Islam adalah agama yang universal. Agama yang mencakup seluruh aspek
kehidupan. Tidak ada satu persoalan pun dalam kehidupan ini, melainkan
telah dijelaskan. Dan tidak ada satu masalah pun, melainkan telah
disentuh oleh nilai Islam, kendati masalah tersebut nampak ringan dan
sepele. Itulah Islam, agama yang menebar rahmat bagi semesta alam.
Dalam hal pernikahan, Islam telah berbicara banyak. Dari sejak
mencari kriteria calon pendamping hidup, hingga bagaimana cara
berinteraksi dengannya tatkala resmi menjadi penyejuk hati. Islam
memberikan tuntunan, begitu pula Islam mengarahkan bagaimana panduan
menyelenggarakan sebuah pesta pernikahan yang suka ria, namun tetap
memperoleh berkah dan tidak menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, demikian pula dengan pernikahan yang sederhana namun
tetap ada daya tarik tersendiri. Maka Islam mengajarkannya.
Namun buku ini sebatas membahas tentang manfaat menikah, hal-hal yang
berkenaan tentang khitbah (meminang), akad nikah, rukun-rukun, dan
syarat-syarat serta pembahasan tentang pesta perkawinan atau walimatul ‘ursy. Semoga kita bisa mengambil manfaat dari pembahasan tersebut.
Manfaat Menikah
Nikah memiliki manfaat yang sangat besar, sebagai berikut :
1. Tetap terpeliharanya jalur keturunan manusia, memperbanyak jumlah kaum
muslimin dan menjadikan orang kafir gentar dengan adanya generasi penerus yang berjihad di jalan Allah dan membela agamanya.
2. Menjaga kehormatan dan kemaluan dari perbuatan zina yang diharamkan lagi merusak tatanan masyarakat.
3. Terealisasinya kepemimpinan suami atas istri dalam hal memberikan nafkah dan penjagaan kepadanya. Allah berfirman (artinya):
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian
yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka.” (An Nisa’ : 34)
4. Memperoleh ketenangan dan kelembutan hati bagi suami dan istri serta ketenteraman jiwa mereka.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (Ar-Ruum : 21).
5. Membentengi masyarakat dari prilaku yang keji yang dapat menghancurkan moral serta menghilangkan kehormatan.
6. Terpeliharanya nasab dan jalinan kekerabatan antara yang satu
dengan yang lainnya serta terbentuknya keluarga yang mulia lagi penuh
kasih sayang, ikatan yang kuat dan tolong-menolong dalam kebenaran.
7. Mengangkat derajat manusia dari kehidupan bak binatang menjadi kehidupan manusiawi yang mulia.
Dan masih banyak manfaat besar lainnya dengan adanya pernikahan yang
syar’i, mulia dan bersih yang tegak berlandaskan Al Qur’an dan As
Sunnah.
Menikah adalah ikatan syar’i yang menghalalkan hubungan antara
laki-laki dan perempuan, sebagaimana sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi
wa sallam:
“Berwasiatlah tentang kebaikan kepada para wanita, sesungguhnya
mereka bagaikan tawanan di sisi kalian. Kalian telah menghalalkan
kemaluan mereka dengan kalimat Allah (akad nikah, pent)”.
Akad nikah adalah ikatan yang kuat antara suami dan istri. Allah berfirman (artinya):
“Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian
yang kuat”.(An Nisa’ : 21) yaitu akad (perjanjian) yang mengharuskan
bagi pasangan suami istri untuk melaksanakan janjinya.
Allah berfirman (artinya) :
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”. (Al-Maidah : 1)
Khitbah (Meminang)
Rasulullah bersabda:
“Apabila seorang diantara kalian mengkhitbah (meminang) seorang
wanita, maka jika dia bisa melihat apa yang mendorongnya untuk
menikahinya maka lakukanlah” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Dalam hadits lain:
“Lihatlah dia, sebab itu lebih patut untuk melanggengkan diantara kalian berdua” (HR. AtTirmidzi, 1087)
Hadits tersebut menunjukkan bolehnya melihat apa yang lazimnya nampak
pada wanita yang dipinang tanpa sepengetahuannya dan tanpa berkhalwat
(berduaan) dengannya.
Para ulama berkata: “Dibolehkan bagi orang yang hendak meminang
seorang wanita yang kemungkinan besar pinangannya diterima, untuk
melihat apa yang lazimnya nampak dengan tidak berkholwat (berduaan) jika
aman dari fitnah”.
