Kemerdekaan
Palestina dan perjuangan Palestina menjadi keanggotaan PBB adalah
berita yang akhir-akhir ini cukup hangat terkait persoalan
Palestina.Banyak Negara baik di Asia dan Eropa dan dari benua Amerika
yang menyatakan pengakuan dan dukungan bagi kemerdekaan Palestina serta
dukungan akan bergabungnya Palestina menjadi bagian dari anggota
tetap dewan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) seperti negara Turki,
Mesir, China, India, Indonesia, Pakistan, Jerman, Prancis, Rusia,
chile, dan Inggris. Inggris menjadi negara yang terang-terangan
mendukung langkah Palestina ini, meskipun bukan mendukung keanggotan di
DK PBB, melainkan mendukung sebagai anggota tidak tetap PBB. Dan
Negara yang menolak adalah dua Negara yang sudah tidak asing lagi yakni
Amerika dan Israel itu sendiri. Mereka mengatakan kedaulatan baru akan
diberikan melalui perundingan damai dengan Israel.{jcomments on}
Sesungguhnya
persoalan Palestina adalah satu diantara persoalan umat Islam tatkala
lenyapnya institusi politik umat Islam yakni system khilafah yang di
hapuskan oleh seorang pengkhianat, musuh Islam dan seorang yang murtad
yakni Mustafa Kamal Ataturk. Sehingga ketika khilafah terakhir di Turki
tersebut di hapus,maka mulailah umat Islam menderita berbagai macam
keterpurukan dari berbagai bidang termasuk di sekat-sekatnya kaum
muslim menjadi beberapa negeri termasuk negeri Palestina.
Pada
Juni tahun 1896 M, datanglah pemimpin Yahudi Internasional Theodore
Herzl ditemani Neolanski kepada Khalifah Abdul Hamid di Konstantinopel.
Kedatangan mereka adalah meminta Khalifah memberikan tanah Palestina
kepada Yahudi. Tidak tanggung-tanggung, mereka pun memberi iming-iming:
"Jika kami berhasil menguasai Palestina, maka kami akan memberi uang
kepada Turki (Khilafah Utsmaniah) dalam jumlah yang sangat besar. Kami
pun akan memberi hadiah melimpah bagi orang yang menjadi perantara
kami. Sebagai balasan juga, kami akan senantiasa bersiap sedia untuk
membereskan masalah keuangan Turki".
Namun, Khalifah Abdul Hamid menentang keras. Beliau menyatakan,
"Aku tidak akan melepaskan walaupun segenggam tanah ini (Palestina),
Karena ia bukan miliku. Tanah itu adalah hak umat. Umat ini telah
berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyiraminya dengan
darah mereka..Yahudi silahkahkan menyimpan harta mereka. Jika Khilafah
Islam dimusnahkan pada suatu hari, Maka mereka boleh mengambil tanpa
membayar harganya. Akan tetapi, sementara Aku hidup, Aku lebih rela
menusukan ke tubuhku daripada melihat tanah Palestina dikhianati dan
dipisahkan dari Khilafah Islam. Perpisahan adalah sesuatu yang tidak
akan terjadi. Aku tidak akan memulai pemisahan tubuh kami selama kami
masih hidup!"
Kesungguhan sang Khalifah itu ditunjukkan pula dalam Maklumat yang dikeluarkannya pada tahun 1890 M: "Wajib
bagi semua menteri (wazir) untuk melakukan studi beragam serta wajib
mengambil keputusan yang serius dan tegas dalam masalah Yahudi tersebut" akibat dari ketegasan Khalifah Abdul Hamid tersebut menjadikan Herzl tak berdaya menghadapinya.
Dia pun menyampaikan,
"Sesungguhnya saya kehilangan harapan untuk bisa merealisasikan
keinginan orang-orang Yahudi di Palestina. Sesungguhnya orang-orang
Yahudi tidak akan pernah bisa masuk kedalam tanah yang dijanjikan
selama Sultan Abdul Hamid II masih tetap berkuasa dan duduk di atas
kursinya."
Kemudian pada Tahun
1902, delegasi Herzl kembali mendatangi Sultan Hamid. Delegasi Herzl
menyodorkan sejumlah tawaran seperti: (1) memberikan hadiah sebesar
150 juta Poundsterling untuk pribadi Sultan,?(2) membayar semua utang
pemerintah Turkis Utsmani yang mencapai 33 juta Pounsterling,?(3)
membangun kapal induk untuk menjaga pertahanan pemerintah Utsmani yang
bernilai 120 juta Frank,?(4) memberikan pinjaman tanpa bunga sebesar 35
juta Poundsterling dan, ?(5) membangun sebuah universitas Utsmani di
Palestina.
