Akhir-akhir ini banyak masyarakat yang menanyakan hukum melakukan
transaksi jual beli dengan system MLM (Multi Level Marketing). Tulisan
di bawah ini mudah-mudahan bisa menjawab pertanyaan tersebut:
Pengertian MLM
MLM adalah sistem penjualan yang memanfaatkan konsumen
sebagai tenaga penyalur secara langsung. Sistem penjualan ini
menggunakan beberapa level (tingkatan) di dalam pemasaran barang
dagangannya.
Promotor (upline) adalah anggota yang sudah mendapatkan hak keanggotaan terlebih dahulu, sedangkan bawahan (downline)
adalah anggota baru yang mendaftar atau direkrut oleh promotor. Akan
tetapi, pada beberapa sistem tertentu, jenjang keanggotaan ini bisa
berubah-ubah sesuai dengan syarat pembayaran atau pembelian tertentu.
Komisi yang diberikan dalam pemasaran berjenjang dihitung berdasarkan banyaknya jasa distribusi
yang otomatis terjadi jika bawahan melakukan pembelian barang. Promotor
akan mendapatkan bagian komisi tertentu sebagai bentuk balas jasa atas
perekrutan bawahan.
Harga barang yang ditawarkan di tingkat konsumen adalah harga
produksi ditambah komisi yang menjadi hak konsumen karena secara tidak
langsung telah membantu kelancaran distribusi.
Untuk menjadi keanggotaan MLM, seseorang biasanya diharuskan mengisi
formulir dan membayar uang dalam jumlah tertentu dan kadang diharuskan
membeli produk tertentu dari perusahaan MLM tersebut, tetapi kadang ada
yang tidak mensyaratkan untuk membeli produk tersebut. Pembayaran dan
pembelian produk tersebut sebagai syarat untuk mendapatkan point tertentu.
Kadang point bisa didapatkan oleh anggota jika ada pembelian langsung
dari produk yang dipasarkan, maupun melalui pembelian tidak langsung
melalui jaringan keanggotaan. Tetapi kadang point bisa diperoleh tanpa
pembelian produk, namun dilihat dari banyak dan sedikitnya anggota yang
bisa direkrut oleh orang tersebut, yang sering disebut dengan
pemakelaran.
Transaksi jual beli dengan menggunakan sistem MLM hukumnya haram. Alasan-alasannya adalah sebagai berikut :
Alasan Pertama: Di dalam transaksi dengan metode MLM, seorang anggota mempunyai dua kedudukan: Kedudukan pertama,
sebagai pembeli produk, karena dia membeli produk secara langsung dari
perusahaan atau distributor. Pada setiap pembelian, biasanya dia akan
mendapatkan bonus berupa potongan harga.
Kedudukan kedua, sebagai makelar, karena selain membeli
produk tersebut, dia harus berusaha merekrut anggota baru. Setiap
perekrutan dia mendapatkan bonus juga.
Pertanyaannya adalah bagaimana hukum melakukan satu akad dengan
menghasilkan dua akad sekaligus, yaitu sebagai pembeli dan makelar?
Dalam Islam hal itu dilarang, ini berdasarkan hadist-hadist di bawah ini:
1. Hadits abu Hurairah radhiyallahu 'anhu:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ
“Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam telah melarang dua pembelian dalam satu pembelian.”(
HR Tirmidzi, Nasai dan Ahmad. Berkata Imam Tirmidzi : Hadist Abu
Hurairah adalah hadist Hasan Shahih dan bisa menjadi pedoman amal
menurut para ulama)
Imam Syafi’i rahimahullah berkata tentang hadist ini,
sebagaimana dinukil Imam Tirmidzi, “Yaitu jika seseorang mengatakan,
’Aku menjual rumahku kepadamu dengan harga sekian dengan syarat kamu
harus menjual budakmu kepadaku dengan harga sekian. Jika budakmu sudah
menjadi milikku berarti rumahku juga menjadi milikmu’.” (Sunan Tirmidzi, Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, Juz : 3, hlm. 533)
Kesimpulannya bahwa melakukan dua macam akad dalam satu transaksi
yang mengikat satu dengan yang lainnya adalah haram berdasarkan hadist
di atas.
2. Hadist Abdullah bin Amr, bahwasanya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda :
لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ وَلَا رِبْحُ مَا لَمْ تَضْمَنْ وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
"Tidak halal menjual sesuatu dengan syarat memberikan hutangan,
dua syarat dalam satu transaksi, keuntungan menjual sesuatu yang belum
engkau jamin, serta menjual sesuatu yang bukan milikmu." (HR. Abu Daud)
Hadits di atas juga menerangkan tentang keharaman melakukan dua
transaksi dalam satu akad, seperti melakukan akad utang piutang dan jual
beli, satu dengan yang lainnya saling mengikat. Contohnya: Seseorang
berkata kepada temannya, “Saya akan jual rumah ini kepadamu dengan
syarat kamu meminjamkan mobilmu kepada saya selama satu bulan.” Alasan
diharamkan transaksi seperti ini adalah tidak jelasnya harga barang dan
menggantungkan suatu transaksi kepada syarat yang belum tentu terjadi. (Al
Mubarkufuri, Tuhfadh al Ahwadzi, Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, Juz :
4, hlm. 358, asy Syaukani, Nailul Author, Riyadh, Dar an Nafais, juz :
5, hlm: 173)
Alasan Kedua: Di dalam MLM terdapat makelar berantai. Sebenarnya makelar (samsarah)
dibolehkan di dalam Islam, yaitu transaksi di mana pihak pertama
mendapatkan imbalan atas usahanya memasarkan produk dan pertemukannya
dengan pembelinya.