Dalam hadits Jabir, dia berkata: “Aku (berkeinginan) melamar seorang
gadis lalu aku bersembunyi untuk melihatnya sehingga aku bisa melihat
darinya apa yang mendorongku untuk menikahinya, lalu aku menikahinya”
(HR. Abu Dawud, no. 2082).
Hadits ini menunjukkan bahwa Jabir tidak berduaan dengan wanita
tersebut dan si wanita tidak mengetahui kalau dia dilihat oleh Jabir.
Dan tidaklah
terlihat dari wanita tersebut kecuali yang biasa terlihat dari tubuhnya. Hal ini rukhsoh (keringanan) khusus bagi orang yang kemungkinan besar pinangannya diterima. Jika kesulitan untuk melihatnya, bisa mengutus wanita yang dipercaya untuk melihat wanita yang dipinang kemudian menceritakan kondisi wanita yang akan dipinang.
terlihat dari wanita tersebut kecuali yang biasa terlihat dari tubuhnya. Hal ini rukhsoh (keringanan) khusus bagi orang yang kemungkinan besar pinangannya diterima. Jika kesulitan untuk melihatnya, bisa mengutus wanita yang dipercaya untuk melihat wanita yang dipinang kemudian menceritakan kondisi wanita yang akan dipinang.
Berdasarkan apa yang diriwayatkan bahwa Nabi sallallahu ‘alaihi wa
sallam mengutus Ummu Sulaim untuk melihat seorang wanita (HR. Ahmad).
Barangsiapa yang diminta untuk menjelaskan kondisi peminang atau yang
dipinang, wajib baginya untuk menyebutkan apa yang ada padanya dari
kekurangan atau hal lainnya, dan itu bukan termasuk ghibah.
Dan diharamkan meminang dengan ungkapan yang jelas (tashrih) kepada
wanita yang sedang dalam masa ‘iddah (masa tunggu, yang tidak bisa
diruju’ oleh suami atau ditinggal mati suaminya, pent). Seperti
ungkapan: “Saya ingin menikahi Anda”. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanitawanita itu dengan sindiran” (QS. 2: 235)
Dan dibolehkan sindiran dalam meminang wanita yang sedang dalam masa
‘iddah. Misalnya dengan ungkapan: “Sungguh aku sangat tertarik dengan
wanita yang seperti anda” atau “Dirimu selalu ada dalam jiwaku”.
Ayat tersebut menunjukkan haramnya tashrih, seperti ungkapan: “Saya
ingin menikahi anda” karena tashrih tidak ada kemungkinan lain kecuali
nikah. Maka tidak boleh memberi harapan penuh sebelum habis masa
‘iddahnya.
‘iddahnya.
Diharamkan meminang wanita pinangan saudara muslim lainnya.
Barangsiapa yang meminang seorang wanita dan diterima pinangannya, maka
diharamkan bagi orang lain untuk meminang wanita tersebut
sampai dia diijinkan atau telah ditinggalkan. Berdasarkan sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Janganlah seorang laki-laki meminang wanita
yang telah dipinang saudaranya hingga dia menikah atau telah meninggalkannya” (HR. Bukhari dan Nasa’i).
sampai dia diijinkan atau telah ditinggalkan. Berdasarkan sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Janganlah seorang laki-laki meminang wanita
yang telah dipinang saudaranya hingga dia menikah atau telah meninggalkannya” (HR. Bukhari dan Nasa’i).
Dalam riwayat Muslim: “Tidak halal seorang mukmin meminang wanita
yang telah dipinang saudaranya hingga dia meninggalkannya”. Dalam hadits
Ibnu Umar: “Janganlah kalian meminang wanita yang telah dipinang
saudaranya” (Muttafaqun ‘alaih). Dalam riwayat Bukhari: “Janganlah
seorang laki-laki meminang di atas pinangan laki-laki lain hingga
peminang sebelumnya meninggalkannya atau dengan seijinnya”.
Hadits-hadits tersebut menunjukkan atas haramnya pinangan seorang
muslim di atas pinangan saudaranya, karena hal itu menyakiti peminang
yang pertama dan menyebabkan permusuhan diantara manusia dan melanggar
hak-hak mereka. Jika peminang pertama sudah ditolak atau peminang kedua
diijinkan atau dia sudah meninggalkan wanita tersebut, maka boleh bagi
peminang kedua untuk meminang wanita tersebut. Sesuai dengan sabda Nabi
sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Hingga dia diijinkan atau telah
ditinggalkan”. Dan ini termasuk kehormatan seorang muslim dan haram
untuk merusak kehormatannya.