Namun, semua tawaran itu,
ditolak oleh Sultan Hamid II.??Beberapa catatan menyebutkan setidaknya
ada 6 kali delegasi yahudi mendatangi istana khalifah untuk meloloskan
proposal ini. Diantaranya dialog yang "menyarankan" agar orang-orang yahudi "membeli"
Palestina terjadi antara sir moses haim montefiore dengan Shah Nasr ad
Dhin.??kemudian Khalifah Abdul Hamid II menolaknya dan mengatakan
kepada delegasi tersebut:?"Nasehatilah temanmu Hertzl agar tidak
mengambil langkah-langkah baru dalam masalah ini. Sebab, saya tidak
akan bisa mundur dari tanah suci (Palestina) ini, walau hanya
sejengkal. Karena tanah ini bukanlah milikku. Tanah ini adalah milik
bangsa dan rakyatku. Para pendahuluku telah berjuang demi mendapatkan
tanah ini. Mereka telah menyiraminya dengan tetesan darah. Biarlah
orang-orang Yahudi itu menggenggam jutaan uang mereka. Jika negeriku
tercabik-cabik, maka sangat mungkin mendapatkan Palestina tanpa imbalan
dan balasan apapun. Namun patut diingat, bahwa hendaknya
pencabik-cabikan itu dimulai dari tubuh dan raga kami. Namun, tentu aku
tidak menerima ragaku dicabik-cabik selama hayat masih di kandung
badan."
Apa yang dikatakan
Khalifah Abdul hamid tersebut akhirnya terbukti dengan nyata. Setelah
negeri-negeri kaum muslim tercabik-cabik menjadi lebih dari 50 negara
termasuk di dalamnya Palestina, saat itulah Zionist Israel dengan
sangat mudah mendapatkan dan menguasai tanah kharajiah tersebut hingga
detik ini.
Berharap Pada PBB?
Sejarah
memberikan pelajaran berharga kepada kita. Keluarnya resolusi PBB
ditentukan oleh sikap negara pemilik hak Veto terutama AS. Selama ini
banyak resolusi terhadap Israel yang kandas karena diveto AS termasuk
resolusi terhadap Israel atas invasi ke Gaza yang menewaskan lebih dari
1300 orang termasuk banyak diantaranya wanita, anak-anak dan orang
tua.
Tercatat sejak tahun 1972 sampai
tahun 2009, sudah lebih dari 68 resolusi PBB yang berhubungan dengan
eksistensi israel di Palestina diveto amerika. Ini belum termasuk
resolusi setelah tahun tersebut plus resolusi terakhir saat israel
melancarkan agresinya di gaza.
Dan
Amerika Serikat pun dengan tegas meyatakan bahwa mereka akan menveto
usulan Palestina tersebut yang diungkapkan oleh Perdana menteri Israel
benyamin Netanyahu, "Upaya Palestina untuk meraih dukungan dari PBB akan gagal, setelah Amerika Serikat (AS) berniat untuk memveto dukungan itu," jelas Netanyahu seperti dikutip MENAFN, Senin (19/9/2011).
Artinya, sebuah aktivitas yang sia-sia ketika berharap kepada PBB, termasuk di dalamnya keinginan untuk menjadi anggota PBB.
Sebenarnya
solusi atas persoalan Palestina haruslah melihat status dari tanah
Palestina itu sendiri. Inilah fakta yang harus dijadikan sebagai objek
berfikir seluruh umat yang ingin benar-benar melihat kemerdekaan sejati
bagi bangsa Palestina, bukan malah menjadikan persoalan Palestina
sebagai sumber pemikiran itu sendiri.
Status Tanah Palestina
Palestina
merupakan negeri Islam yang ditaklukkan secara damai oleh Daulah
Khilafah Islamiyyah pada masa pemerintahan Umar bin Khattab.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Hâfidz Abu Qâsim Ibnu ‘Asâkir di
dalam al-Mustaqshâ fi Fadhail al-Masjid al-Aqsha, setelah menaklukkan
Damsyiq beliau kemudian mengarahkan pasukannya yang dipimpin oleh Abu
Ubaidah ke daerah Iliya (Palestina) dan mengepung daerah tersebut
selama beberapa hari hingga penduduk negeri tersebut meminta damai
kepada kaum Muslimin dengan syarat Umar bin Khattab menjumpai mereka.
Abu
Ubaidah kemudian mengirim surat untuk meminta pendapat Umar bin
Khattab. Umar lalu berunding dengan sejumlah sahabat tentang hal
tersebut. Utsman r.a. mengusulkan agar beliau tidak ke Iliyâ dengan
maksud untuk menghinakan mereka. Sementara Ali bin Abu Thalib meminta
beliau tetap ke wilayah tersebut untuk meringankan pengepungan yang
dilakukan oleh kaum muslimin. Umar lantas memilih pendapat Ali dan
memintanya menjadi pengganti beliau di Madinah. Setelah sampai di
wilayah tersebut Umar bertemu dengan Abu Ubadah dan sejumlah pemimpin
pasukan kaum muslimin seperti Khalid bin Walid dan Yazid bin Abu
Sofyan. Abu Ubaidah bermaksud mencium tangan Umar atas kemenangan ini
namun Umar malah bermaksud mencium kaki Abu Ubaidah. Namun
masing-masing menolak untuk diberi penghormatan demikian. Umar lalu
menyetujui perdamaian dengan orang-orang Nashrani (Al-Bidâyah wa
An-Nihâyah: V/65-66).