Adapun makelar di dalam MLM bukanlah memasarkan produk, tetapi
memasarkan komisi. Maka, kita dapatkan setiap anggota MLM memasarkan
produk kepada orang yang akan memasarkan dan seterusnya, sehingga
terjadilah pemasaran berantai. Dan ini tidak dibolehkan karena akadnya
mengandung gharar dan spekulatif.
Alasan Ketiga: Di dalam MLM terdapat unsur
perjudian, karena seseorang ketika membeli salah satu produk yang
ditawarkan, sebenarnya niatnya bukan karena ingin memanfaatkan atau
memakai produk tersebut, tetapi dia membelinya sekedar sebagai sarana
untuk mendapatkan point yang nilainya jauh lebih besar dari harga barang
tersebut. Sedangkan nilai yang diharapkan tersebut belum tentu ia
dapatkan.
Perjudian juga seperti itu, yaitu seseorang menaruh sejumlah uang di
meja perjudian, dengan harapan untuk meraup keuntungan yang lebih
banyak, padahal keuntungan tersebut belum tentu bisa ia dapatkan.
Alasan Keempat: Di dalam MLM banyak terdapat unsur gharar (spekulatif) atau sesuatu yang tidak ada kejelasan yang
diharamkan Syariat, karena anggota yang sudah membeli produk tadi,
mengharap keuntungan yang lebih banyak. Tetapi dia sendiri tidak
mengetahui apakah berhasil mendapatkan keuntungan tersebut atau malah
merugi.
Dan Nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi wasallam sendiri melarang setiap transaksi yang mengandung gharar, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwasanya ia berkata :
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam melarang jual beli
dengan cara al-hashah (yaitu: jual beli dengan melempar kerikil) dan
cara lain yang mengandung unsur gharar (spekulatif).“ (HR. Muslim, no: 2783)
Alasan Kelima: Di dalam MLM terdapat hal-hal yang bertentangan dengan kaidah umum jual beli, seperti kaidah : Al Ghunmu bi al Ghurmi,
yang artinya bahwa keuntungan itu sesuai dengan tenaga yang dikeluarkan
atau resiko yang dihadapinya. Di dalam MLM ada pihak-pihak yang paling
dirugikan yaitu mereka yang berada di level-level paling bawah, karena
merekalah yang sebenarnya bekerja keras untuk merekrut anggota baru,
tetapi keuntungannya yang menikmati adalah orang-orang yang berada pada
level atas.
Merekalah yang terus menerus mendapatkan keuntungan-keuntungan tanpa
bekerja, dan mereka bersenang-senang di atas penderitaan orang lain.
Apalagi jika mereka kesulitan untuk melakukan perekrutan, dikarenakan
jumlah anggota sudah sangat banyak.
Alasan Keenam: Sebagian ulama mengatakan bahwa transaksi dengan sistem MLM mengandung riba riba fadhl, karena
anggotanya membayar sejumlah kecil dari hartanya untuk mendapatkan
jumlah yang lebih besar darinya, seakan-akan ia menukar uang dengan uang
dengan jumlah yang berbeda. Inilah yang disebut dengan riba fadhl (ada
selisih nilai). Begitu juga termasuk dalam kategori riba nasi’ah, karena anggotanya mendapatkan uang penggantinya tidak secara cash.
Sementara produk yang dijual oleh perusahaan kepada konsumen tiada
lain hanya sebagai sarana untuk barter uang tersebut dan bukan menjadi
tujuan anggota, sehingga keberadaannya tidak berpengaruh dalam hukum
transaksi ini.
Keharaman jual beli dengan sistem MLM ini, sebenarnya sudah
difatwakan oleh sejumlah ulama di Timur Tengah, diantaranya adalah Fatwa
Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy Sudan yang dikeluarkan pada tanggal 17 Rabi’ul
Akhir 1424 H, bertepatan dengan tanggal 17 Juni 2003 M pada majelis no.
3/24. Kemudian dikuatkan dengan Fatwa Lajnah Daimah Arab Saudi pada
tanggal 14/3/1425 dengan nomor (22935). Wallahu A’lam.
Oleh: Dr. Ahmad Zain Annajah, MA.
Komentar
Posting Komentar