Sebagian orang tidak peduli dengan hal ini, dia maju untuk meminang
seorang wanita padahal dia mengetahui sudah ada yang mendahului
meminangnya dan telah diterima oleh wanita tersebut. Kemudian dia
melanggar hak saudaranya dan merusak pinangan saudaranya yang telah
diterima. Hal ini adalah perbuatan yang sangat diharamkan dan pantas
bagi orang yang maju untuk mengkhitbah wanita yang telah didahului oleh
saudaranya ini untuk tidak diterima dan dihukum, juga mendapat dosa yang
sangat besar. Maka wajib bagi seorang muslim untuk memperhatikan masalah ini dan menjaga hak saudaranya sesama muslim. Sesungguhnya sangat besar hak seorang muslim atas saudara muslim lainnya. Janganlah meminang wanita yang sudah dipinang saudaranya dan jangan membeli barang yang dalam tawaran saudaranya dan jangan menyakiti saudaranya dengan segala bentuk hal yang menyakitkan.
sangat besar. Maka wajib bagi seorang muslim untuk memperhatikan masalah ini dan menjaga hak saudaranya sesama muslim. Sesungguhnya sangat besar hak seorang muslim atas saudara muslim lainnya. Janganlah meminang wanita yang sudah dipinang saudaranya dan jangan membeli barang yang dalam tawaran saudaranya dan jangan menyakiti saudaranya dengan segala bentuk hal yang menyakitkan.
Akad Nikah, Rukun dan Syarat-Syaratnya
Disunnahkan ketika hendak akad nikah, memulai dengan khutbah
sebelumnya yang disebut khutbah Ibnu Mas’ud (khutbatul hajjah, pent)
yang disampaikan oleh calon mempelai pria atau orang lain diantara para
hadirin. Dan lafadznya sebagai berikut :
“Sesungguhnya segala puji bagi Allah. Kami memujiNya, memohon
pertolongan dan ampunan-Nya, serta kami berlindung kepada Allah dari
kejahatan diri kami dan keburukan amal usaha kami. Barangsiapa yang
diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya dan
barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, maka tidak ada yang dapat
memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak yang berhak diibadahi
melainkan Allah semata, tiada sekutu bagiNya, dan aku bersaksi bahwa
Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya”. (HR. Imam yang lima dan Tirmidzi
menghasankan hadits ini).
Setelah itu membaca tiga ayat Al-Qur’an berikut ini:
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan
sebenar-benarnya taqwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati
melainkan dalam keadaan beragama Islam”. (Ali ‘Imran: 102).
“Hai sekalian manusia bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan
istrinya, dan daripada keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasi kamu”. (QS. An Nisaa’: 1)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan
katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu
amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa yang
mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat
kemenangan yang besar”. (QS. Al-Ahzab: 70-71).
Adapun rukun-rukun akad nikah ada 3, yaitu:
1. Adanya 2 calon pengantin yang terbebas dari penghalang-penghalang
sahnya nikah, misalnya: wanita tersebut bukan termasuk orang yang
diharamkan untuk dinikahi (mahram) baik karena senasab, sepersusuan atau
karena sedang dalam masa ‘iddah, atau sebab lain. Juga tidak boleh jika
calon mempelai laki-lakinya kafir sedangkan mempelai wanita seorang
muslimah. Dan sebabsebab lain dari penghalang-penghalang syar’i.
2. Adanya ijab yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang
menggantikannya dengan mengatakan kepada calon mempelai pria: “Saya
nikahkan kamu dengan Fulanah”.
3. Adanya qobul yaitu lafadz yang diucapkan oleh calon mempelai pria
atau orang yang telah diberi ijin untuk mewakilinya dengan mengucapkan :
“Saya terima nikahnya”.
Syaikhul islam Ibnu Taymiah dan muridnya, Ibnul Qoyyim, menguatkan
pendapat bahwa nikah itu sah dengan segala lafadz yang menunjukkan arti
nikah, tidak terbatas hanya dengan lafadz Ankahtuka atau Jawwaztuka.
Orang yang membatasi lafadz nikah dengan Ankahtuka atau Jawwaztuka
karena dua lafadz ini terdapat dalam Al Qur’an. Sebagaimana firman Allah
Ta’ala:
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya
(menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia” (QS. Al-Ahzab: 37)
Dan firman-Nya yang lain:
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu” (QS. An-Nisa’:22)
Akan tetapi kejadian yang disebutkan dalam ayat tersebut tidak
berarti pembatasan dengan lafadz tersebut (tazwij atau nikah). Wallahu
a’lam. Dan akad nikah bagi orang yang bisu bisa dengan tulisan atau
isyarat yang dapat difahami. Apabila terjadi ijab dan qobul, maka
sah-lah akad nikah tersebut walaupun diucapkan dengan senda gurau tanpa
bermaksud menikah (Jika terpenuhi syarat dan tidak ada penghalang
sah-nya akad, pent). Karena Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“Ada 3 hal yang apabila dilakukan dengan main-main maka jadinya
sungguhan dan jika dilakukan dengan sungguh-sungguh maka jadinya pun
sungguhan. Yaitu: talak, nikah dan ruju’” (HR. Tirmidzi, no. 1184).