Adapun isi
perjanjian antara Umar bin Khattab dengan Penduduk ‘Iliyâ yang dikenal
dengan perjanjian ‘Umariyah atau ‘Iliyâ adalah:
“Dengan
nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Ini adalah apa yang
diberikan oleh hamba Allah, Umar, amirul mukminin kepada penduduk Iliyâ
di Ammân. Saya memberikan keamanan atas jiwa dan harta mereka,
gereja-gereja mereka, salib-salib mereka, orang-orang yang sakit dan
yang tidak bersalah dan seluruh agama mereka. Gereja mereka tidak boleh
ditempati dan dihancurkan, tidak boleh diambil bagiannya ataupun
isinya, demikian pula dengan salib-salib dan harta mereka. Mereka tidak
boleh dipaksa untuk meninggalkan agama mereka. Dan seorang pun dari
mereka tidak boleh dimudharatkan. Dan tidak seorangpun dari orang
Yahudi boleh tinggal di Iliyâ. Penduduk Iliyâ harus membayar jizyah
sebagaimana halnya dengan penduduk kota lain. Mereka harus mengeluarkan
orang-orang Romawi dan Lashut. Barangsiapa yang keluar dari mereka
maka jiwa dan harta mereka aman serta perniagaan dan salib-salib mereka
dibiarkan. Dan barangsiapa di antara mereka yang menetap maka mereka
aman. Dan mereka harus membayar jizyah sebagaimana halnya penduduk
Iliyâ. Dan siapa saja dari penduduk Iliyâ yang pergi dengan hartanya ke
Romawi dan dan membawa perniagaan dan salib mereka maka mereka aman
hingga mereka tiba ditempat mereka. Dan penduduk al-Ardh yang berada di
Iliyâ sebelum terbunuhnya Fulan maka mereka boleh menetap namun mereka
wajib memberikan jizyah sebagaimana penduduk Iliyâ. Dan siapa yang mau
maka mereka boleh pergi dengan orang-orang Romawi. Dan siapa saja yang
mau kembali kepada kelurganya maka tidak diambil apapun dari mereka
hingga mereka memanen hasil pertanian mereka. Dan apa yang ada di dalam
tulisan ini merupakan janji Allah, jaminan Rasul-Nya, jaminan para
Khalifah dan kaum muslimin jika mereka memberikan jizyah. (Perjanjian)
ini disaksikan oleh Khalid bin Walid, ‘Amru bin ‘Ash, Abdurrahman bin
Auf dan Mu’awiyah bin Abu Sofyan (Tarikh ar-Rusul wal-Muluk: II/307).
Bertolak dari kenyataan tersebut, tanah Palestina termasuk dalam katagori ardh al-shulhi (tanah yang diperoleh melalui perundingan damai). Sedangkan status ardh al-shulhi
sesuai dengan isi perjanjian yang disepakati antara pemerintahan Islam
dengan penduduk negeri yang ditaklukkan. Selama tidak bertentangan
dengan syara’, kaum Muslim pun wajib menaati klausul perjanjian yang
telah disepakati itu. Rasulullah saw bersabda:
“Perjanjian
damai itu boleh antara kaum Muslim kecuali perjanjian damai yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (HR Abu Dawud dan
al-Tirmidzi).
Di dalam kitab ‘Awn
al-Ma’bûd dijelaskan bahwa kata bayna al-muslimîn memberikan makna
kharaja makhraj al-ghâlib (mengikuti adat kebiasaan). Alasannya,
perjanjian damai antara kaum Muslim dan kaum kafir diperbolehkan. Pada
ghalibnya, yang diseru dengan hukum adalah kaum Muslim. Sebab,
merekalah yang bersedia tunduk terhadapnya.
Rasulullah SAW juga bersabda: “Kaum Muslim tunduk dengan syarat-syarat mereka” (HR al-Bukhari, Abu Dawud, dan al-Tirmidzi).
Berkaitan dengan tanah Palestina, terdapat klausul yang jelas mengenai status Yahudi. Di situ termaktub: Dan tidak seorangpun dari orang Yahudi boleh tinggal di Iliyâ.
