menumbuhkan moralitas kepemimpinan para elite. Bahwa rakyat itu, hidup terlunta dan berbelit rasa lapar sepanjang waktu. Dan seorang pemimpin, harus mewujudkan ke-nyamanan rakyatnya terlebih dahulu, sebelum memenuhi kebutuhan dirinya.
Sebenarnya rasa lapar bukan tujuan puasa. Rasa lapar merupakan semacam praktik lapangan tentang bagaimana kondisi nestapa, rasa lapar dan haus, serta serba kekurangan bila terasakan. Proses ini penting bagi para elite pemimpin, agar tumbuh rasa cinta serta kasih sayang untuk selalu memberikan yang terbaik pada rakyat yang dipimpinnya.
Jika rasa cinta dan sayang kepada rakyat tak ada, jangan berharap keadilan akan datang. Para pejabat hanya akan menjadikan kemiskinan, rasa lapar dan penderitaan rakyatnya hanya sebagai tontonan; hanya menjadi komoditas politik, untuk kepentingan kelanggeng-an kekuasaan.
Alangkah indah bila Ramadhan yang dilaksanakan umat Islam Indonesia tahun ini mampu mencapai subtansinya dan tidak hanya sekedar melingkar-lingkar di tataran permukaan atau sekedar aksesoris. Akan sangat banyak perubahan sikap konstruktif yang diharapkan muncul dari masyarakat Indonesia setelah menunaikan ibadah puasa.
Miqdad Husein/Dewan Dakwah DKI Jakarta
Komentar
Posting Komentar