Adapun syarat-syarat sahnya nikah ada 4, yaitu:
1. Menyebutkan secara jelas (ta’yin) masing-masing kedua mempelai dan
tidak cukup hanya mengatakan: “Saya nikahkan kamu dengan anak saya”
apabila mempunyai lebih dari satu anak perempuan. Atau dengan
mengatakan: “ Saya nikahkan anak perempuan saya dengan anak lakilaki
anda” padahal ada lebih dari satu anak lakilakinya. Ta’yin bisa
dilakukan dengan menunjuk langsung kepada calon mempelai, atau
menyebutkan namanya, atau sifatnya yang dengan sifat itu bisa dibedakan
dengan yang lainnya.
2. Kerelaan kedua calon mempelai. Maka tidak sah jika salah satu dari
keduanya dipaksa untuk menikah, sebagaimana hadits Abu Hurairah:
“Janda tidak boleh dinikahkan sehingga dia diminta perintahnya, dan
gadis tidak dinikahkan sehingga diminta ijinnya.” Mereka bertanya:
“Wahai Rasulullah, bagaimana ijinnya?”. Beliau menjawab: “Bila ia diam”.
(HR. Bukhari dan Muslim).
Kecuali jika mempelai wanita masih kecil yang belum baligh maka walinya boleh menikahkan dia tanpa seijinnya.
3. Yang menikahkan mempelai wanita adalah walinya. Berdasarkan sabda
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak sah pernikahan kecuali
dengan adanya wali” (HR. Imam yang lima kecuali Nasa’i).
Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa wali maka
nikahnya tidak sah. Di antara hikmahnya, karena hal itu merupakan
penyebab terjadinya perzinahan dan wanita biasanya dangkal dalam
berfikir untuk memilih sesuatu yang paling maslahat bagi dirinya.
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an tentang masalah pernikahan,
ditujukan kepada para wali:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu” (QS. An-Nuur: 32)
“Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka” (QS. Al-Baqoroh: 232)
dan ayat-ayat yang lainnya.
Wali bagi wanita adalah: bapaknya, kemudian yang diserahi tugas oleh
bapaknya, kemudian ayah dari bapak terus ke atas, kemudian anaknya yang
laki-laki kemudian cucu laki-laki dari anak lakilakinya terus ke bawah,
lalu saudara laki-laki sekandung, kemudian saudara laki-laki sebapak,
kemudian keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sekandung kemudian
sebapak, lalu pamannya yang sekandung dengan bapaknya, kemudian pamannya
yang sebapak dengan bapaknya, kemudian anaknya paman, lalu
kerabat-kerabat yang dekat keturunan nasabnya seperti ahli waris,
kemudian orang yang memerdekakannya (jika dulu ia seorang budak, pent),
kemudian baru hakim sebagai walinya.
4. Adanya saksi dalam akad nikah, sebagaimana hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Jabir:
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali dan dua orang saksi
yang adil (baik agamanya, pent).” (HR. Al-Baihaqi dari Imran dan dari
Aisyah, shahih, lihat Shahih Al-Jamius Shaghir oleh Syaikh Al-Albani no.
7557).
Maka tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil.
Imam Tirmidzi berkata: “Itulah yang difahami oleh para sahabat Nabi
dan para Tabi’in, dan para ulama setelah mereka. Mereka berkata: “Tidak
sah menikah tanpa ada saksi”. Dan tidak ada perselisihan dalam masalah
ini diantara mereka. Kecuali dari kalangan ahlu ilmi uta’akhirin
(belakangan)”.
Walimatul ‘Urs (Pesta Perkawinan)
Walimah asalnya berarti sempurnanya sesuatu dan berkumpulnya sesuatu.
Dikatakan ﻞﺟﺮﻟﺍ_ ﱂﻭﺃ_ _ (Awlamar Rajulu) jika terkumpul padanya akhlak
dan kecerdasannya. Kemudian makna ini dipakai untuk penamaan acara
makan-makan dalam resepsi pernikahan disebabkan berkumpulnya mempelai
lakilaki dan perempuan dalam ikatan perkawinan. Dan tidak dinamakan
walimah untuk selain resepsi pernikahan dari segi bahasa dan istilah
fuqoha (para ulama). Padahal ada banyak jenis acara makan-makan yang
dibuat dengan sebab-sebab tertentu, tetapi masing-masing memiliki
penamaan tersendiri.