Ketentuan ini berlaku hingga hari kiamat. Berdasarkan klausul
tersebut, kaum Yahudi tidak boleh tinggal di Palestina. Terlebih dengan
cara merampas dari pemiliknya, mengusir penduduknya, dan mendirikan
negara yang berkuasa di atasnya.
Dukungan
yang diberikan oleh penguasa-penguasa negeri Islam eksistensi negara
Israel dan dukungan berdirinya negara Palestina jelas merupakan
tindakan yang dzalim sekaligus merupakan pengkhiatan terhadap kaum
muslimin. Mereka tanpa malu meridhai eksistensi negara yang berdiri di
atas tanah yang dirampas dari kaum muslim. Sikap ini sekaligus
menunjukkan bahwa tidak lain adalah agen-agen Barat (’umalâ) yang terus
mendukung berbagai strategi negara-negara penjajah untuk menghancurkan
Islam dan kaum muslimin. Padahal Allah SWT telah mengingatkan:
“Allah
tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berbuat adil kepada orang
yang tidak memerangi kalian dan tidak mengusir kalaian dari neger-
kalian. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang adil. Namun Allah
melarang kalian untuk membantu orang-orang yang telah memerangi
kalian, mengeluarkan kalian dari negeri kalian dan berupaya untuk
mengeluarkan kalian. Barangsiapa yang menolong mereka mereka adalah
orang-orang yang dzalim.” (Qs Al-Mumtahanah 8-9).
Kemerdekaan Hakiki Hanya Dengan Khilafah
Sebagaimana
yang telah diuraikan di atas bahwa persoalan Palestina adalah satu
diantara persoalan yang mendera umat Islam tatkala system khilafah
dibubarkan pada 3 maret 1924. Oleh karena itu hanya Khilafahlah yang
dapat melindungi kehormatan Islam dan kaum muslimin, menjaga perbatasan
negeri-negeri Islam, menyatukan potensi ummat Islam dan
mengumandangkan jihad fi sabilillah melawan negara-negara kafir seperti Israel dan mengusir mereka dengan penuh kehinaan dari tanah-tanah kaum muslimin.
Sungguh
tepat sekali ungkapan al-Imam al-'Allamah as-Syaikh Taqiyuddin
an-Nabhani ketika menggambarkan Khilafah ini dengan gambaran yang
sangat akurat, seraya mengatakan, "Khilafah adalah arus utama
Islam, dan apa yang selalu dikelilingi, Dengannya, agama akan terjaga,
dan Islam pun akan terlindungi. Hudud akan bisa ditegakkan. Berbagai
kejahatan akan bisa dicegah. Dengannya perbatasan akan bisa dijaga.
Wilayah yang dilindungi akan tetap terjaga, dan tidak akan dilanggar.”
Namun,
"arus utama" ini nyaris ditinggalkan oleh kaum Muslim, seiring dengan
terpisahnya mereka dengan negara Khilafah, yang telah runtuh pada
tanggal 28 Rajab 1342 H, bertepatan dengan tanggal 3 Maret 1924 M di
tangan seorang Yahudi, Freemasonry, Mustafa Kamal Attaturk, antek
Inggeris.
Dengan menyingkirkan
pemerintahan Islam, mengusir khalifah dan keluarga 'Utsmani untuk
meninggalkan ibukota Istambul dengan arahan dan dukungan penjajah
Inggeris-Kafir. Semuanya itu untuk melaksanakan apa yang ditetapkan
oleh Menlu Inggeris kala itu, Lord Curzon, sebagai persyaratan busuk
yang ditetapkan kepada bangsa Turki dalam Konferensi Lausanne, yang
dipenuhi kebusukan. Setelah penandatanganan Perjanjian Lausanne pada
tanggal 24 Juli 1923, tentara Inggeris meninggalkan Istambul dan
Madzahiq.??Dengan bangga, Curzon menyatakan di depan Parlemen Iggeris
ketika itu, "Turki telah dihancurkan, dan tidak akan pernah bisa
bangkit kembali, karena kita telah menghancurkan kekuatan moralnya,
yaitu Khilafah dan Islam."
Dan sesungguhnya berita tentang kebinasaan kaum Yahudi tersebut kelak akan terbukti . Rasulullah bersabda:
"Dari
Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda: tidak akan datang Hari
Kiamat hingga kaum muslim memerangi Yahudi. Maka kaum muslim memerangi
mereka hingga mereka bersembunyi di balik batu dan pepohonan. Namun
batu atau pohon itu berkata: Ya muslim, ya Abdullah ini Yahudi di
belakang saya, kemarilah dan bunuhlah dia kecuali pohon gharqad karena
ia adalah pohonnya orang Yahudi” (HR. Muslim dan Ahmad).
Dan semua itu akan terwujud tatkala kelak kaum mulim berhasil mendirikan khilafah Islamiyyah. Wallahu a’lamu bis-shawab.
[sumber : voa-islam.com]
Komentar
Posting Komentar