Hukum walimatul ‘urs adalah sunnah menurut jumhur ulama. Sebagian
ulama mewajibkan walimah karena adanya perintah Rasulullah sallallahu
‘alaihi wa sallam dan wajibnya memenuhi undangan walimah. Rasulullah
sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada ‘Abdurrahman bin ‘Auf
radiyallahu ‘anhu ketika dia mengkhabarkan bahwa dia telah menikah
“Adakanlah walimah walaupun hanya dengan menyembelih seekor kambing” (HR. Bukhari dan Muslim).
Disamping hal itu, walimah yang seperti di atas tidak lepas dari
kejelekan dan kesombongan serta berkumpulnya orang-orang yang biasanya
tidak lepas dari kemungkaran. Terkadang walimah ini dilakukan di
hotel-hotel yang menyebabkan para wanita tidak menghiraukan lagi pakaian
yang menutup aurat, hilangnya rasa malu, bercampurnya wanita dengan
laki-laki yang bisa jadi hal ini sebagai penyebab turunnya azab yang
besar dari Allah.
Terkadang juga diselingi dalam pesta tersebut musik dan nyanyian yang
menyenangkan para seniman, juga fotografer untuk memotret para wanita
dan kedua mempelai, disamping menghabiskan harta yang banyak tanpa
faedah bahkan dengan cara yang rusak dan menyebabkan kerusakan. Maka
bertaqwalah kepada Allah wahai orang-orang yang seperti ini dan takutlah
terhadap azab Allah.
Allah berfirman:
“Dan berapa banyaknya (penduduk) negeri yang telah Kami binasakan,
yang sudah bersenang-senang dalam kehidupannya” (QS. Al-Qoshosh: 58)
“Makan dan minumlah, dan janganlah berlebihlebihan. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orangorang yang berlebih-lebihan” (Al-A’rof: 31)
“Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu
berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan” (Al-Baqoroh: 60)
Dan ayat-ayat yang berkaitan dengan ini sangat banyak dan jelas.
Wajib bagi yang diundang untuk menghadiri walimatul ‘urs apabila terpenuhi syarat-syarat berikut ini:
1. Walimah tersebut adalah walimah yang pertamajika walimahnya
dilakukan berulangkali. Dan tidak wajib datang untuk walimah yang
selanjutnya, berdasarkan sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Walimah pertama adalah hak (sesuai dengan syari’at, pent), walimah
kedua adalah baik, dan walimah yang ketiga adalah riya’ dan sum’ah” (HR.
Abu Dawud dan yang lainnya).
Syaikh Taqiyuddin berkata: “Diharamkan makan dan menyembelih yang
melebihi batas pada hari berikutnya meskipun sudah menjadi kebiasaan
masyarakat atau untuk membahagiakan keluarganya, dan pelakunya harus
diberi hukuman”
2. Yang mengundang adalah seorang muslim
3. Yang mengundang bukan termasuk ahli maksiat yang terang-terangan melakukan kemaksiatannya, yang mereka itu wajib dijauhi.
4. Undangannya tertuju kepadanya secara khusus, bukan undangan umum.
5. Tidak ada kemungkaran dalam walimah tersebut seperti adanya khamr
(minuman keras), musik, nyanyian dan biduan, seperti yang banyak terjadi
dalam acara walimah sekarang.
Apabila terpenuhi syarat-syarat tersebut, maka wajib memenuhi
undangan walimah, sebagaimana sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Sejelek-jelek makanan adalah hidangan walimah yang orang-orang
miskin tidak diundang tetapi orangorang yang kaya diundang. (Meskipun
demikian) barangsiapa yang tidak memenuhi undangan walimah berarti dia
durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”. (HR. Muslim).
Dan disunnahkan untuk mengumumkan pernikahan dan menampakkannya sebagaimana sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Umumkanlah acara pernikahan”. Dan dalam riwayat lain: “Tampakkanlah acara pernikahan” (HR. Ibnu Majah)
Disunnahkan pula menabuh rebana sebagaimana sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Pembeda antara nyanyian serta musik yang halal dan yang haram adalah nyanyian dan rebana dalam acara pernikahan”.
(HR. Nasa’i, Ahmad dan Tirmidzi. Dan Tirmidzi menghasankannya).
sumber: ahlussunnah web
Komentar
Posting Komentar